Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis pendidikan bahasa indonesia. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis pendidikan bahasa indonesia. Show all posts
TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI

TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI

(KODE : PASCSARJ-0309) : TESIS PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI MELALUI METODE PENGELOMPOKAN IDE (CLUSTERING) BERBASIS MEDIA GAMBAR FOTOGRAFI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA)


BAB II 
KAJIAN TEORETIS 

Dalam bab ini membahas teori-teori yang relevan dengan penelitian ini yaitu (1) metode pembelajaran, (2) metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, (3) media pembelajaran, (4) gambar fotografi sebagai media pembelajaran, (5) langkah-langkah pembelajaran menulis karangan narasi melalui metode pengelompokan ide (clustering) berbasis media gambar fotografi, (6) hakikat menulis, (7) jenis-jenis karangan, (8) karangan narasi, (9) ciri-ciri narasi, (10) struktur narasi, (11) unsur pembentuk karangan narasi, (12) jenis-jenis karangan narasi.

A. Metode Pembelajaran 

1. Pengertian Metode
Dalam kegiatan belajar mengajar, strategi pembelajaran, khususnya metode pembelajaran mempunyai peranan penting. Iskandar Wassid dan Sunendar (2009; 40-41) menuturkan bahwa metode adalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada pengajaran bahasa, metode digunakan untuk menyatakan kerangka yang menyeluruh tentang proses belajar mengajar. Proses ini tersusun dalam rangkaian kegiatan yang sistematis, tumbuh dari pendekatan yang digunakan sebagai landasan. Adapun sifat metode adalah prosedural.
Metode adalah suatu cara kerja yang sistematik dan umum yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan (Rohani 2004 : 118). Metode belajar mengajar menurut Ahmadi (1997 : 52) adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Dalam pengertian lain adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara individual maupun kelompok. Agar pelajaran tersebut dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Sayuti (1985 : 213) menyatakan bahwa penggunaan metode yang tepat akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Akan tetapi harus disadari pula, bahwa faktor guru lah yang pada akhirnya banyak menentukan berhasilnya pengajaran. Oleh karena itu, guru jangan sampai terbelenggu oleh salah satu metode yang dipilihnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin baik suatu metode semakin efektif pula dalam pencapaian hasil belajar siswa. Metode yang bervariasi diperlukan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Seorang guru tidak dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar.
Metode memiliki peranan penting yaitu sebagai alat motivasi intrinsik; strategi pengajaran, dan alat untuk mencapai tujuan. Djamarah dan Aswan (2010 : 72-74) memaparkan bahwa metode yang tepat dan bervariasi dapat dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Metode mengajar yang sesuai dengan karakteristik siswa, materi, bahan ajar, media belajar dapat menjadi strategi pengajaran yang tepat dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pemanfaatan metode yang sesuai merupakan cara efektif untuk mencapai tujuan pengajaran.

2. Syarat-Syarat Metode Belajar Mengajar
Menurut Ahmadi (1997 : 53) syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode mengajar yaitu 1) dapat membangkitkan motif, minat, atau gairah belajar siswa; 2) dapat menjamin perkembangan kegiatan kepribadian siswa; 3) dapat memberikan kesempatan siswa untuk mewujudkan hasil karya; 4) merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi; 5) dapat mendidik siswa dengan teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi; 6) dapat memberikan siswa pengalaman atau situasi yang nyata dan bertujuan; 7) dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang menjadi kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Ibrahim dan Syaodih (2010 : 108-109) mengatakan metode yang digunakan harus memiliki faktor-faktor berikut. Pertama, kesesuaian dengan tujuan instruksional khusus maupun umum. Kedua, keterlaksanaan dilihat dari waktu dan sarana. Berdasarkan uraian di atas, dalam memilih metode pembelajaran diupayakan agar dapat mewujudkan proses belajar mengajar yang bermakna dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif. Selain itu, tujuan instruksional menjadi titik akhir proses pembelajaran.

