Search This Blog

Showing posts with label skripsi PGPAUD. Show all posts
Showing posts with label skripsi PGPAUD. Show all posts

SKRIPSI MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL JAWA PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0080) : SKRIPSI MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL JAWA PADA ANAK USIA DINI

contoh skripsi paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tingkat korupsi suatu negara dapat diukur dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data tahun 2009 menunjukan bahwa Indonesia berada pada papan bawah dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,8. Skala IPK mulai dari 1 sampai 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Dari data yang diperoleh dari Transparency International Corruption Perception Index 2009 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara lainnya pada urutan 111 seperti Algeria, Djibouti, Egypt, Kiribati, Mali, Sao Tome and Principe, Solomon Islands dan Togo. Angka ini menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang belum lepas dari persoalan korupsi.
Berdasarkan data-data tentang tingkat korupsi di Indonesia, persoalan korupsi menjadi permasalahan besar yang harus diselesaikan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan Anti Korupsi pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan karakter. Pendidikan anti korupsi berfokus pada pengembangan tata nilai & moralitas pada individu. Kemendikbud telah menetapkan bahwa pendidikan karakter dianggap sangat penting dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah. Dalam buku panduan tentang Pendidikan Karakter di SMP, Kemendiknas (2010), disebutkan bahwa karakter merupakan salah satu faktor terpenting bagi kesuksesan seseorang. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai pada anak. Menurut Handoyo (2009) nilai-nilai yang dapat disemaikan kepada generasi muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku sekolah diantaranya adalah kejujuran, tanggung jawab, keberanian, keadilan, keterbukaan, kedisiplinan, kesederhanaan, kerja keras, dan kepedulian.
Menurut laporan KPK tahun 2007 dalam pengembangan modul pendidikan, telah dibuat 3 modul untuk siswa SMP dan telah siap untuk dipublikasikan pada tahun 2008. Selain itu juga, untuk pendidikan pengembangan karakter anti korupsi bagi SD, telah dibuat modul pendidikan untuk siswa kelas 4, 5, dan 6. Khusus untuk pendidikan pengembangan siswa Taman Kanak-kanak (TK) telah dibuat buku dongeng anti korupsi yang berisi pesan moral yang memadukan cerita sederhana dengan tokoh dan karakter hewan-hewan lucu. Implementasi kegiatan pendidikan dengan pendekatan dongeng akan dilaksanakan pada tahun 2008.
Pendidikan anti korupsi memiliki banyak nilai yang harus dikembangkan untuk dapat membangun karakter anti korupsi kepada anak. Ada salah satu nilai yang paling penting untuk membangun karakter anti korupsi. Nilai tersebut adalah nilai kejujuran. Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan yang berkaitan dengan cara-cara untuk menanamkan kejujuran pada diri peserta didik melalui serangkaian cara dan strategi yang bersifat edukatif (Deal dan Peterson, 1999) dalam Hamdani (2010). 
Sebagaimana pernyataan yang ditulis oleh Hamdani (2010) bahwa moral kejujuran adalah moral universal, moral yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa modern dan beradab. Yang didasarkan atas nilai-nilai kejujuran. Kejujuran pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan (trust), dan kepercayaannya merupakan salah satu unsur modal sosial. Tugas pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada setiap komponen di dalamnya, baik itu siswa, staff guru maupun komponen lainnya. Handoyo, dkk (2010) melakukan penelitian tentang penanaman nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan anti korupsi di SMA 06 kota Semarang. Adanya penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan anti korupsi, kejujuran merupakan nilai yang paling penting untuk diajarkan kepada anak.
Membangun karakter bukanlah merupakan produk instan yang dapat langsung dirasakan sesaat setelah pendidikan tersebut diberikan. Pendidikan membangun karakter merupakan proses panjang yang harus dimulai sejak dini pada anak-anak dan baru akan dirasakan setelah anak-anak tersebut tumbuh menjadi dewasa. Penanaman pondasi karakter anti korupsi khususnya karakter kejujuran harus ditanamkan sejak usia dini. Salah satu cara untuk menanamkan karakter kejujuran pada anak adalah melalui pendidikan di sekolah. Menurut Schweinhart (1994) dalam Megawangi (2004) pendidikan karakter di sekolah hendaknya dimulai dari usia TK. Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap. Dalam membangun karakter kejujuran pada anak, terlebih dahulu harus dikenalkan konsep atau pemahaman kepada anak usia dini tentang karakter kejujuran.
Model pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan masa perkembangan mereka yang masih didominasi oleh permainan sebagai media transfer pengetahuan. Salah satu metode yang sesuai digunakan dalam implementasi pendidikan membangun pemahaman karakter kejujuran adalah melalui bermain. Bermain adalah suatu kebutuhan yang sudah ada dengan sendirinya (inherent), dan sudah didapat secara alami. Permainan yang bisa digunakan adalah permainan tradisional anak yang sudah cukup lama berkembang di negeri ini, bahkan permainan-permainan tersebut sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa. Namun demikian seiring dengan perkembangan jaman permainan tradisional ini semakin lama semakin dilupakan oleh anak-anak terutama di perkotaan karena sudah semakin banyaknya permainan modern yang berasal dari luar negeri.
Kajian tentang permainan tradisional anak di Indonesia umumnya belum sangat berkembang, tapi terlihat perhatian yang cukup besar dari kalangan ilmuwan terhadap fenomena budaya ini, kecuali dari kalangan tertentu. Namun demikian perhatian yang cukup serius telah diberikan oleh pemerintah melalui Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa studi telah dilakukan oleh para ahli, bahkan beberapa berusaha mengetahui proses-proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dampaknya terhadap berbagai jenis permainan tradisional di Jawa. Salah satu faktor yang ditemukan menjadi penyebab semakin surutnya permainan anak-anak tradisional dari tengah kehidupan anak-anak di Jawa adalah masuknya pesawat televisi ke daerah pedesaan. Dengan berbagai tayangan acara yang menarik dan tidak membutuhkan tenaga untuk menikmatinya, tontonan dari pesawat televisi secara langsung menjadi hal yang lebih disukai oleh anak-anak ketimbang berbagai permainan anak-anak yang memang tidak semuanya menarik dan menyenangkan untuk dimainkan.
Permainan tradisional anak merupakan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dianggap remeh, karena permainan ini memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan kejiwaan, sifat, dan kehidupan sosial anak di kemudian hari. Selain itu, permainan anak-anak ini juga dianggap sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memberi ciri atau warna khas tertentu pada suatu kebudayaan. Oleh karena itu permainan tradisional anak-anak juga dapat dianggap sebagai aset budaya, sebagai modal bagi suatu masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya dan identitasnya di tangan kumpulan masyarakat yang lain (Sukirman, 2004).
Misbach (2006) mengatakan dalam artikelnya bahwa permainan tradisional mengandung pesan-pesan moral dengan muatan kearifan lokal (local wisdom). Permainan tradisional bisa dikategorikan dalam tiga golongan, permainan untuk bermain (rekreatif), permainan untuk bertanding (kompetitif) dan permainan yang bersifat edukatif. Walaupun permainan-permainan ini dibeda-bedakan dalam 3 kategori, namun tidak berarti sifat yang ada pada satu macam permainan tidak terdapat dalam permainan jenis lainnya. Ada percampuran-percampuran diantara unsur-unsur permainan tersebut. Yang mendasar, semua jenis permainan ini kental dengan nilai-nilai kerjasama; kebersamaan; kedisiplinan; kejujuran; yang merupakan nilai-nilai pandangan hidup (world-view) dari berbagai suku bangsa di Indonesia, yang mendasari filosofi terbentuknya permainan tradisional ini.
Menurut Purwaningsih (2006) permainan tradisional mengandung unsur-unsur nilai budaya. Menurut Dharmamulya (2008), unsur-unsur nilai budaya yang terkandung dalam permainan tradisional adalah nilai kesenangan atau kegembiraan, nilai kebebasan, rasa berteman, nilai demokrasi, nilai kepemimpinan, rasa tanggung jawab, nilai kebersamaan dan saling membantu, nilai kepatuhan, melatih cakap dalam berhitung, melatih kecakapan berpikir, nilai kejujuran dan sportivitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011) menunjukkan bahwa pelatihan permainan tradisional edukatif potensi lokal mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan orang tua anak usia dini dalam kegiatan bermain anak. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa permainan tradisional edukatif menanamkan sikap hidup dan keterampilan seperti nilai kerja sama, kebersamaan, kedisiplinan, kejujuran, dan musyawarah mufakat karena ada aturan yang harus dipenuhi oleh anak sebagai pemain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011) ini menunjukkan bahwa permainan tradisional adalah sangat penting untuk diajarkan kepada anak usia dini di lingkungan rumah melalui orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011), menunjukkan bahwa permainan tradisional mengandung nilai sikap hidup dan keterampilan. Salah satu dari nilai itu adalah nilai kejujuran.
Kajian permainan tradisional telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1982 melalui penelitian dalam bentuk inventarisasi permainan tradisional. Dalam penelitian tersebut belum sepenuhnya dijelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional. Mengingat jangka waktu inventarisasi penelitian telah dilakukan oleh Kementerian dan Kebudayaan pada tahun 1982 sudah mencapai rentang waktu 15 tahun maka dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam permainan tradisional etnis Sunda. Dalam penelitian ini banyak sekali nilai-nilai yang ada dalam permainan tradisional yaitu jiwa kepemimpinan, kerjasama, lapang dada, menegakkan keadilan, taat aturan, jujur, usaha keras, tidak sombong, cerdik, dan motivator untuk menang. Salah satu contoh misalnya permainan tradisional congkak atau dakon mengandung nilai disiplin diri, kejujuran diri, kerja sama, menghargai kawan dan lawan, kecepatan dan ketepatan, melatih kesabaran, tanggung jawab.
Penelitian yang dilakukan oleh Siagawati dkk (2007), mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional Gobak Sodor. Nilai-nilai dalam permainan Gobak Sodor adalah sebagai berikut ; yang pertama yaitu aspek jasmani yang meliputi nilai kesehatan dan kelincahan. Yang kedua, aspek psikologis yang meliputi nilai kejujuran, sportivitas, kepemimpinan, pengaturan strategi, kegembiraan, spiritualisme, perjuangan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyusun skripsi dengan judul “MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK USIA DINI”.

