Search This Blog

Showing posts with label skripsi ekonomi pembangunan. Show all posts
Showing posts with label skripsi ekonomi pembangunan. Show all posts

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH KREDIT PERBANKAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI KECIL

(KODE : EKONPEMB-027) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH KREDIT PERBANKAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI KECIL

SKRIPSI EKONOMI PEMBANGUNAN

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar belakang
Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan adanya suatu model yang menunjukkan proses perubahan yang dilakukan secara terus menerus dalam rangka meningkatkan perekonomian suatu negara. Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk membiayai, karena pembangunan sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan lembaga keuangan dalam pembiayaan pembangunan sangat diperlukan.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam suatu pembiayaan pembangunan ekonomi dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank (bank) dan lembaga keuangan non bank (LKKB).Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Bank menurut Undang-Undang Perbankan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Bank Umum dan BPR. Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan BPR adalah bank yang hanya menerima simpanan dalam bentuk tabungan, deposito, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan lembaga keuangan non bank merupakan lembaga pembiayaan yang dalam kegiatan usahanya tidak melakukan penghimpunan dana dan memberikan jasa seperti halnya bank.
Kehadiran suatu lembaga perbankan dalam menopang pembangunan perekonomian mutlak diperlukan, karena bank disamping berfungsi sebagai badan usaha yang menyalurkan dana dalam bentuk kredit, lembaga ini juga berfungsi sebagai penghimpun dana dari masyarakat baik dalam bentuk giro, simpanan berjangka, maupun dalam bentuk tabungan. Disamping itu bank juga berfungsi sebagai Agent of Development yang melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem lalu lintas pembayaran.
Dan sebagai bagian dari sektor finansial, keberadaan industri perbankan telah memainkan peranan yang cukup strategis. Untuk itu pemerintah terus berusaha untuk mendorong industri perbankan agar dapat menjalankan fungsinya sebagai mediator antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana.
Melihat peranannya yang demikian strategis maka lembaga perbankan perlu senantiasa mendapat pembinaan dan pengawasan yang efektif dengan didasari oleh landasan gerak yang kokoh agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, dan wajar.
Sebagaimana halnya dengan usaha-usaha dibidang lainnya, kegiatan perbankan juga tidak terlepas dari tantangan dan resiko yang terkait dengan keadaan perekonomian, politik dan sebagainya.
Dalam upaya meningkatkan perekonomian, seluruh sektor-sektor ekonomi berupaya meningkatkan perekonomian daerahnya salah satunya ialah sektor industri kecil. Dewasa ini perbankan relatif kurang tertarik untuk mengembangkan mekanisme kredit bagi nasabah kecil terutama sektor industri kecil, karena nilai transaksi yang relatif kecil dan lokasi usaha serta memiliki resiko yang tinggi sebagai sumber penyebab tingginya biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh bank sehingga lembaga keuangan lebih tertarik untuk menjangkau lapisan industri besar.
Pemberian kredit bagi sektor-sektor usaha kecil tidak terlepas dengan penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kualitas sebagai andalan pembangunan atau asset nasional yang perlu dipersiapkan sebaik-baiknya melalui program pengembangan sumber daya manusia.
Keberhasilan suatu sektor industri kecil ini didukung dengan adanya sumber daya manusia yang berkompeten dan mampu meningkatkan produktifitas sektor industri kecil tersebut. Untuk memenuhi adanya sumber daya manusia yang dimaksud maka sektor industri kecil memerlukan dana yang cukup besar dalam merekrut karyawannya. Hal ini yang menyebabkan sektor industri kecil melakukan peminjaman kredit terhadap lembaga keuangan.
Dengan bantuan kredit dari perbankan diharapkan dapat meningkatkan produktifitas dari suatu sektor industri kecil dengan memiliki sumber daya manusia yang berkemampuan. Dengan demikian sektor usaha kecil dianggap sebagai sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar, dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Sejalan dengan ulasan-ulasan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi sebuah penelitian yang berjudul : "ANALISIS PENGARUH KREDIT PERBANKAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI KECIL”.