B. Metode Pengelompokan Ide (Clustering) Berbasis Media Gambar Fotografi
1. Metode Pengelompokan Ide (clustering) a. Pengertian Metode Pengelompokan Ide (clustering)
Pengelompokan ide (clustering) merupakan salah satu metode dalam buku Quantum Learning yang memberikan kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses yang dapat menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan daya ingat dan membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Strategi ini dirancang untuk menyemarakkan kelas dan membentuk suasana pengalaman belajar aktif dan menakjubkan.
Pengelompokan ide (clustering) dalam buku Quantum Learning yang dikemukakan oleh Bobbi Deporter dan Mike Hernacki bertolak pada konsep suggestopedia (eksperimen seorang ahli pendidikan berkebangsaan Bulgaria bernama Dr. Georgi Lozanov), bahwa pada prinsipnya sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar (DePorter, 1999 : 14). Teknik pengelompokan ide merupakan salah satu bentuk spesifikasi dari tiga teknik yang disebut Hernowo (2004) sebagai menulis sinergis, di samping teknik menulis cepat dan teknik menunjukkan bukan memberitahukan.
Mengingat pentingnya pembelajaran menulis ini, diperlukan strategi yang tepat dalam pembelajarannya. Menurut Weinstein dan Meyer (Trianto, 2007 : 143) pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, strategi belajar dalam pembelajaran adalah strategi yang dapat membantu siswa untuk berpikir dan memahami materi.
Metode yang dipandang efektif adalah metode pengelompokan ide (clustering). Metode ini merupakan cara kreatif bagi siswa untuk menghasilkan berbagai gagasan. Clustering berarti kegiatan mengelompokkan sesuatu. Teknik clustering adalah teknik menulis dengan cara mengelompok-kelompokkan ide dengan bantuan gambar. Teknik ini dikembangkan oleh Dr. Rico dengan berpijak pada teknik "mind mapping" (pemetaan pikiran) yang ditemukan oleh Tony Buzan. Cara mengoperasikan teknik ini berlandaskan temuan Roger Sperry yang menunjukkan kepada kita bahwa ada dua belahan otak di kepala kita yang masing-masing belahan tersebut berfungsi secara sangat berbeda. Kedua belahan itu disebut belahan otak kiri (left hemisphere) yang suka ketertiban dan bersimbolkan teks dan belahan otak kanan (right hemisphere) yang suka kebebasan dan bersimbolkan gambar.
Istilah pengelompokan ide (clustering) ini dikemukakan oleh Gabriele Lusser Rico. Rico (Hernowo, 2003 : 142) menyatakan bahwa bagian paling sulit dalam menulis adalah sulitnya menuangkan ide ke dalam tulisan, tidak mengetahui apa yang akan ditulis, yaitu apa temanya, dan bagaimana memulainya. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menanggulangi kesulitan ini, antara lain dengan membuat pengelompokan ide (clustering). Setiap orang memiliki ide dalam benaknya, yang sulit adalah menuangkannya dalam tulisan. Dengan membuat pengelompokan ide (clustering), Anda dipaksa mengidentifikasi ide-ide pokok dan ide-ide penunjangnya.