SKRIPSI MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0079) : SKRIPSI MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

contoh skripsi paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia, pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kemampuan dan potensi manusia sehingga bisa hidup layak, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan juga bertujuan mendewasakan anak, kedewasaan tersebut mencakup pendewasaan intelektual, sosial dan moral tidak semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan adalah proses sosialisasi untuk mencapai kompetensi pribadi dan sosial sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Anak diciptakan Allah dengan dibekali kekuatan pendorong alamiah yang dapat diarahkan ke arah baik atau ke arah yang buruk. Menurut Sayid Sabiq kewajiban orang tualah agar memanfaatkan kekuatan-kekuatan alamiah itu dengan menyalurkannya ke saluran yang baik, yaitu dengan mendidik anak -anak asuhannya sejak usia dini, dengan membiasakan diri dengan kelakuan dan adat istiadat yang baik. Agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi pergaulan hidup sekelilingnya. Begitu juga mengenai agama yang dianut oleh anak, orang tua sangat mempengaruhi agama apa yang akan dianut oleh anak kelak.
Sebagaimana diterangkan dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi : 
Artinya : “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaplah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. tidak ada perubahan bagi fitrah Allah; itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Disamping ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits Nabi yang berbunyi : 
Artinya : “Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw. bersabda tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah). Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan anak tersebut beragama yahudi, nasrani, ataupun majusi” (HR. Muslim)
Jelas bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama dan kemudian tergantung pada pendidikan yang diberikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi orang yang taat beragama pula. Tetapi sebaliknya, jika tidak dipupuk dan dibina, anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.
Menurut M. Arifin yang mengutip pendapatnya Crow & Crow mengatakan bahwa, pendidikan pertama anak diterima dalam lingkungan rumah. Keadaan ekonomi serta tingkat kehidupan rumah, kestabilan emosi orang tua dan keluarga serta cita-cita dan ambisi yang tampak dari tingkah laku anggota keluarga yang lebih tua umurnya, kesemuanya itu mempengaruhi tingkah laku serta sikap anak secara langsung ataupun tidak langsung. Anak yang terlalu dimanjakan, terlalu dilindungi atau diterlantarkan atau orang tuanya bersikap keras yang mengganggu perasaan, dapat menjadikan anaknya perusak, penakut, dan sakit saraf.
Anak merupakan makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang shaleh. Dalam hal ini, sebagai mana menurut Allport yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata, bahwa manusia merupakan organisme yang pada waktu lahir adalah makhluk biologis, lalu berubah atau berkembang menjadi individu yang egonya selalu berkembang, struktur sifat-sifatnya meluas dan merupakan inti dari pada tujuan-tujuan dan aspirasi masa depan.
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan segera setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Maka dari itu anak sebagai harta yang perlu dibina dan dipupuk sejak dini, ia membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan diri menatap masa depan sehingga menjadi manusia dewasa yang berkualitas. Kini dunia juga bergantung kepada sistem dan dasar pendidikannya. Apabila pendidikannya benar maka wajah dunia akan menjadi indah berseri dan sebalikya apabila pendidikannya salah dunia akan dibelenggu oleh kegarangan hidup yang bisa mengubah watak manusia menjadi hewan yang buas yang selalu ingin menerkam kawan dan lawan.
Sekolah juga merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat dan negara untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan bangsa. Karena itu, sekolah dituntut harus mampu menghasilkan out put yang berkualitas yaitu SDM yang pandai, trampil dan berbudi pekerti luhur.
Pakar pendidikan mengingatkan, mendidik anak agar cerdas, kreatif, dan terampil harus dimulai sejak usia dini. Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, anak yang cerdas perlu diawali di taman anak (sekarang Taman Kanak-kanak atau Masa Wiraga), dimana diberikan pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan daya cipta dan pikir, bahasa, perilaku, dan ketrampilan, jasmani serta moral, emosi, sosial, dan disiplin.
Menurut Dr. Soemarti Patmonodewo dalam Pendidikan Anak Prasekolah halaman 56 mengatakan bahwa pendidikan TK memperhatikan beberapa prinsip pendidikan, antara lain : (1) TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah, untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan; (2) Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individual, sesuai dengan kebutuhan anak TK; (3) Perkembangannya adalah hasil proses kematangan dan proses belajar : (4) Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari; (5) sifat kegiatan di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah; (6) Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik.
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini : 
a. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
b. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
c. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudlatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
d. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
e. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal I disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal atau informal. Dalam hal ini, TK (Taman Kanak-kanak) merupakan salah satu jalur pendidikan formal yang diselenggarakan untuk anak usia dini yang di mulai pada umur 4 sampai 6 tahun dalam rangka mengembangkan potensi mereka dengan sistem bermain sambil belajar.
Berdasarkan uraian-uraian di atas tentang pendidikan anak usia dini, maka manajemen kurikulum yang jelas dan sistematis tentunya harus sangat diperhatikan dalam pendidikan usia dini, karena harus selalu memperhatikan tingkat perkembangan dan psikologi anak didik. Karena setiap anak adalah unik, dalam arti pola dan saat pertumbuhan dan perkembangan, baik kepribadian, gay a pembelajaran dan latar belakang keluarga. Kurikulum dan interaksi orang dewasa anak seharusnya disesuaikan dengan masing-masing individu.
Pembelajaran pada anak usia dini adalah hasil dari interaksi antara pemikiran anak dan pengalamannya dengan materi-materi, ide-ide dan orang di sekitarnya. Pendidikan dapat menggunakan pengetahuan tentang perkembangan anak guna mengidentifikasi tentang kecapaian tingkah laku, aktivitas dan materi-materi yang diperlukan untuk suatu kelompok usia, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memahami pola perkembangan anak, kekuatan, minat, dan pengalaman serta guna merancang lingkungan pembelajaran yang sesuai. Walaupun gaya pembelajaran ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tradisi, nilai sosial-budaya, harapan orang tua dan strategi guna mencapai perkembangan yang optimal yang harus disesuaikan dengan usia dari masing-masing individu.
Di kalangan para pendidik sudah ada kesepahaman bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja dalam praktik pendidikan sehari-hari tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa peran orang tua dan masyarakat pada umumnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Walaupun dalam peraturan pemerintah terlihat perbedaan yang jelas antara TK dan SD, dalam kenyataan di lapangan kedua jenjang pendidikan tersebut tidak banyak membedakan materi maupun metodologi pembelajarannya. Di banyak tempat, sistem pembelajaran di Taman Kanak-Kanak tidak banyak berbeda dengan di Sekolah Dasar. Jika praktik pendidikan seperti ini di teruskan, di khawatirkan akan terjadi dampak-dampak negative pada perkembangan anak kemudian hari. Oleh karena itu, dalam pendidikan usia dini harus selalu memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak, yakni : kurikulum yang digunakan.
Salah satu tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah melaksanakan semua kegiatan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku, karena kurikulum di sini merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi, berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan sebagian besar ditentukan dari manajemen kurikulum suatu lembaga pendidikan.
Adanya manajemen kurikulum, dalam hal ini khususnya muatan lokal, yang diselenggarakan secara efektif dan efisien, diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan suatu daerah. Untuk itu diperlukan sebuah manajemen yang baik dari suatu lembaga pendidikan. “Studi tentang manajemen kurikulum adalah bagian integral dari kurikulum. Karena sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak didik untuk kehidupan di masyarakat, maka sekolah sangat dipengaruhi lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita tarik simpulan bahwasannya pembelajaran di Taman Kanak-Kanak sangat besar pengaruhnya dalam meneruskan di jenjang pendidikan. Karena pembelajaran di Taman Kanak-Kanak itu seperti menanam pohon di waktu masa kecil. Hal ini menyebabkan penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI.

SKRIPSI IMPLEMENTASI PERMAINAN EDUKATIF DALAM UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM PADA ANAK PRA SEKOLAH

(KODE : PG-PAUD-0078) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PERMAINAN EDUKATIF DALAM UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM PADA ANAK PRA SEKOLAH