SKRIPSI PENGARUH MEA 2015 TERHADAP INTEGRASI EKONOMI PADA SISTEM PERDAGANGAN DI INDONESIA

(KODE : EKONPEMB-026) : SKRIPSI PENGARUH MEA 2015 TERHADAP INTEGRASI EKONOMI PADA SISTEM PERDAGANGAN DI INDONESIA

SKRIPSI EKONOMI PEMBANGUNAN

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)/ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara ASEAN 2020. Adapun visi dari ASEAN tersebut adalah aliran bebas barang (free flow of goods) dimana tahun 2015 perdagangan barang dapat dilakukan secara bebas tanpa mengalami hambatan, baik tarif maupun non-tarif. Selain itu untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang terintegrasi dalam membangun ekonomi yang merata dan dapat pula mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi. Namun pada tahun 2003 Deklarasi ASEAN Concord II, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk sebuah komunitas atau masyarakat ASEAN pada tahun 2020 yang terdiri dari 3 pilar, yakni Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Kemudian pada tahun 2007, mereka memutuskan untuk mempercepat terciptanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)/ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015. Dimana untuk para pemimpin ASEAN setuju bahwa proses integrasi ekonomi regional di percepat dengan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2007 agar di bentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Sebenarnya pernyataan di atas juga sudah pernah dijelaskan pada tahun 1998 di Hanoi, Vietnam yang mengemukakan bahwa ASEAN bertujuan untuk menciptakan kawasan yang sejahtera dan sangat kompetitif dimana terdapat arus barang, jasa, dan modal yang berintegrasi di ASEAN. Namun adapun tujuan utama MEA 2015 adalah untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang setara dengan negara anggota-anggota ASEAN dan untuk membuat ASEAN menjadi sebuah kawasan ekonomi yang sangat kompetitif yang akan sepenuhnya dapat terintegrasi dalam ekonomi global (Tulus T.H. Tambunan : 2013).
MEA berinisiatif agar negara-negara anggota ASEAN dapat mempromosikan pergerakan bebas barang, jasa-jasa, investasi, dan pekerja-pekerja terdidik lintas kawasan ASEAN. Upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan ASEAN sebagai kawasan dengan aliran bebas barang dalam MEA merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari agenda yang sebelumnya pernah dilaksanakan yaitu Preferential Trading Arrangement (PTA) pada tahun 1977 dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992. Adapun perbandingan yang dapat kita lihat dari ketiga agenda tersebut adalah bahwa PTA dan AFTA lebih menekankan pada pengurangan dan penghapusan hambatan tarif, sedangkan untuk MEA lebih menekankan pada pengurangan dan penghapusan hambatan non-tarif (Sjamsul Arifin dkk, 2008 : 71).
Dengan adanya MEA 2015 akan dapat mendorong terciptanya pembangunan jaringan-jaringan kerja produksi dan juga akan memperkuat integrasi regional pada sektor-sektor ekonomi dan dapat juga terciptanya pergerakan bebas pelaku-pelaku usaha dan tenaga kerja yang terdidik dan berwawasan. Selain itu sistem perdagangan dan syarat-syarat pabean dapat terstandardisasi dan sederhana diharapkan dapat mengurangi biaya-biaya transaksi antara sesama negara anggota ASEAN. Penerapan MEA 2015 ini juga akan mentransformasikan ASEAN ke sebuah pasar tunggal yang berbentuk basis produksi, seperti Masyarakat Eropa (ME). Pasar tunggal dan basis produksi ASEAN tersebut memiliki lima pilar liberalisasi sebagai kerangka kerja MEA 2015 yang meliputi : liberalisasi arus barang, arus jasa, arus investasi, arus modal, dan pasar tenaga kerja. Dalam arus barang ini sudah jelas akan dapat mempengaruhi arus ekspor dan impor barang dari masing-masing negara anggota ASEAN.
Namun walaupun demikian jumlah perdagangan ASEAN tersebut berbeda antara negara-negara anggota, sedangkan untuk negara China, Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU) merupakan negara yang menjadi mitra utama dalam perdagangan luar negeri untuk ekspor maupun impornya.
Oleh sebab itu pemerintah selalu bemsaha meningkatkan volume perdagangannya baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN, demi terciptanya perekonomian Indonesia yang berintegrasi secara global. Tetapi pada dasarnya Indonesia mempunyai berbagai potensi dan sumber daya yang tidak dimanfaatkan jadi negara-negara ASEAN pula yang memanfaatkan untuk kepentingan ekonomi nasional, sehingga hubungan Indonesia pada bidang ekonomi dan perdagangan bersama ASEAN kurang mampu bersaing.