Metode ini dapat membantu memilah pemikiran-pikiran kita menjadi logis dan bersistem. Clustering merupakan strategi sebelum menulis untuk menemukan hal yang akan dikembangkan dalam tulisan. Strategi ini dikembangkan oleh Gabriele Lusser Rico. Dalam bukunya, Gabriele menyatakan bahwa clustering sebagai suatu teknik pengajaran menulis yang menekankan pada generalisasi ide-ide.
Pengelompokan ide atau gagasan meliputi asosiasi bebas sebagai suatu arti yang berhubungan dengan gambaran-gambaran dan pemikiran-pemikiran. Sebuah kelompok dapat diawali dengan sebuah kata, mengarah pada kata-kata yang lain dan ungkapan-ungkapan pada pemikiran ide-ide yang terkait pada ide orisinal. Seringkali metode ini tersusun dalam sebuah diagram yang bisa menjadi suatu kerangka yang memuaskan bagi seorang penulis untuk menyusun pola suatu tulisan. Jika siswa kerap berlatih menulis dengan memanfaatkan metode pengelompokan ide (clustering) ini, siswa akan terampil dalam mengembangkan ide-ide. Siswa juga akan dimudahkan dalam merumuskan ide-ide tersebut.
Deporter (2004 : 15) berpendapat bahwa metode pengelompokan ide (clustering) sangat efektif dan menyenangkan, sehingga mampu memberikan sugesti yang positif bagi siswa dalam pembelajaran menulis. Dengan clustering seseorang dapat menemukan apa yang disebut Deporter sebagai " AHA!" yaitu suatu kata dalam cluster memunculkan titik awal ide yang akan ditulis dan desakan untuk menulis terasa tak terbendung lagi. Selain itu, Deporter (2004 : 184) mengatakan bahwa metode clustering dapat digunakan untuk berbagai jenis tulisan dari laporan, esai, proposal, cerita, hingga puisi.
Selanjutnya, DePorter (1999 : 180) memberikan batasan metode pengelompokan ide (clustering) adalah suatu teknik memilah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan dan menuangkannya di atas kertas secepatnya, tanpa mempertimbangkan kebenaran atau nilainya.
Senada dengan DePorter, Ahmadi (1990 : 65) menyatakan bahwa clustering adalah suatu jenis teknik pengumpulan gagasan, dengan asosiasi bebas mengenai satu kata atau konsep yang menghasilkan informasi yang dihubungkan, tetapi tidak dihalangi oleh struktur.
Sedikit berbeda dengan kedua pendapat di atas, Miriam (2004) dalam bukunya Daripada Bete Nulis Aja menyatakan bahwa metode clustering atau pengelompokan adalah teknik yang dapat membantu "mengembangkan" tulisan dengan berbagai cara sekaligus dengan mengambil suatu gagasan dan membuat percabangannya ke berbagai arah.
Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan pengelompokan (clustering). Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang dihasilkan itu benar atau salah, penting tidak penting, dapat dipraktikkan atau tidak, dan sebagainya. Yang terpenting dalam proses ini adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik itu sebanyak-banyaknya. Kedua, terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena memang belum dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali sekaligus ide-ide yang terkumpul itu akan dievaluasi dalam kesempatan berikutnya (Darmadi, 1996 : 43).