contoh skripsi paud

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut teori Bloom, pada intinya pendidikan memiliki tujuan dalam tiga ranah, yaitu : ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (ketrampilan). Dari ketiga ranah tersebut, maka dapat dipahami bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya semata-mata berarti menyampaikan ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada peserta didik, melainkan lebih dari hal itu. Dalam pendidikan juga diusahakan pembentukan watak bagi peserta didik agar menjadi lebih baik, serta diberikan bekal berupa ketrampilan yang dibutuhkan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Karena begitu pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan manusia, maka ia harus berlangsung terus menerus dari seseorang itu masih dalam kandungan hingga seseorang meninggal. Salah satu fase yang penting dalam proses pendidikan adalah pada masa anak-anak. Dengan kata lain masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada anak-anak. Oleh karena itu pendidikan hendaknya diberikan pada anak-anak sejak usia pra sekolah, yang dapat dilakukan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Orang tua harus mampu memberikan dukungan kepada anaknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan kreativitas anaknya. Jika ditemukan anak-anak terhenti kreativitasnya, maka lebih disebabkan karena ketidakwaspadaan orang tua terhadap perkembangan psikologi anak.
Pendidikan anak-anak selain diberikan di lingkungan keluarga, juga harus diberikan pendidikan formal. Salah satu pendidikan formal untuk anak-anak pra sekolah adalah Taman Kanak-Kanak (TK).
Perlu diketahui, bahwa pada pendidikan Taman Kanak-Kanak TK memiliki karakteristik-karakteristik tujuan yang akan dicapai, yaitu : pengembangan kreatifitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik, dan pengembangan sikap dan nilai dari para peserta didik.
Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas pada pendidikan Taman kanak-Kanak (TK) dibutuhkan pemilihan metode yang tepat, sesuai karakteristik dari peserta didik maupun karakteristik tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) tersebut. Sistem pengorganisasian pada pendidikan TK perlu disusun berdasarkan pendekatan yang lebih meningkatkan kreatifitas pada anak, dengan menggunakan sumber belajar yang dapat digunakan untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan yang kreatif.
Sesuai dengan usia siswa di Taman Kanak-Kanak (TK), maka metode-metode yang dapat digunakan dalam menyajikan materi pelajaran antara lain : Bermain, karyawisata, bercakap-cakap, bercerita, demonstrasi, proyek, pemberian tugas.
Dari beberapa pilihan metode yang dapat diterapkan di taman Kanak-Kanak (TK) di atas, salah satu metode yang tepat bila diterapkan pada anak TK adalah metode bermain. Bermain adalah dunia kerja anak usia prasekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain tanpa dibatasi usia. Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi dengan kegiatan bermain. Dari alasan ini, maka metode bermain tidak dapat ditinggalkan pada proses pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK).
Permainan merupakan prasyarat untuk keahlian anak selanjutnya, suatu praktek untuk kemudian hari. Permainan penting sekali untuk perkembangan kecerdasan. Dalam permainan anak-anak dapat bereksperimen tanpa gangguan, sehingga dengan demikian akan mampu membangun kemampuan yang kompleks.
Dengan bermain akan memberi pengaruh penting dalam penyesuaian pribadi dan sosial anak. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa telah dibedakan antara bermain dengan belajar. Mereka hanya membolehkan anak-anak bermain sesudah selesai belajar. Pandangan itu berbeda dengan pandangan modern yang menyatukan bermain dengan belajar, yaitu belajar dalam bentuk permainan. Al-Ghazali menyatakan bahwa sesungguhnya melarang anak-anak bermain dan memaksanya belajar terus-menerus dapat mematikan hatinya dan menghilangkan kecerdasannya serta menyukarkan hidupnya.
Pendidikan agama harus diberikan kepada anak-anak sedini mungkin, karena agama adalah bekal bagi mereka di kemudian hari dalam menghadapi masalah-masalah hidup mereka kelak. Secara umum dasar-dasar ajaran Islam meliputi aqidah, ibadah, dan akhlak. Dasar-dasar ini terpadu, tidak dapat terpisahkan antara yang satu dengan yang lain, pemilahannya hanya terjadi dalam tataran keilmuan. Begitu pula dalam kehidupan agama pun anak membutuhkan pendidikan yang memberi kesan indah, gembira, senang dalam jiwa mereka. Kesan yang indah dan menggembirakan dalam pendidikan agama demikian itu akan membawa perasaan cinta pula kepada agama pada masa dewasa.
Dunia anak adalah dunia yang identik dengan permainan. Sehingga ketika menyadari hal tersebut, tentunya diharapkan dapat menjadikan permainan tidak hanya sekedar menjadi alat yang bersifat menghibur, melainkan dapat pula dijadikan sebagai alat mendidik (edukatif) yang paling tepat bagi anak-anak. Dengan menyesuaikan usia perkembangan anak, dapat dimasukkan nilai-nilai yang positif (nilai-nilai Islam dalam permainan).
Dari hal tersebut, anak-anak hendaknya diperkenalkan dengan berbagai jenis permainan, namun harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dari alat permainan tersebut. Karena tidak semua bentuk permainan memberi nilai positif bagi anak-anak. Orang tua dan guru tidak asal memilih, tetapi harus memperhatikan unsur edukatif yang terdapat dalam permainan tersebut.
Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian apakah dalam belajar mengajar di Taman Kanak-Kanak (TK) dengan menggunakan permainan edukatif dapat menanamkan nilai-nilai Islam bagi anak pra sekolah. Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu lembaga pendidikan anak pra sekolah yang dalam proses pembelajarannya juga memanfaatkan metode bermain sambil belajar dengan memanfaatkan permainan edukatif dalam setiap area belajarnya. Dengan dasar tersebut peneliti terdorong untuk mengadakan penelitian yang dirumuskan dalam judul “IMPLEMENTASI PERMAINAN EDUKATIF DALAM UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM PADA ANAK PRA SEKOLAH”.

SKRIPSI IMPLEMENTASI MODEL SEKOLAH ALAM DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0077) : SKRIPSI IMPLEMENTASI MODEL SEKOLAH ALAM DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

contoh skripsi pg paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan di segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan intelektualnya. Pendidikan sebagai usaha untuk membantu mencapai kedewasaan pola pikir dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju dengan cepat, yang cenderung tak terkendali, bahkan hampir-hampir tak mampu dielakkan oleh dunia pendidikan, maka lembaga pendidikan dituntut untuk berbenah diri agar lebih berkualitas.
Seiring dengan perubahan dunia yang begitu mencekam dan telah di dominasi oleh sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab meletakkan pendidikan sebagai komoditas untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini, sistem pendidikan di era kekinian lebih banyak dibangun atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Melihat realitas pendidikan yang cenderung liberatif diperlukan dasar penanaman nilai yang kuat untuk membentengi moralitas peserta didik.
Tantangan globalisasi yang menggurita hingga dalam ranah kebijakan pendidikan menjadi semakin terasa, sehingga perlunya manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Pengesampingan unsur jasmani dan rohani dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang disebabkan oleh kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan. Dengan pendidikan (Islam) akan mengarahkan manusia kepada pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakekatnya ialah manusia shaleh, manusia yang dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.
Pendidikan nilai menjadi sangat diperlukan untuk kemajuan pendidikan, karena sekarang pendidikan hanya difokuskan pada kognitif saja, seperti yang diungkapkan Djohar bahwa pendidikan moral hanya sebatas moral kognitif bukan moral learning. Apalagi di era globalisasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia dalam kemudahan. Ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayatnya (qouliyah dan qouniyah) memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaitu keingintahuan (curiosity) terhadap segala sesuatu (realitas).
Perilaku kehidupan pada era informasi ini juga telah merambah kehidupan domestik dan personal. Maraknya kasus-kasus perceraian, penggunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat, skizofrenia dan bunuh diri yang di sebut oleh Frijof Capra sebagai “penyakit-penyakit peradaban”. Ternyata perkembangan sains dan teknologi yang spektakuler pada abad ke-20 tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan umat manusia.
Persoalan krisis global semakin kompleks dan multidimensional salah satu masalah serius yakni kerusakan ekologi atau lingkungan hidup, telah menjadi isu global yang melibatkan cara pandang manusia modern terhadap alam. Alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus dinikmati semaksimal mungkin. Memang dominasi terhadap alam lah yang menyebabkan masalah bencana, lahan semakin sempit, kurangnya ruang bernafas, pengurasan jenis sumber alam, hancurnya keindahan alam.
Dominasi atas alam dan konsepsi materialistik tentang alam yang dianut manusia modern ini telah didukung dengan nafsu dan ketamakan yang semakin banyak menuntut lingkungan. Semua ini dalam pandangan filosofis akibat dari cara pandang yang dualistik-mekanistik dan materialistik. Cara pandang ini menyebabkan terjadinya dikotomik atau diversitas (pembedaan) seperti; subyek-obyek, manusia-alam, manusia-Tuhan, suci-sekuler, timur-barat.
Cara pandang dikotomik ini menyebabkan tidak harmonis antara manusia, Tuhan, dan alam yang telah dihancurkan. Semua ini terkait dengan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh hancurnya harmoni antara Tuhan dan manusia. Anak terlahir putih bersih dan fitrahnya sangat tergantung kepada pendidikan, pengarahan dan bimbingan orang tua, apalagi usia kanak-kanak merupakan masa bagi seorang anak memiliki kemampuan sangat besar untuk menghafal, meniru dan masa cinta bersemi.
Bila anak dididik dengan akhlak, nilai-nilai, dan kebiasaan mulia akan sangat mudah sang anak diarahkan untuk dididik kepada kebaikan dan kemuliaan. Oleh karena itu para filosof Islam merasakan betapa pentingnya periode kanak-kanak dalam pendidikan budi pekerti dan membiasakan anak-anak pada tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka sependapat bahwa pendidikan anak-anak sejak kecil harus mendapat perhatian penuh, pepatah lama mengatakan bahwa “belajar di waktu kecil ibarat mengukir di atas batu, sedangkan belajar di waktu besar, ibarat mengukir di atas air”. Dengan melihat pada pepatah di atas, terlihat akan pentingnya pendidikan pada masa kanak-kanak atau yang sering di kenal dengan anak usia dini. Ini sesuai realita bahwa usia dini merupakan the golden age (masa emas) dimana anak mengalami kepekaan belajar yang luar biasa.
Perilaku keseharian anak didik khususnya di sekolah akan terkait erat dengan lingkungan yang ada, sangat ironi atau bahkan akan menjadi mustahil terwujud jika anak di tuntut berperilaku terpuji sementara lingkungan di sekolah terlalu banyak elemen yang tercela. Fase anak usia dini merupakan fase yang akan dialami setiap anak setelah masa menyusui. Pada fase ini merupakan fase eksplorasi bagi anak yang mengalami perkembangan berbicara, ingin selalu bergerak dan senantiasa ingin memiliki segala sesuatu dengan egois.
Sedangkan anak usia dini merupakan fase bagi anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa kepekaan merupakan masa terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial, emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral dan nilai-nilai agama.
Dengan demikian anak harus dididik supaya mereka dapat hidup layak, berguna bagi persekutuan (masyarakat), menjaga diri segala kompleksitas fenomena yang ada di lingkungannya. Maka diperlukan partisipasi dan kerja sama dari berbagai pihak, untuk menanamkan nilai lingkungan hidup bagi anak usia dini, hal ini sesuai filosofi yang mendasarinya.
Karena proses pendidikan di taman kanak-kanak memfokuskan pada penerapan nilai-nilai, sebab anak merupakan sentral dari seluruh proses pendidikan. Kreativitas adalah berkaitan dengan imajinasi atau manifestasi kecerdikan dalam beberapa pencarian yang bernilai. Lebih lanjut dikatakan kreativitas tidak mengikat pada hasil akhir, tetapi lebih mengedepankan proses. Karena proses yang dilakukan beberapa orang dapat dianggap sebagai kreatif.
Pendidikan sendiri bervisi utama untuk mencerdaskan anak bangsa dan mengembangkan nalar kreatif dan nalar intelektual. Sebagai gambaran yang riil adalah lahirnya tipe mechanic student dimana anak didik sudah diposisikan pada orientasi pasar. Demikian halnya suatu wadah atau lembaga diharapkan mampu berperan dalam menginternalisasikan kecakapan berbasis bakat dan nilai-nilai lingkungan hidup berbasis alam sekitarnya, sehingga membentuk anak lebih menghargai terhadap alam. Sehingga diperlukan alternatif baru untuk merealisasikan visi guna menghadapi persaingan mondial menuju masa depan perbaikan bangsa.
Taman kanak-kanak (TK) atau Raudhotul Athfal (RA) merupakan lembaga formal yang sesuai untuk anak usia dini. Ini selaras dengan yang telah di cantumkan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 ayat 1 yang termasuk anak usia dini adalah anak yang masuk dalam rentang 0-6 tahun. Diantaranya menyebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudhotul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu kajian rumpun PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun.
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 4, anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang, bermain, beristirahat, berkreasi dan belajar dalam suatu pendidikan. Termasuk pendidikan dengan model pembelajaran yang mengarah pada optimalisasi potensi sesuai dengan daya cipta anak untuk pertumbuhan dan perkembangan melalui bermain, sehingga suasana belajar terasa lebih menyenangkan dan tidak merasa dipenjara. Untuk membangun dan mengeksplorasi kecerdasan yang ada dibutuhkan pendekatan holistik untuk mengembangkan potensi anak mencapai hasil yang maksimal.
Salah satu bentuk sistem pendidikan saat ini mulai berkembang di Indonesia adalah pendidikan sekolah alam. Sistem pendidikan sekolah ini berbeda dari sekolah formal umumnya. Sistem pendidikan dan pembelajaran di sekolah ini memadukan teori dan penerapannya, bahkan dalam metode mengajar banyak dan bermacam-macam, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam penggunaannya, maka metode satu dan yang lainnya saling melengkapi.
Sekolah Alam yang menjadi alternatif dalam menerapkan pembelajaran berbasis penanaman nilai lingkungan (ekologi). Selain itu dari desain fisik sekolah yang ada memperlihatkan perbedaan nyata, sehingga menjadi sebuah ketertarikan sendiri untuk di observasi Hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian bagaimana implementasi Model Sekolah Alam di PAUD.
Penilaian tersebut mempengaruhi penulis sehingga tertarik untuk menyajikan kajian tentang pendidikan berbasis pada nilai-nilai lingkungan hidup kepada anak didik yang diharapkan tertanam kesadaran berperilaku sesuai dengan kaidah moral, etika dan akhlak sesuai ajaran agama Islam yang mendekatkan diri pada Alam. Setidaknya dari apa yang telah ada menjadi sesuatu yang perlu dikaji konsep dan latar belakangnya, kenapa dan bagaimana penerapan dalam proses pembelajarannya dengan model sekolah alam sebagai pendidikan alternatif pendidikan untuk mewujudkan investasi masa depan genersi bangsa yang lebih unggul dan cakap.
Berpijak dari latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan penelitian tentang masalah tersebut dengan judul “IMPLEMENTASI MODEL SEKOLAH ALAM DI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI”.

