Search This Blog

Showing posts with label pengetahuan. Show all posts
Showing posts with label pengetahuan. Show all posts

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI PADA MASA PUBERTAS TENTANG PERKEMBANGAN ORGAN SEKS DI SLTP

(KODE : KEBIDANN-0079) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI PADA MASA PUBERTAS TENTANG PERKEMBANGAN ORGAN SEKS DI SLTP

karya tulis ilmiah (kti)

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan reproduksi remaja terkait erat dengan perkembangan seksualnya. Sebagian remaja tidak mengalami masalah dalam perkembangan seksualnya, tapi tidak sedikit dari mereka karena proses tersebut kehidupan mereka di hari tua menjadi kurang menguntungkan. Saat ini sebagian besar kaum remaja lebih berani mengambil resiko yang mengancam kesehatan reproduksinya, tetapi mereka tidak mengetahui banyak informasi mengenai apa itu reproduksi (Ayurai, 2009).
Masa pubertas remaja adalah masa dimana perkembangan fisik mereka yang menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini (Akhmad, 2009).
Dalam masa perkembangannya, pribadi para remaja mengalami banyak masalah dalam penyesuaian diri bila dibandingkan dengan masa sebelumnya, karena ternyata pada masa anak-anak cukup tenang dan bahagia. Adapun dalam masa pertumbuhannya ia mengalami ketegangan batin akibat ingin lepas dari ketergantungan dan pengawasan dari orang lain menuju kebebasan dari pengawasan dan pengekangan dari orang dewasa (Djaali, 2008).
Salah satu bentuk perkembangan yang menonjol pada masa remaja yaitu terjadi perubahan-perubahan fisik yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksualnya, ini ditandai masaknya organ seksual. Perkembangan fisik berjalan sangat cepat, sehingga pada masa berakhir mereka sudah memiliki organ seksual sebagaimana halnya orang dewasa. Masalah remaja hakikatnya bersumber pada perubahan organo-biologik akibat pematangan organ-organ reproduksi yang sering sekali tidak diketahui remaja itu sendiri (Soejoeti, 2001).
Peristiwa penting pada masa ini adalah pertumbuhan badan yang cepat, timbulnya ciri-ciri kelamin sekunder, menarche (haid pertama) dan perubahan psikis. Sedangkan indung telur (ovarium) mulai aktif mengeluarkan estrogen yang dipengaruhi hormon gonadotropin yang diproduksi kelenjar bawah otak. Pada saat yang sama kortex kelenjar supra renal mulai membentuk hormon androgen yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan badan. Pengaruh hormon-hormon inilah yang menyebabkan pertumbuhan genitalia internal, eksternal dan ciri kelamin sekunder. Genitalia internal dan eksternal akan tumbuh terus untuk mencapai bentuk dan sifat seperti usia reproduksi. Secara psikis kedua hormon inilah yang membentuk karakter remaja menuju kedewasaan dan memunculkan libido (hasrat seksual) (Nurul, 2008).
Sejak lebih dari satu dekade terakhir ini telah terjadi perubahan dalam pandangan dan perilaku seks di kalangan remaja di Indonesia dan hasil penelitian telah menunjukan adanya perubahan tersebut. Pola pergaulan semakin bebas yang didukung oleh fasilitas, aktivitas seksual mudah dilakukan bahkan lebih mudah berlanjut ke hubungan seksual (Wimpie Pangkahila, 1997). Ironisnya, di sisi lain masyarakat khususnya remaja tidak menerima pendidikan seks yang benar dan bertanggung jawab atau pengetahuan mengenai masalah reproduksi yang sehat (Sunanti, 2001).
Perubahan-perubahan mendasar dalam sikap dan perilaku seksual reproduksi di kalangan remaja telah menjadi suatu masalah sosial yang memprihatinkan masyarakat Indonesia (Khesbiyah.Y.Dkk, 1997).
Data menunjukan dari remaja usia 12-18 tahun, 16% mendapatkan informasi seputar seks dari teman, 35% dari film porno, 5% dari orang tua. Penelitian dari Synovate Research dari 450 remaja Surabaya, Jakarta, Bandung dan Medan menunjukkan 44% mendapat pengalaman seksual usia 16-18 tahun, 16%-nya usia 13-15 tahun. Remaja sering beranggapan bahwa makna seks dieksploitasikan oleh pandangan dan gaya yang di Islami. Remaja harus berani beda dengan fenomena gaya masa kini seperti gaul tidaknya seseorang dilihat dari pengalaman seksualnya, seks sebagai sesuatu yang menyenangkan dan perlu di coba (Nurul, 2009).
Perlunya remaja memahami organ reproduksinya merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Hal ini diselaraskan dengan kemampuan remaja untuk mencerna informasi seputar seks sehingga tidak berdampak penyalahgunaan informasi yang membahayakan pembentukan karakter moralnya. Pendidikan seks tidak hanya mencakup pertanyaan dan jawaban seputar seks. Keteladanan orang tua dan pendidik, pembiasaan akhlak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh terutama organ reproduksinya serta penanaman tanggung jawab menjaga aurat organ reproduksinya (Nurul, 2008).
Pengetahuan yang memadai dan adanya motivasi untuk menjalani masa remaja secara sehat diharapkan para remaja mampu memelihara kesehatan dirinya agar dapat memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan reproduksi sehat (Fitramaya, 2009).
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang "PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTERI PADA MASA PUBERTAS TENTANG PERKEMBANGAN ORGAN SEKS DI SLTP".