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING

(KODE : PASCSARJ-0271) : TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang representatif, bersifat apresiatif, dan memberikan kemungkinan untuk peningkatan daya apresiasi siswa kiranya belum ada di khasanah sastra dan khasanah pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Yang ada adalah bahan ajar dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang di dalamnya hanya memasukkan sangat sedikit materi tentang prosa fiksi. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi itu belum mencukupi dari segi keluasan dan kedalaman materi apresiasi, baik secara kognitif, afektif, terlebih-lebih untuk maksud psikomotor berupa pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi. Karena itu, melalui bahan-bahan ajar apresiasi yang dipakai di SMP saat ini, belum dapat dilaksanakan penghayatan terhadap prosa fiksi khususnya dan sastra pada umumnya. Dengan menggunakan bahan ajar semacam itu, belum terpenuhi persyaratan untuk membentuk "the educated person" seperti yang dikemukakan oleh Moody (1989). Pengenalan secara memadai tentang bahan ajar apresiasi prosa fiksi belum dapat dipenuhi melalui bahan-bahan ajar tersebut.
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya dapat membantu pencapaian tujuan pembelajaran apresiasi prosa fiksi yang oleh Moody (1989 : 59) untuk (1) membantu keterampilan berbahasa; (2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa; dan (4) menunjang pembentukan watak. Melalui membaca dan mendengarkan cerita pendek, membaca ringkasan novel, menulis sinopsis dari novel yang dibaca, menceritakan kembali isi ringkasan novel yang dibaca dapat ditingkatkan daya apresiasi siswa. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya memungkinkan siswa tidak hanya mengapresiasi naskah (teks) cerpen atau novel, namun juga mampu membuat dialog-dialog yang ada dalam prosa fiksi tersebut ke dalam tes naskah drama yang siap untuk diperankan atau dipentaskan di atas panggung. Pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi dapat dijadikan media aktualisasi diri bagi siswa. Dengan diberlakukannya pendekatan humanistic Maslow dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi termasuk juga KTSP, aktualisasi diri yang dianggap sebagai proses belajar yang cukup penting itu, dapat dilatihkan melalui pembacaan, penulisan, hingga pementasan atau pagelaran drama (Sunardi, 2003 : 21).
Hasil penelitian dari Depdiknas (2004 : 27) menyatakan bahwa pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi murid-murid merupakan mata pelajaran yang sukar dan bukan merupakan mata pelajaran yang menyenangkan. Salah satu penyebabnya adalah bahan ajar yang disampaikan oleh guru kurang menarik bagi siswa.
Kurikulum 2004 maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP menandaskan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dengan filsafat konstruktivisme yang menggunakan proses belajar sebagai suatu proses aktif dalam mengkonstruksi sesuatu (Pannen, dkk., 2005 : 3). Di samping itu, konstruktivisme berpandangan bahwa subjek utama dalam pembelajaran di kelas adalah siswa dan bukan guru. Guru adalah fasilitator, dan manajer dalam proses pembelajaran.
Konstruktivisme menyatakan bahwa setiap orang membangun sendiri konstruksi pemikirannya, informasi yang diperolehnya, afeksi yang dihayati, dan gerak motorik (tingkah laku) yang akan dilaksanakan (Pannen, dkk., 2005 : 5). Lebih lanjut Suparno mengutip Henley (2000 : 17) menyatakan bahwa metode atau model yang baik dalam mengajar harus memberikan kesempatan siswa secara bebas dan seluas-luasnya untuk membangun sendiri pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya.
Interaksi yang efektif antara siswa dan guru merupakan cara penting bagi keberhasilan belajar, seperti yang dikemukakan oleh Lozanov (1978 : 189). Quantum teaching menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan terbuka untuk interaksi guru dan siswa seperti yang dituntut Lozanov tersebut. Menurut De Potter (2003 : 4), interaksi antara guru dan siswa dan antara siswa dan siswa merupakan proses yang mengubah energi menjadi cahaya yang menyebabkan proses pengajaran menarik dan menyenangkan bagi siswa. Energi di sini yang dimaksud adalah model, sarana, dan prasarana yang menyebabkan situasi pembelajaran kondusif bagi pengembangan diri siswa.
Pendekatan Quantum Teaching oleh De Potter (Degeng, 2005) dinyatakan sebagai orkestra yaitu penciptaan suasana menyenangkan seperti orkes yang menumbuhkan motivasi dan pencapaian hasil belajar secara optimal.
Karena di masa depan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus diarahkan kepada kompetensi dalam bidangnya, yang membentuk kemampuan life-skills pada siswa seperti halnya ketentuan dalam kurikulum (KBK maupun KTSP), maka pendekatan atau basis yang digunakan dalam penyusunan bahan ajar haruslah berlandaskan pada basis kompetensi (Mulyasa, 2002 : 71). Basis kompetensi mengarahkan siswa untuk dapat memiliki life skills. Pembentukan kemampuan life skills dalam pengajaran apresiasi prosa fiksi berarti memungkinkan siswa mampu mencari nafkah melalui antara lain : menulis cerpen, menulis novel, membuat sinopsis ringkasan novel terkenal, menulis resensi novel, berakting, mendramatisasikan cerita dalam cerpen atau novel, dan jika dikembangkan lebih lanjut dapat memungkinkan siswa kelak menjadi penulis naskah cerpen dan novel yang andal.