SKRIPSI IMPLEMENTASI METODE PEMBIASAAN PADA PENGEMBANGAN MORAL KEAGAMAAN BAGI ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0076) : SKRIPSI IMPLEMENTASI METODE PEMBIASAAN PADA PENGEMBANGAN MORAL KEAGAMAAN BAGI ANAK USIA DINI

contoh skripsi pg paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak membutuhkan kasih sayang, perhatian dan cukupnya pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani baik itu yang diberikan oleh orang tua atau keluarga dan lingkungan sekitarnya seperti masyarakat untuk mencapai perkembangan yang optimal. Pengasuhan anak secara benar harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak, yang merupakan kunci sukses dalam mengasuh dan mendidik anak.
Menurut ajaran Islam, persiapan mendidik anak dimulai sejak pemilihan jodoh, yaitu pemilihan istri atau suami. Dan pendidikan tidak dapat berawal dari pertengahan jalan. Pendidikan hendaknya bermuara dari kebeningan cinta, dan rasa kasih sayang, melalui tata cara yang dipolakan dengan penuh kehangatan, keamanan, serta berjuang pada pencapaian ridha Allah swt. Seorang anak akan tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh orang tua atau keluarga yang dekat dengan anak. Sehingga perkembangan fisik, mental maupun spiritual sangat bergantung pada pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Dalam hadits Nabi disebutkan : 
Artinya : Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya dia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya lah yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani Atau Majusi" (HR, Muslim)
Kebutuhan anak berupa pemenuhan kebutuhan rohani, diantaranya adalah pendidikan, harus diprioritaskan mengingat betapa pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Adapun pendidikan itu sendiri pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung sepanjang hayat. Sedangkan menurut Langeveld yang dikutip Sutari Imam Barnadib bahwa pendidikan adalah pemberian rangsangan dan bantuan rohani bagi yang masih memerlukan. Anak mulai dapat dididik kalau sudah mengerti arti kewibawaan (gezag). Perlu kiranya ditambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan fitriyah yang ada dalam diri anak, sebaiknya disalurkan dengan pengarahan yang dapat menunjang perkembangan dan pembentukan pribadinya. Proses ini hendaknya berlangsung secara benar dan lancar antara orang tua dengan anak. Orang tua harus mengarahkan pada pembinaan adat/watak yang baik dalam diri sang anak dengan cara memupuk kebiasaan dalam rangka menumbuhkan rasa cinta kepada hal-hal yang baik serta kemauan untuk merealisasikannya atau mengikutinya.
Sebagaimana pendapat Mansur yang dikutip oleh Mursid bahwa pendidikan anak usia dini merupakan suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan non fisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani dan rohani (moral dan spiritual) motorik, akal pikir, emosional dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pendidikan usia dini bertujuan untuk memberikan stimulasi dan bimbingan terhadap kelembutan fisik dan pertumbuhannya, sehingga meningkatkan kemampuan intelektual dan hubungan sosial sebagai persiapan untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Sesuai pendapat Harun Al Rasyid yang dikutip oleh Jamal Ma'mur Asmani, beliau mengungkapkan bahwa pemberian pendidikan pada anak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan periode ini akan datang hanya sekali serta tidak dapat diulang lagi, sehingga pemberian stimulasi dini, salah satunya adalah pendidikan mutlak diperlukan. Secara umum Pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan berbagai potensi anak-anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta membentuk anak Indonesia yang berkualitas, dimana anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan optimal dalam memasuki pendidikan dasar, serta mengarungi kehidupan di masa dewasanya. Agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang sesuai dengan falsafah suatu bangsa. Anak perlu dibimbing agar dapat mengetahui fenomena alam dan dapat melakukan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat kelak. Usia dini merupakan saat yang sangat berharga untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme, agama, etika, moral dan sosial yang berguna untuk kehidupan selanjutnya.
Di Indonesia, pendidikan anak usia dini atau biasa disebut PAUD telah mendapat perhatian dari masyarakat yang sudah mulai peduli dengan masa keemasan anak. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya diselenggarakan PAUD misalnya Playgroup dan TK oleh masyarakat. Tidak hanya oleh masyarakat perkotaan saja, akan tetapi di desa pun sekarang PAUD telah menjamur. Dan pemerintah pun menyambut baik respon masyarakat yang peduli akan pendidikan bagi seseorang terutama pendidikan bagi anak usia dini. Sehingga ada payung hukum yang sah yang mengayomi pelaksanaan pendidikan anak usia dini. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No. 20 Tahun 2003 pada BAB 1 pasal 1 ayat 12 disebutkan : “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang" sedangkan dalam pasal 1 ayat 14, dijelaskan pengertian pendidikan anak usia dini yang berbunyi : “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan bagi seseorang itu tidak terbatas oleh usia, ruang dan waktu. Nafas pendidikan harus senantiasa mengiringi perjalanan kehidupan manusia, atau dikenal dengan Long Life Education. Dan justru pada usia dini lah, pendidikan sangat berpengaruh terhadap karakter, kapabilitas dan akuntabilitas anak. Karena, pada usia dini anak mengalami masa pembentukan, konstruksi nalar, psikologis, dan sosial yang berpengaruh terhadap masa depannya.
Untuk menciptakan kepribadian yang sukses dunia-akhirat, pendidikan merupakan suatu keharusan yang tak terelakkan. Karena pada usia itulah anak baru mengenal dunianya, sehingga pendidikan usia dini sangat membekas dalam jiwa, menajamkan akal, dan membeningkan nurani. Pendidikan sejak dini akan menjadi fondasi kuat dalam fase perkembangan hidup berikutnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis nabi bahwa pendidikan dilaksanakan sejak dalam buaian sampai ke liang lahat.
Jika pada fase input ini yang diterima oleh seorang anak positif dan konstruktif, maka ibarat pohon, akan terbangun akar yang kuat. Jadi, seberat dan setinggi apapun daun dan rantingnya, ia akan tetap kokoh, tak mudah goyah oleh terpaan angin yang kencang sekalipun. Fase input berarti masa dimana anak usia dini mengalami fase formasi, konstruksi nalar, psikologis dan sosial yang berpengaruh terhadap masa depannya. Maka dari itu pendidikan bagi anak usia dini harus menjadi perhatian kita bersama. Karena pendidikan anak usia dini akan mencetak generasi bangsa mempunyai eksistensi, kepercayaan diri dan orientasi masa depan. Tujuan hidupnya akan terbangun dengan baik, kuat dan kokoh dan telah dipersiapkan sejak dini.
Mengingat bahwa pendidikan bagi anak merupakan bagian integral dari pendidikan sekolah, orang tua, dan masyarakat maka peserta didik usia 0-6 tahun yang tidak terlayani di pos PAUD, tempat penitipan anak, kelompok bermain maupun taman kanak-kanak, berarti menjadi tanggung jawab pengasuhan keluarga. Maka dari itu orang tua menjadi sasaran tidak langsung dari program PAUD agar memperoleh model pengasuhan yang tepat. Artinya, PAUD tidak terbatas pada pengasuhan anak saja akan tetapi juga terkait pada pendidikan orang tua tentang pendidikan anak. Sehingga, mereka dapat memberikan pengasuhan yang tepat dan sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang menitikberatkan pada bagaimana metode yang tepat diberikan pada pendidikan anak usia dini agar berjalan secara efektif dan efisien, tidak hanya materi yang didapatkan oleh seorang anak ketika belajar, tetapi pengalaman dan penerapan dari apa yang telah diperoleh di bangku sekolah, itulah yang lebih penting untuk ditekankan. Tujuan pendidikan pun akan dapat terlaksana dengan baik manakala proses pendidikan dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan dan tanpa paksaan. Melainkan dengan adanya kesadaran diri dari peserta didik yang dilatih melalui proses pembiasaan.
Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah cara atau metode yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama islam. Sebagai permulaan dan pangkal pendidikan anak usia dini, maka pembiasaan merupakan harus diterapkan pada anak. Sejak dilahirkan anak harus dilatih dengan kebiasaan-kebiasaan dan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti dimandikan, ditidurkan pada waktu tertentu, diberi makan dsb. Anak-anak dapat taat dan menurut kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga atau keluarga, sekolah, dan juga di tempat lain. Maka dari itu tepatlah kalau pembiasaan dijadikan sebagai metode dalam mendidik anak usia dini. anak bisa diarahkan dan dibimbing pada kebiasaan-kebiasaan dan perbuatan yang baik, karena anak berada pada usia sensitif, mudah dipengaruhi oleh lingkungan serta suka meniru.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di playgroup yang menggunakan konsep sekolah alam yang baru satu-satunya di kota ini, sehingga pembelajaran yang dilaksanakan tidak membuat anak jenuh dan bosan belajar di ruang kelas saja akan tetapi juga di luar kelas yang nyaman dan menyenangkan, langsung praktik dengan peralatan yang ada dan menggunakan alam sebagai alat observasi serta sekolahnya pun dilaksanakan seharian atau dikenal dengan Full Day School. Sehingga benar-benar menghindarkan anak dari pengaruh buruk globalisasi. Maka peneliti mengambil judul skripsi : “IMPLEMENTASI METODE PEMBIASAAN DALAM PENGAMALAN AJARAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK USIA DINI “.