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

(KODE : PASCSARJ-0277) : TESIS HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen Kesehatan RI telah menyusun prioritas sasaran penanggulangan penyakit menular pada Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2014. Penyakit yang menjadi prioritas tersebut diantaranya adalah penyakit menular tertentu yang menjadi isu global seperti Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), Malaria, Kusta, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan Filariasis. ADDS merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Penyebab penyakit ini adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penurun kekebalan tubuh pada manusia yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. AIDS merupakan penyakit yang telah meluas hingga menjadi masalah internasional. Pertambahan kasus dan penyebaran yang cepat serta belum ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia akan perkembangan penyakit ini (Bappenas, 2009).
Menurut laporan tahunan terbaru badan PBB, UNAIDS (AIDS epidemic update 2009), jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di dunia dalam delapan tahun terakhir mengalami penurunan hingga 17%, Sub Sahara Afrika 15%, Asia Timur 25% dan Asia Tenggara 10%. Hal ini menyatakan bahwa program-program pencegahan HIV yang gencar digalakkan oleh World Health Organization (WHO) dan UNAIDS telah berdampak signifikan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah penderita HIV/AIDS di Sub Sahara Afrika dan negara berkembang tetap tinggi.
Asia merupakan wilayah dengan penduduk terinfeksi HIV terbesar kedua di dunia setelah Sub-Sahara Afrika. Berdasarkan data UNAIDS (2008), di Asia terdapat 4,7 juta orang terinfeksi HIV, dengan CFR 7,02%. Jumlah kasus baru 350.000 orang (7,44%) dengan 21.000 orang (6%) diantaranya adalah anak-anak.
Berdasarkan data SEARO (South East Asia Regional Office) tahun 2009, India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand merupakan negara dengan penyebaran HIV/AIDS terbesar. Diperkirakan 2,3 juta penduduk di India menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa 0,34%. Di Myanmar diperkirakan 242.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,67%, dan 70.000 orang penduduk Nepal diperkirakan telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,5%. Di Thailand, diperkirakan 547.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 1,4%.
Di Indonesia berdasarkan data SEARO (2009), diperkirakan 270.000 orang menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,17% dan 28% diantaranya adalah perempuan. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan narkoba suntikan atau IDU sebesar 40%, Wanita Pekerja Seks (WPS) 22%, pelanggan wanita pekerja seksual 16%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 4%, wanita dengan pasangan berisiko tinggi 17%, dan Narapidana serta anak-anak jalanan 1%. Secara keseluruhan, estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan SEARO tahun 2009 mengalami penurunan namun epidemik HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat. Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.
Berdasarkan Laporan Surveilans AIDS Kemenkes RI bulan April sampai dengan Juni 2011, diketahui 2.001 kasus AIDS, dengan proporsi pada laki-laki sebesar 64,9% (1.298 kasus) dan perempuan sebesar 54,2% (703 kasus). Menurut data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI tahun 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 meningkat menjadi 29.879 kasus dengan total kematian 5.430 orang (CFR 18,17%). Prevalensi kasus AIDS nasional pada tahun 2011 adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk.
Lokasi prostitusi di Kecamatan X merupakan salah satu lokasi prostitusi yang terbesar di Kabupaten Y, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK. Tetapi angka tersebut bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn over PSK dari satu kota ke kota lain. Pada tahun 2011 telah dilakukan pemeriksaan serosurvey pada 47 PSK di lokasi tersebut, dari hasil pemeriksaan ditemukan 3 sampel menderita HIV/AIDS (Subdin P2PL Dinkes Y, 2011).
Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, PSK yang bekerja di lokasi prostitusi di Kecamatan X tersebut berpotensi terkena penyakit AIDS. Di samping tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, pengetahuan mereka tentang penyakit HIV/AIDS juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS hanya menular pada kaum homoseksual saja. Di samping itu PSK juga beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS timbul setelah adanya gejala-gejala seperti rasa sakit sewaktu buang air kecil, dan gatal-gatal pada kemaluan. Salah satu PSK juga mengakui bahwa pada saat melakukan aktivitas seksualnya tidak menggunakan alat pengaman yaitu kondom.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS di Kecamatan X adalah dengan mencegah terjadinya penularan oleh penderita AIDS, dan dukungan dari petugas kesehatan dalam pencegahan penularan virus HIV melalui pemberian informasi berupa konseling bagi menderita HIV. Menurut Notoatmodjo (2007), adanya informasi tentang kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan.
Allport dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan tindakan yang baik pula.
Adanya pengetahuan tentang HIV/AIDS maka muncullah sikap yang berupa kesadaran dan niat untuk melakukan pencegahan penularan HIV, misalnya dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Green dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom pria salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Hal ini berarti jika semakin baik pengetahuan seseorang mengenai HIV/AIDS, maka mempengaruhi tindakan untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks.
Pengetahuan tentang HIV dan pencegahannya merupakan prasyarat penting untuk menerapkan perilaku sehat. Meskipun sebagian besar generasi muda (usia 15-24 tahun) di negara ini pernah mendengar tentang HIV/AIDS, tetapi diketahui bahwa dari 95% target yang ditetapkan PBB, ternyata hanya 14,7% laki-laki menikah dan sekitar 9,5% perempuan menikah yang memiliki pengetahuan komprehensif dan benar mengenai AIDS. Sedangkan pada kelompok yang belum menikah, angka ini bahkan sangat rendah yakni 1,4% pada laki-laki yang belum menikah dan 2,6% pada perempuan yang belum menikah (Bappenas, 2009).
Berdasarkan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perilaku dan sosiodemografi terhadap upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

B. Permasalahan
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan X Kabupaten Y.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Y dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Y.
2. Bagi akademik, dapat memberikan tambahan literatur mengenai perilaku pekerja seks komersial (PSK) dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.
3. Bagi penulis, sebagai pengembangan ilmu yang didapat di perkuliahan terutama yang berhubungan dengan perilaku pekerja seks komersial (PSK)dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.