Cerita pendek (cerpen), novel adalah karya sastra dan karya seni (Bakdi Sumanto, 2001). Sebagai karya sastra, naskah cerpen atau novel dalam sastra Indonesia sangat digemari untuk dibaca oleh siswa. Dalam penelitiannya di daerah Jawa Barat, Yus Rusyana (1989) mendapatkan hasil bahwa perbandingan pembacaan/apresiasi prosa : puisi : drama adalah 6 : 3 : 1. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan siswa dalam prosa termasuk prosa fiksi sangat sering. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan cerpen atau novel yang dimuat di koran.
Berdasarkan pandangan di atas, pendekatan quantum learning dalam pengembangan bahan ajar prosa fiksi kiranya merupakan pendekatan yang dapat membantu meningkatkan daya tarik, minat, dan sikap positif siswa kepada seni sastra, khususnya prosa fiksi. Dalam penelitian ini, pendekatan quantum learning dijadikan pendekatan di dalam memberikan variasi pemilihan bahan ajar prosa fiksi di SMP, khususnya SMPN X. Melalui pendekatan tersebut, bahan ajar prosa fiksi yang berbentuk cerpen maupun novel dapat disajikan secara lebih menarik, dan memotivasi siswa karena bahan-bahan ajar tersebut disajikan dengan iringan musik.
Penelitian ini bermaksud menghasilkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikemas dengan pendekatan quantum learning, yang khususnya digunakan untuk bahan ajar apresiasi prosa fiksi di SMPN X. Penelitian dilaksanakan melalui tahapan atau prosedur : (1) studi pendahuluan atau eksplorasi untuk mengetahui kebutuhan para siswa maupun guru bahasa Indonesia di SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan; (2) pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sesuai dengan kebutuhan siswa maupun guru atau stakeholders; (3) penyajian model bahan ajar apresiasi prosa fiksi melalui uji coba terbatas dan luas untuk mengetahui tingkat efektivitas bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dihasilkan; (4) mengetahui tanggapan para siswa atau guru maupun stakeholders yang lain tentang kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sudah diuji efektifitasnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, masalah penelitian pengembangan bahan ajar apresiasi prosa fiksi ini dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dibutuhkan siswa dan guru bahasa Indonesia di SMPN X ?
2. Bagaimanakah pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar apresiasi prosa fiksi dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?
3. Bagaimanakah hasil uji keefektifan bahan ajar prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning diajarkan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X ?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa, guru, maupun stakeholders lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian pengembangan bahan ajar ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan kebutuhan guru dan siswa SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan.
2. Mengembangkan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.
3. Menguji keefektifan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X.
4. Mendeskripsikan tanggapan siswa, guru, dan stakeholders yang lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang berupa tersusunnya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini akan mendatangkan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoretis
Dengan dihasilkannya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini, penelitian pengembangan ini dapat memberikan sumbangan terhadap teori pengajaran apresiasi sastra Indonesia, khususnya pengajaran apresiasi prosa fiksi (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis cerpen atau novel). Dengan memanfaatkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, diharapkan dapat dipakai sebagai pendukung terwujudnya apresiasi prosa fiksi siswa, yaitu dengan meningkatnya kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa tersebut. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah keilmuan khususnya dalam bidang pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mendorong peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis yang lebih luas pada masa-masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning. Dari temuan ini secara praktis dapat digunakan acuan bagi : 
a. Para Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, guru dapat meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.
b. Pimpinan Sekolah dan Pengawas
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning, pimpinan sekolah dan pengawas mendapatkan pencerahan konsep orientasi pengajaran apresiasi sastra yang baru, khususnya apresiasi prosa fiksi sehingga kemampuan apresiasi siswa terhadap prosa fiksi (cerpen, novel) dapat ditingkatkan. Dengan temuan tersebut, maka pihak pimpinan sekolah dan pengawas perlu memberi dukungan pada perubahan cara dalam memilih atau menentukan bahan ajar apresiasi yang akan diajarkan pada siswa yang betul-betul apresiatif, menyenangkan dan menggembirakan.
c. Siswa-siswa SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning menuntut siswa untuk berapresiasi sambil diiringi musik sehingga antusias, semangat, gairah, dan motivasi belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi prosa fiksi bisa terwujud.