SKRIPSI HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH

(KODE : PG-PAUD-0075) : SKRIPSI HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH

contoh skripsi pg paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah dari Sang Pencipta yang diamanahkan untuk dirawat, dibimbing dan dididik yang nantinya akan menjadi sumber daya manusia masa mendatang untuk melanjutkan perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan mereka seolah-olah tidak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar (Sujiono, 2009 : 6). Oleh karena itu, anak memiliki karakteristik yang unik dan khas, serta memiliki tugas perkembangan yang berbeda dengan periode perkembangan yang lain.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 menyebutkan bahwa yang masuk kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Mengingat masa kanak-kanak merupakan proses pertumbuhan baik fisik maupun jiwa, maka untuk menghindari rentannya berbagai perilaku yang mengganggu pertumbuhan anak tersebut maka UU No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mengatakan anak pada dasarnya mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh keluarganya yaitu orang tuanya, dimana hak-hak itu meliputi : hak atas kesejahteraan, perlindungan, pengasuhan dan bimbingan.
Maka dari itu tanggungjawab orangtua lah atas kesejahteraan anaknya yang berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga nantinya anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berguna bagi nusa bangsa, Negara dan agama.
Masa kanak-kanak ini memiliki beberapa tugas perkembangan untuk dapat melanjutkan tahapan perkembangan selanjutnya yaitu masa remaja. Salah satu tugas perkembangan anak untuk mencapai tahapan tersebut adalah menumbuhkan kemandirian. Mandiri atau sering juga disebut berdiri di atas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Hal ini diperkuat oleh Kartono (1995 : 243) kemandirian adalah kemampuan berdiri sendiri diatas kaki sendiri dengan kebenaran dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan dalam Desmita (2011 : 185) kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Dalam proses tumbuh kembang anak, orang tua khususnya ibu berkewajiban dalam mengasuh, membimbing, dan mendidik yang tidak lepas dari berbagai halangan. Begitu banyak usaha yang dilakukan ibu untuk membekali diri dengan pengetahuan yang berkaitan dengan proses perkembangan anak. Bimbingan kepada anak untuk menjadi manusia yang mandiri dimulai dari lingkungan keluarga, yang berupa pemberian kesempatan untuk menyelesaikan tugas sederhana tanpa bantuan, kebebasan dalam mengambil keputusan dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ali & Asrori (2004 : 118) bahwa perkembangan kemandirian juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungannya selain oleh potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orangtuanya. Apabila lingkungan sekitar mendukung maka akan terbentuk individu menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengambil keputusan dan bertanggungjawab dalam melakukan berbagai tindakan yang telah dilakukan. Begitu juga sebaliknya individu akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah bergantung pada orang lain, selalu ragu-ragu dalam menentukan sebuah keputusan dan tidak mampu memikul tanggung jawab diri sendiri.
Kemandirian akan berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui berbagai latihan secara terus menerus dan bertahap. Latihan-latihan tersebut dapat berupa tugas-tugas tanpa memerlukan bantuan yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak. Kemandirian memberikan dampak yang positif bagi individu, jadi tidak ada salahnya jika diajarkan sedini mungkin yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak. Tentang hal tersebut Fatimah (2006 : 144) menyatakan latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak.
Peran orangtua khususnya ibu, sangat besar dalam proses pembentukan kemandirian. Ibu, merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu sebagai sosok utama yang mempunyai keterlibatan langsung dalam perawatan, perkembangan anak dan pemberian nutrisi pada anak. Profesi sebagai ibu rumahtangga merupakan profesi yang mulia. Namun di jaman modern seperti sekarang ini, seorang ibu tidak hanya dituntut mengasuh anak dan di rumah, akan tetapi juga dituntut untuk ikut aktif mengembangkan karir sesuai dengan minat dan latar belakang pendidikan selain sebagai ibu rumah tangga. Rutinitas kedua orangtua khususnya ibu yang padat menyita seluruh waktu dan tenaga untuk kegiatan tersebut sehingga mengakibatkan pengasuhan anak digantikan oleh pengasuh/ baby sitter, neneknya, saudara dekat dan bahkan anak dititipkan di yayasan penitipan anak. Kesibukan ini mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis antara ibu dan anak. Sehingga kebutuhan hidupnya kurang tercukupi seperti kebutuhan akan kasih sayang, keamanan, perhatian dan kurang pengawasan. Anak merasa tidak diperhatikan dan dianggap sehingga anak mencari obyek lekat selain orang tuanya atau mencari kegiatan lain.
Kelekatan anak pada ibu dapat menimbulkan berbagai macam perilaku-perilaku tertentu. Anak akan merasa tidak nyaman dan takut ketika ditinggal oleh ibunya, ia membutuhkan sosok yang mampu melindungi dan membuatnya aman. Anak merasa nyaman ketika mendengar suara figure lekat (ibu), rabaan dan keberadaan sang ibu. Sementara itu Hurlock (1996 : 130) berpendapat bahwa anak lebih tergantung pada orang tua dalam hal perasaan aman dan kebahagiaan, maka hubungan yang buruk dengan orangtua akan berakibat sangat buruk. Apalagi kalau hubungan dengan ibu yang lebih buruk karena kepada ibulah sebagian besar anak sangat tergantung.
Di dalam lingkungan keluarga terutama di kota-kota besar makin banyak perawatan dan pengasuhan anak diserahkan pada baby sitter atau pembantu yang sudah dianggap mampu dalam membimbing anak, yang akibatnya tidak diberi bimbingan melainkan memberikan pelayanan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah tumbuh menjadi anak mandiri. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil, dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya memakai pakaian sendiri, makan tidak disuap, mengancingkan baju tanpa bantuan, mengikat tali sepatu sendiri, mengerjakan tugas sekolah tanpa bantuan ibu guru, pergi ke kamar mandi tanpa didampingi dan bermacam pekerjaan kecil sehari-hari lainnya. Namun, dalam praktiknya pembiasaan ini banyak mengalami hambatan. Masih banyaknya masalah yang dihadapi anak yang terdapat campur tangan ibu, hal ini tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Anak akan meminta bantuan kepada ibu apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain anak terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Tanpa disadari, sikap semacam itu sering dilakukan pada anak.
Sebagian dari kemandirian akan berkembang pada masa kanak-kanak awal, oleh karena itu kemandirian dapat dibentuk pertama kali pada lingkungan keluarga. Begitu pula, menurut Hurlock (2002 : 23) yang berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah pola asuh orangtua, jenis kelamin dan urutan posisi anak. Sedangkan menurut Mussen (1989 : 31) yang berpendapat bahwa menegakkan kemandirian sangat bergantung pada tiga hal : (a) sikap sosial pada umumnya terhadap kemandirian dalam kultur, (b) sikap orangtua dan kelekatan orangtua-anak, dan (c) interaksi teman sebaya dan dukungan mereka terhadap perilaku mandiri. Jadi, kemandirian dipengaruhi oleh lingkungan baik keluarga maupun teman sebaya.
Hasil studi pendahuluan diperoleh informasi bahwa 50% dari 66 siswa menunjukkan rendahnya kemandirian. Hal ini ditunjukkan pada kegiatan sehari-hari di sekolah seperti : anak masuk ke kelas masih didampingi oleh ibu, memakai dan melepas sepatu dengan bantuan guru, menaruh tas di dalam rak dengan bantuan, mengerjakan tugas dengan bantuan guru, belum mampu merapikan kursi dan alat belajar sendiri, mengancingkan baju harus dengan bantuan, tidak mau membuang sampah pada tempatnya, makan disuap, dan takut pergi ke kamar mandi sendiri sehingga harus didampingi oleh guru. 
Kemandirian anak tidak selalu berasal dari anak tersebut, namun bisa juga berasal dari gaya hidup orangtua (ibu). Menurut Mussen (1989 : 99) kemandirian salah satunya bergantung pada pola asuh dan kelekatan anak pada orangtua (ibu). Kelekatan pada awal tahun pertama kehidupan memberikan suatu landasan penting bagi perkembangan psikologis anak, diantaranya yaitu kemandirian. kelekatan anak pada ibu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi ada faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya kelekatan salah satunya yaitu tergantung jenis pola kelekatan yang dimiliki. Ibu yang menerapkan pola kelekatan Aman (Secure Attachment), lebih sensitive dan responsive sehingga anak yakin ibu selalu ada di saat ia membutuhkan dan anak merasa nyaman. 
Ibu yang menerapkan pola kelekatan Menolak/Ambivalen (Resistant Attachment), anak merasa tidak pasti bahwa ibunya selalu ada dan responsive saat dibutuhkan, akibatnya anak mudah mengalami kecemasan untuk berpisah dengan ibu. Sedangkan, ibu yang menerapkan pola kelekatan Menghindar (Avoidant Attachment), anak tidak percaya diri karena pada saat berinteraksi tidak direspon oleh ibu sehingga anak kurang mampu untuk bersosialisasi. Persoalan ini kerap terjadi pada setiap tingkatan kelas yaitu kelas A dan B. Namun, di kelas B awal permasalahan ini sering terjadi karena masa ini adalah masa transisi yaitu perpindahan dari kelas A menuju kelas B. Maka, timbul adaptasi dari kebiasaan di kelas A yang harus dihilangkan di kelas B untuk menuju tingkatan pendewasaan diri yang lebih besar karena sudah melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, persoalan kemandirian lebih banyak muncul pada siswa di kelas B.
Sungguh merupakan harapan bersama kemandirian dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat yang dimulai sejak dini. Berangkat dari fenomena tersebut maka layak untuk diteliti lebih lanjut mengenai kemandirian anak di sekolah dihubungkan dengan kualitas kelekatan anak bersama ibu di rumah. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai "HUBUNGAN KELEKATAN ANAK PADA IBU DENGAN KEMANDIRIAN DI SEKOLAH".

SKRIPSI EFEKTIVITAS PERMAINAN KONSTRUKTIF KEPING PADU TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS SISWA TK

(KODE : PG-PAUD-0074) : SKRIPSI EFEKTIVITAS PERMAINAN KONSTRUKTIF KEPING PADU TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS SISWA TK

contoh skripsi pg paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini (wikipedia.com).
Berbagai fenomena permasalahan di TK maupun RA ditemui guru dalam memberikan pelayanan pendidikan di sekolah, khususnya dalam perkembangan motorik halus anak usia dini misalnya tulisan siswa yang kurang rapi sehingga sulit untuk dipahami, sehingga hal ini menimbulkan hambatan dalam proses belajar. Keterampilan motorik halus merupakan salah satu kemampuan yang penting bagi anak karena diperlukan anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah dan berperan serta dalam kegiatan bermain dengan teman sebaya.
Bermain merupakan peristiwa hidup yang sangat digemari oleh anak-anak, melalui kegiatan bermain, banyak fungsi-fungsi kejiwaan dan kepribadian yang dapat dikembangkan. Hal ini disebabkan karena di dalam aktivitas bermain banyak kejadian- kejadian yang melibatkan keaktifan kejiwaan dan kepribadian pesertanya. Dengan bermain anak dapat mengaktualisasikan seluruh aspek kehidupan yang ingin disampaikannya (Simatupang, 2005). Namun apabila dicermati secara seksama terjadi pergeseran makna bermain sebagai dampak kemajuan teknologi. Dengan berkembangnya zaman dan kemajuan dalam bidang teknologi maka kegiatan bermain yang dilakukan anak beralih dari kegiatan yang menggunakan aktivitas fisik secara aktif dan dilakukan secara individu atau berkelompok ke bentuk permainan yang menggunakan alat-alat elektronik yang cenderung dilakukan sendiri seperti play station, game online dsb. Kegiatan bermain yang menggunakan alat-alat elektronik berupa animasi elektronik menyebabkan anak-anak cenderung bergerak secara terbatas dan pasif, selain itu mereka lebih banyak melakukan aktivitas secara individu. Sehingga tidak ada komunikasi yang biasanya terjadi saat melakukan permainan secara berkelompok.
Sebagai individu yang aktif, anak memiliki kemampuan untuk membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara merefleksikan pengalamannya. Aktivitas yang paling tepat bagi anak usia dini untuk mengkonstruksi pengetahuannya adalah kegiatan bermain. Bahkan melalui bermain, seluruh potensi perkembangan anak bisa dikembangkan, baik aspek fisik-motorik, kognitif, bahasa, emosi, sosial, berimajinasi, beraktivitas, etika dan moral. Bermain dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang alami bagi proses perkembangan anak. Melalui bermain konstruktif memungkinkan anak untuk membangun suatu pengetahuan baru, mengembangkan keterikatan sosial, mengembangkan kecakapan untuk mengatasi kesulitan, mengembangkan rasa memiliki kemampuan dan dapat mengembangkan koqnitifnya. (Willy dkk, 2006)
Cara mendidik anak yang tepat adalah dengan cara bermain. Namun, yang dimaksud bukan sekedar bermain, tetapi bermain konstruktif. Untuk mendukung kegiatan bermain anak, orang tua dan guru berperan sebagai fasilitator yang harus menyediakan media permainan sesuai dengan karakteristik anak, situasi dan kondisi yang ada. Bermain konstruktif adalah suatu bentuk permainan dengan menggunakan objek-objek fisik untuk membangun atau membuat sesuatu. (Desmita, 2008 : 143)
Permainan konstruktif sangat diperlukan pada masa anak. Hal ini dikarenakan pada masa anak adalah masa dimana perkembangan sangat pesat pesatnya seperti perkembangan motorik halus anak. Untuk mengembangkan potensi kemampuan motorik halus anak diperlukan kerjasama antara berbagai pihak, dan yang paling penting pada saat masa anak-anak adalah orang tua dan guru, kemampuan motorik halus hanya bisa dikembangkan dengan latihan-latihan yang menuju ke arah mengembangkan kemampuan anak. Hal ini memerlukan rangsangan yang optimal agar perkembangan potensi kemampuan motorik halus anak bisa optimal.
Pengembangan motorik sangat memerlukan bantuan orang tua atau pembimbing untuk melatih dalam pertumbuhannya, sehingga potensi motorik anak bisa berkembang secara optimal. Gerak motorik baru bagi anak usia dini memerlukan pengulangan-pengulangan dan bantuan orang lain, pengulangan itu merupakan bagian dari belajar. Setiap pengulangan dalam keterampilan baru, memerlukan konsentrasi untuk melatih koneksitas dan koordinasi gerak dengan indera lainnya (Papalia, 2001 : 144)
Perkembangan potensi kemampuan motorik halus anak sangat berpengaruh terhadap hasil sebuah pengajaran di sekolah, tetapi siswa atau peserta didik pada awal-awal sekolah, belum menyadari tentang hal itu. Oleh karenanya sebagai agen perubahan guru hendaknya mampu menuntun, mengoptimalkan aspek ini sehingga tercapailah pengajaran yang diinginkan secara optimal, sehingga kelak anak itu sendirilah yang akan memetik buah dari kerja keras. Mengingat sangat pentingnya kemampuan motorik halus anak, maka kita harus bisa mengembangkan semua potensi yang ada pada anak itu secara optimal agar kemampuan lebih yang sudah dia miliki bisa dikembangkan.
Untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak, salah satunya adalah dengan menggunakan alternatif permainan konstruktif keping padu yang terbuat dari bahan kertas. Selain bahan yang sangat mudah didapatkan dan ramah lingkungan, kertas sangat aman untuk dijadikan media permainan anak pra sekolah. Oleh karena itu, alternatif permainan konstruksi keping padu dari kertas dapat dijadikan sebagai media pembelajaran anak pra sekolah yang dapat mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan motorik halus, sehingga dapat meningkatkan kemampuan anak dalam menulis, menggambar, mewarnai, dan menciptakan suatu kerajinan tangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara kuantitatif deskriptif yang dilakukan oleh Deny Willy Dkk, yang berjudul "PENGEMBANGAN PIRANTI PERMAINAN ALTERNATIF BAGI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI" diperoleh bahwa permainan keping padu (boneka lipat edukatif untuk anak usia dini) dapat meningkatkan keterampilan motorik halus siswa secara cukup signifikan. Namun dalam penelitian ini tidak dapat menunjukkan seberapa jauh pengaruh permainan keping padu terhadap peningkatan motorik halus siswa.
Selain itu, berdasarkan studi sekat lintang di tempat penitipan anak yang dilakukan oleh Lucy Permana Sari Dkk, yang berjudul "HUBUNGAN ALAT PERMAINAN EDUKATIF DAN PERKEMBANGAN MOTORIK PADA TAMAN PENITIPAN ANAK" menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat bermakna dalam skor keterampilan motorik pada kelompok yang mendapatkan stimulasi APE dan yang tidak mendapatkan stimulasi APE. Dengan menggunakan tes skrining Denver-II didapatkan skor keterampilan motorik (Mean ; SD) kelompok yang mendapatkan stimulasi APE sebesar 148,50 ; 23,28 sedangkan skor kelompok yang tidak mendapatkan stimulasi APE 104,98 ; 10,42 dengan p < 0.001. Dijumpai pula perbedaan yang sangat bermakna pada keempat dimensi kemampuan motorik yakni kecepatan, keakuratan, kestabilan, dan kekuatan kesemuanya dengan p < 0.001.
Dengan adanya penelitian EFEKTIVITAS PERMAINAN KONSTRUKTIF "KEPING PADU" TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS SISWA TK A ini, diharapkan mampu memberikan informasi baru mengenai pengaruh permainan konstruktif keping padu terhadap kemampuan motorik halus pada siswa.

SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBERIAN REWARD MELALUI METODE TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATAN KEDISIPLINAN ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0073) : SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBERIAN REWARD MELALUI METODE TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATAN KEDISIPLINAN ANAK USIA DINI

contoh skripsi paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Disiplin merupakan salah satu kebutuhan dasar anak dalam rangka pembentukan dan pengembangan wataknya secara sehat. Tujuannya ialah agar anak dapat secara kreatif dan dinamis dalam mengembangkan hidupnya di kemudian hari. Tentu saja kasih sayang dan disiplin harus berjalan bersama-sama secara seimbang. Dengan kata lain kasih sayang tanpa disiplin mengakibatkan munculnya rasa sentimen dan ketidakpedulian sebaliknya disiplin tanpa kasih sayang merupakan tindakan kejam. Oleh karena itu, bahasan mengenai disiplin ini amat perlu karena hal ini dapat menjadi sumber masukan dalam pelayanan sebagai guru, sehingga guru memiliki pemahaman yang benar mengenai disiplin. Selain itu dapat menjadi alat refleksi bagi guru, sehingga guru dapat bersikap yang benar dalam mendisiplinkan anak didiknya.
Orangtua dan guru selalu memikirkan cara yang tepat dalam menerapkan disiplin bagi anak sejak balita hingga masa kanak-kanak dan sampai usia remaja. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasanya, dimana anak sangat bergantung kepada disiplin diri dan pembentukan perilaku sedemikian rupa hingga ia akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya tertentu, tempat individu itu diidentifikasikan. Karena tidak ada pola budaya tunggal, tidak ada pula satu falsafah pendidikan yang menyeluruh untuk mempengaruhi cara menanam disiplin.
Bakwin dan Bakwin (Wantah, 2005 : 141) telah memberi beberapa alasan terjadinya perubahan dalam sikap sosial terhadap disiplin yakni, hilangnya pengaruh agama, popularitas psiko-analisis dengan penekanan pada pengaruh buruk, penekanan emosi, pemusatan perhatian pada perkembangan emosional, perkembangan spiritual, doktrin palsu yang menyatakan bahwa kesalahan dalam pendidikan anak berbekas secara permanen pada jiwa anak, hilangnya kepercayaan diri orang tua yang menyebabkan wibawa mereka merosot. Selanjutnya banyak orang tua tidak berusaha untuk menanamkan disiplin sehingga akan menyebabkan rasa benci yang akan membuat hubungan orang tua dengan anak yang lebih besar sulit dan tidak menyenangkan.
Spock (Wantah 2005 : 142) Konsep positif dari disiplin ialah sama dengan pendidikan dan bimbingan karena menekankan pertumbuhan di dalam disiplin diri dan pengendalian diri. Ini kemudian akan melahirkan motivasi dari dalam. Disiplin negatif memperbesar ketidakmatangan individu, sedangkan disiplin positif menumbuhkan kematangan. Fungsi pokok disiplin ialah mengajarkan anak menerima pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan energi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Oleh sebab itu disiplin positif akan membawa hasil yang lebih baik dari pada disiplin negatif.
Ironisnya fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan mengisyaratkan masih banyak terjadi perilaku kurang disiplin seperti kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, geng motor, dan berbagai tindakan yang menuju ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran ringan sampai pelanggaran berat, seperti kasus bolos sekolah, perkelahian, nyontek, pemalakan, dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya. Tentu saja semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangan, maka disinilah arti penting penanaman disiplin sejak dini yaitu untuk mencegah dan menanggulangi adanya ketidakdisiplinan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di lokasi penelitian, di masing-masing kelas yang ada di sekolah tersebut menunjukkan masih saja ada anak yang menunjukkan perilaku kurang disiplin hal ini terlihat dari ada beberapa siswa yang datang terlambat ke sekolah, dan pada saat proses pembelajaran berlangsung seperti pada saat kegiatan pembukaan yaitu pada saat berdoa masih ada anak yang bercanda dan berbicara dengan temannya yang lain, pada saat mencuci tangan ada anak yang tidak mau antri, atau pada saat bermain anak berebut mainan dengan temannya dan lain sebagainya. Hal ini berarti bahwa anak belum mematuhi dan memahami adanya aturan yang berlaku dalam proses pembelajaran berlangsung.
Dengan adanya masalah kurang disiplin yang terjadi di sekolah tersebut, maka ada salah satu metode yang sering digunakan di sekolah untuk penguatan perilaku positif pada anak yaitu pemberian reward (penghargaan), yang pertama reward verbal yang berupa pujian dari guru. Dimana pujian diberikan ketika siswa dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan tertib. Reward (penghargaan) tidak hanya berupa verbal, tetapi ada juga yang berupa non verbal salah satunya yaitu dengan metode token ekonomi. Token ekonomi merupakan suatu wujud modifikasi perilaku yang dirancang untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dengan pemakaian token (tanda-tanda). Individu menerima token dengan cepat setelah mempertunjukkan perilaku yang diinginkan.
Token itu kemudian dikumpulkan dan dapat dipertukarkan dengan suatu obyek atau kehormatan yang penuh arti. Secara singkatnya token ekonomi merupakan sebuah sistem penguatan untuk perilaku yang dikelola dan diubah, seseorang mesti dihadiahi atau diberikan penguatan untuk meningkatkan atau mengurangi perilaku yang diinginkan. Tujuan utama token ekonomi adalah untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Boniecki (2003 : 225) mengenai penggunaan token ekonomi sebagai penguatan dalam meningkatkan partisipasi siswa dalam kelas menunjukan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan setelah penggunaan token ekonomi, terlihat bahwa siswa lebih antusias dan ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran berlangsung. Hasil ini menunjukkan bahwa token ekonomi memotivasi siswa dalam menanggapi setiap pertanyaan yang disampaikan dalam pembelajaran.
Berdasarkan hasil penelitian di atas mengidentifikasikan bahwa token ekonomi dapat digunakan dalam meningkatkan partisipasi belajar siswa pada proses pembelajaran berlangsung. Token ekonomi yang digunakan untuk siswa ini berupa point atau permen. Token ekonomi ini juga dapat digunakan pada anak usia dini, jika pada siswa yang lebih besar token ekonomi yang digunakan berupa poin atau permen, sedangkan untuk anak usia dini dapat berupa sesuatu yang lebih menarik seperti kartu, koin, dan lain-lain.
Di bidang pendidikan Abikoff dan Hecttman (Davison 2006 : 685) menyatakan bahwa yang diperlukan dalam penanganan perilaku anak dapat didasarkan pada prinsip pengkondisian operant. Program-program tersebut minimal menunjukkan keberhasilan jangka pendek dalam memperbaiki perilaku sosial dan akademik. Dalam penanganan tersebut, perilaku anak dipantau di rumah dan di sekolah, mereka diberi penguatan untuk berperilaku sesuai harapan, contohnya tetap duduk di kursi dan mengerjakan tugas-tugas mereka. Sistem poin dan papan bintang merupakan komponen umum dalam program-program tersebut. Anak-anak yang menjelang remaja mendapatkan poin dan anak-anak yang lebih muda mendapatkan bintang karena berperilaku tertentu, anak-anak kemudian dapat menukar poin dan bintang mereka dengan hadiah. Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-tugas rumah atau belajar keterampilan sosial spesifik.
Sungguh merupakan harapan bersama kedisiplinan dapat terwujud dalam keseharian masyarakat yang dimulai sejak dini. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai "EFEKTIVITAS PEMBERIAN REWARD MELALUI METODE TOKEN EKONOMI UNTUK MENINGKATKAN KEDISIPLINAN ANAK USIA DINI".

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN MENGANYAM DENGAN KERTAS

(KODE : PTK-0576) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN MENGANYAM DENGAN KERTAS (PGPAUD)


BAB II 
KAJIAN TEORI

A. Aspek Perkembangan Motorik Anak
1. Pengertian Perkembangan Keterampilan Motorik Halus
Sukadiyanto (1997 : 70) menyatakan bahwa keterampilan motorik adalah keterampilan seseorang dalam menampilkan gerak sampai lebih kompleks. Keterampilan tersebut merupakan suatu keterampilan umum seseorang yang berkaitan dengan berbagai keterampilan atau tugas gerak. Dengan demikian keterampilan motorik adalah keterampilan gerak seseorang dalam melakukan segala kegiatan.
Senada dengan hal di atas, gerakan motorik halus mempunyai peranan yang sangat penting. Motorik halus adalah gerakan yang hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dilakukan oleh otot-otot kecil saja. Oleh karena itu gerakan di dalam motorik halus tidak membutuhkan tenaga akan tetapi membutuhkan koordinasi yang cermat serta teliti (Depdiknas, 2007 : 1).
Motorik halus menurut Bambang Sujiono (2005 : 1.14) adalah gerakan yang hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, seperti keterampilan menggunakan jari-jemari tangan dan gerakan pergelangan tangan yang tepat. Oleh karena itu, gerakan ini tidak terlalu membutuhkan tenaga, namun gerakan ini membutuhkan koordinasi mata dan tangan yang cermat. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Soegeng Santoso dan Anne Lie Ranti (1995 : 44) bahwa kemampuan gerak halus adalah kemampuan melakukan gerakan halus yang memerlukan kecermatan dan koordinasi gerakan otot kecil dan tidak membutuhkan tenaga. Sedangkan menurut Astati (1995 : 4) motorik halus adalah gerak yang hanya menggunakan otot-otot tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil yang membutuhkan koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang baik.
Sedangkan menurut Sumantri (2005 : 143), keterampilan motorik halus adalah pengorganisasian penggunaan sekelompok otot-otot kecil seperti jari jemari dan tangan yang sering membutuhkan kecermatan dan koordinasi mata dengan tangan. Menurut Jurgen Hofsab dalam Tasnila (2012 : 9) menyatakan bahwa koordinasi gerak mata dan tangan merupakan suatu gerakan yang sangat berkaitan satu dengan yang lainnya agar suatu pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik dan lancar, berurutan serta sesuai dengan keinginan. Sedangkan menurut Hikmad Hakim dalam Yunita Dewanti Munica (2013 : 17) koordinasi mata tangan merupakan kemampuan biometrik kompleks yang mempunyai hubungan erat dengan kecepatan, kekuatan, daya tahan, dan kelentukan. Kelentukan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 291) adalah kemampuan anak menggerakkan jari-jemarinya dengan tidak kaku dan mudah dilekukkan. Koordinasi antara tangan dan mata dapat dikembangkan salah satunya melalui kegiatan menganyam. Pengembangan keterampilan motorik halus akan berpengaruh terhadap kesiapan anak dalam menulis (pengembangan bahasa). Menurut Sumantri (2005 : 145) kemampuan daya lihat juga merupakan kegiatan keterampilan motorik halus lainnya yaitu melatih kemampuan anak melihat ke arah kiri dan kanan, atas-bawah yang penting untuk persiapan membaca awal. Menurut Magil dalam Sumantri (2005 : 143) keterampilan ini melibatkan koordinasi neumusculer (syaraf otot) yang memerlukan ketepatan derajat tinggi untuk berhasilnya keterampilan ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 558) ketepatan merupakan kemampuan anak dalam mengontrol gerakan tangan dengan mata sesuai arah, urutan dan tujuan gerakan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka untuk meningkatkan motorik halus bisa dengan latihan-latihan jari jemari tangan dan koordinasi mata dan tangan. Stimulasi sangat diperlukan untuk mengembangkan keterampilan motorik halus tersebut. Menstimulasi anak dan membuat anak nyaman dengan lingkungannya serta pembiasaan segala sesuatu sejak dini yang konsisten akan mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak. Menstimulasi dimaksudkan bahwa orang dewasa mendorong anak untuk melakukan latihan-latihan dasar secara berulang-ulang dan terus menerus sehingga akan menjadi pembiasaan. Sedangkan konsisten dimaksudkan ialah sungguh-sungguh dalam melakukannya dengan segala daya dan upaya yang dimiliki untuk menjadikan anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Berpijak pada konsep tersebut maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan kegiatan menganyam dengan kertas karena dalam kegiatan menganyam ini melibatkan aktivitas jari jemari, konsentrasi, ketelitian, ketepatan dan koordinasi mata dan tangan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan motorik halus adalah keterampilan untuk mengontrol otot-otot kecil yang melibatkan koordinasi mata dan tangan yang membutuhkan kecermatan, ketepatan dan kelentukan.

2. Karakteristik Perkembangan Motorik Halus
Karakteristik perkembangan motorik halus anak dapat dijelaskan dalam Depdiknas (2007 : 10) sebagai berikut : 
a. Pada saat anak berusia tiga tahun, anak sudah mampu menjumput benda dengan menggunakan jari jempol dan jari telunjuknya tetapi gerakan itu sendiri masih kikuk.
b. Pada usia empat tahun, koordinasi motorik halus anak secara substansial sudah mengalami kemajuan dan gerakannya sudah lebih cepat bahkan cenderung ingin sempurna.
c. Pada usia lima tahun, koordinasi motorik halus anak sudah lebih sempurna. Gerakan tangan, lengan, dan tubuh bergerak dibawah koordinasi mata. Anak juga telah mampu membuat dan melaksanakan kegiatan yang lebih majemuk, seperti kegiatan proyek, dan kegiatan menganyam.
d. Pada akhir masa kanak-kanak usia enam tahun, anak telah belajar bagaimana menggunakan jari-jemarinya dan pergelangan tangannya untuk menggerakkan ujung pensilnya.

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN VISUAL SPASIAL MELALUI ALAT PERMAINAN EDUKATIF MAZE

(KODE : PTK-0570) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KECERDASAN VISUAL SPASIAL MELALUI ALAT PERMAINAN EDUKATIF MAZE PADA KELOMPOK B TK (PGPAUD)


BAB II 
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kecerdasan Visual Spasial 
1. Pengertian Kecerdasan Visual Spasial
Menurut Gardner (dalam Sujiono, 2009 : 176) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya masyarakat. Kecerdasan menurut Gardner (dalam Musfiroh, 2008 : 36) adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau produk yang dibuat dalam satu atau beberapa budaya. Sedangkan Bandler dan Grinder dalam DePotter (dalam Sujiono, 2009 : 176) kecerdasan merupakan ungkapan dari cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas belajar. Dari beberapa pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk menemukan jalan keluar dari suatu masalah.
Lain lagi yang dikatakan oleh Armstrong (dalam Sujiono, 2010 : 58) berpendapat bahwa visual spasial adalah kemampuan untuk memvisualisasikan gambar di dalam pikiran seseorang. Kecerdasan ini digunakan oleh anak untuk berfikir dalam bentuk visualisasi dan gambar untuk memecahkan suatu masalah atau menemukan jawaban. Sedangkan menurut Samsudin (2008 : 17) visual spasial merupakan kemampuan seseorang untuk melihat secara visual/ruang. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini cenderung berfikir dalam pola-pola yang berbentuk gambar.
Anak usia dini sangat menyukai melihat peta, bagan, gambar, video, film sebagai media untuk belajar. Dan menurut Gunarti, Suryani, dan Muis (2010 : 2.25) visual spasial adalah kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan, misalnya mencipta imajinasi bentuk dalam pikirannya atau menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi, seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Dari beberapa pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan visual spasial adalah kemampuan seseorang yang lebih peka terhadap ruang dan gambar.
Campbell dan Dickinson (dalam Yuliani 2010 : 58) menjelaskan bahwa tujuan materi program dalam kurikulum yang dapat mengembangkan kecerdasan visual spasial, antara lain penayangan video, gambar, menggunakan model (modeling), dan atau diagram.
Biasanya anak yang memiliki kecerdasan visual spasial adalah seorang anak yang memiliki kemampuan untuk memvisualkan gambar di dalam pikirannya atau seorang anak yang dapat memecahkan suatu masalah atau menemukan suatu jawaban dengan memvisualkan bentuk atau gambar (Aisyah, 2009 : 1.18). 

2. Cara Mengembangkan Kecerdasan Visual Spasial
Menurut Sujiono (2010 : 58) menguraikan bagaimana cara mengembangkan kecerdasan visual spasial pada anak sebagai berikut : 
a) Mencoret-coret, untuk mampu menggambar, anak memulainya dengan tahapan mencoret terlebih dahulu. Mencoret biasanya dimulai sejak anak berusia sekitar 18 bulan ini, pada dasarnya kegiatan mencoret merupakan sarana anak mengekspresikan diri. Meski apa yang digambarnya dalam coretannya belum tentu langsung terlihat isi pikirannya. Selain itu, kegiatan ini juga dalam melatih koordinasi tangan-mata anak.
b) Menggambar dan melukis, kegiatan menggambar dan melukis dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dengan biaya yang relatif murah. Sediakan alat-alat yang diperlukan seperti kertas, pensil warna dan krayon. Biarkan anak melukis atau menggambar apa yang ia inginkan sesuai imajinasi dan kreativitasnya karena menggambar dan melukis merupakan ajang bagi anak untuk mengekspresikan diri.
c) Kegiatan membuat prakarya atau kerajinan tangan menuntut kemampuan anak memanipulasi bahan. Kreativitas dan imajinasi anak pun terlatih karenanya. Selain itu, kerajinan tangan dapat membangun kepercayaan diri anak.
d) Mengunjungi berbagai tempat, dapat memperkaya pengalaman visual spasial anak, seperti mengajaknya ke museum, kebun binatang, menempuh perjalanan alam lainnya.
e) Melakukan permainan konstruktif dan kreatif, sejumlah permainan seperti membangun konstruksi dengan menggunakan balok, maze, puzzle, permainan rumah-rumahan ataupun peralatan video, film, peta atau gambar, dan slide.
f) Mengatur dan merancang, kejelian anak untuk mengatur dan merancang, juga dapat diasah dengan mengajaknya dalam kegiatan mengatur ruang di rumah, seperti ikut menata kamar tidurnya. Kegiatan seperti ini juga baik untuk meningkatkan kepercayaan diri anak, bahwa ia mampu memutuskan sesuatu.
g) Pengenalan informasi visual, informasi visual mengacu pada pesan pengetahuan yang dituangkan dalam bentuk nonverbal. Pesan pengetahuan disampaikan dalam bentuk grafik/diagram dan denah.

3. Indikator Kecerdasan Visual Spasial Anak Usia Dini
Menurut Armstrong (dalam Musfiroh, 2010 : 4.7) Anak yang cerdas dalam visual spasial sangat peka tatanan dan peka terhadap perubahan tatanan itu dan anak memberikan reaksi. Mereka suka mengerjakan maze, dan permainan lain yang memerlukan ketajaman melihat. Anak-anak sering memanfaatkan waktu mereka untuk menggambar, merancang sesuatu, membangun balok-balok, lego atau melamun.
Kecerdasan visual spasial muncul pada masa kanak-kanak. Anak-anak yang cerdas dalam visual spasial peka terhadap bentuk dan peristiwa, mampu merekam bentuk-bentuk tersebut dalam memorinya, serta memanggilnya dalam bentuk melamun, menggambar atau menyatakan dalam kata-kata. Anak-anak mampu mendeskripsikan peristiwa dengan urutan-urutan yang jelas dan terperinci. Anak-anak yang cerdas dalam visual spasial mampu melihat bentuk, warna, gambar, tekstur secara lebih detail dan akurat.
Anak yang mengalami perkembangan kecerdasan visual spasial yang sangat menonjol kadang mengalami kesulitan mengidentifikasi simbol bahasa tertulis. Anak-anak mengerti simbol sebagai gambar dan melihatnya dari berbagai perspektif, yang hal tersebut tidak berlaku dalam dunia simbol linguistik. Kecerdasan visual spasial memiliki indikator sebagai berikut : 
1. Individu yang cerdas secara visual spasial (lebih) mudah membaca peta, gambar, grafik, dan diagram.
2. Individu yang cerdas secara visual spasial menonjol dalam seni lukis dan seni kriya.
3. Individu yang cerdas secara visual spasial mampu memberikan gambaran visual yang jelas ketika sedang memikirkan sesuatu.
4. Individu yang cerdas secara visual spasial mampu menggambar sosok orang atau benda menyerupai aslinya.
5. Individu yang cerdas secara visual spasial film, slide, gambar dan foto.
6. Individu yang cerdas secara visual spasial menikmati permainan yang membutuhkan ketajaman, seperti zigzag, maze.
7. Anak memiliki kepekaan terhadap warna, cepat mengenali warna dan mampu memadukan warna dengan lebih baik dari pada anak-anak sebayanya.
8. Anak suka menjelajah lokasi di sekitarnya dan memperhatikan tata letak benda-benda di sekitarnya, serta cepat menghafal letak benda-benda.