SKRIPSI ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA REKSADANA SYARIAH DAN REKSADANA KONVENSIONAL DI INDONESIA

(KODE : EKONPEMB-025) : SKRIPSI ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA REKSADANA SYARIAH DAN REKSADANA KONVENSIONAL DI INDONESIA

SKRIPSI EKONOMI PEMBANGUNAN

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasar modal merupakan pasar untuk bermacam instrumen keuangan jangka panjang. Peran pasar modal sangat besar dalam perekonomian karena pasar ini menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Fungsi ekonomi pasar modal adalah menyediakan fasilitas yang mempertemukan antara pihak yang kelebihan dana (investor) dengan pihak yang memerlukan dana {issuer). Sedangkan pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan karena memberikan kemungkinan memperoleh imbal hasil bagi pemilik sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih. Di banyak negara, terutama di negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar, pasar modal menjadi salah satu sumber kemajuan ekonomi, sebab pasar modal menjadi sumber dana alternatif bagi perusahaan (Widoatmodjo, 2009 : 12).
Salah satu instrument yang diperdagangkan di pasar modal adalah reksa dana. Menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1995 pasal 1 ayat 27 tentang pasar modal, reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Reksa dana hadir sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal dan mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, tetapi hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas.
Perkembangan produk reksa dana sangat dinamis hal ini ditandai dengan semakin banyak jenis reksa dana yang dikeluarkan oleh satu manajer investasi, salah satunya adalah jenis reksa dana syariah. Reksa dana syariah pertama kali muncul di Indonesia tahun 1998 oleh PT Dana Reksa Investment Management. Reksa dana syariah bertujuan untuk memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Reksa dana syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 didefinisikan sebagai reksa dana yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Sehingga reksa dana syariah hanya berinvestasi pada perusahaan dengan kategori halal.
Perbedaan antara reksa dana syariah dan konvensional yang paling tampak dalam operasionalnya adalah adanya proses screening dalam konstruksi portofolio. Sehingga saham, obligasi, dan efek yang masuk dalam portofolionya adalah yang sudah sesuai dengan prinsip syariah. Proses screening sendiri saat ini tidak sulit dilakukan karena sudah ada Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh BAPEPAM-LK. Selain itu juga ada proses cleansing yaitu mengeluarkan pendapatan/keuntungan yang dianggap diperoleh dari kegiatan yang sifatnya tidak sesuai dengan prinsip syariah, pendapatan dikeluarkan tadi selanjutnya akan disumbangkan kepada lembaga amal yang telah disepakati. Berikut ini adalah tabel perbandingan reksa dana syariah dan reksa dana konvensional.
Kenaikan Total Nilai Aktiva Bersih (NAB) seiring dengan kenaikan jumlah reksa dana menunjukkan bahwa minat masyarakat akan reksa dana sebagai alternatif investasi semakin besar. Jika dilihat dari nominal maupun persentase total reksa dana syariah memang masih jauh tertinggal jika dibandingkan reksa dana konvensional. Namun jika dilihat dari pertumbuhan jumlah maupun NAB reksa dana syariah mengalami pertumbuhan yang menjanjikan. Hingga semester pertama tahun 2013 tercatat reksa dana ini sudah mengelola dana lebih dari Rp 9.43 Triliun yang tersebar di enam puluh tiga reksa dana syariah. Pesatnya pertumbuhan reksa dana baik konvensional maupun syariah menghadapkan investor kepada masalah bagaimana memilih alternatif reksa dana yang ada berdasarkan kinerja portofolio.
Memilih reksa dana yang tepat sebagai alternatif investasi memerlukan analisa dan cara pandang yang tepat. Karena dengan analisa yang tepat bisa diketahui reksa dana yang memberikan tingkat pengembalian yang tinggi serta memperkecil risiko yang ada. Ada beberapa pertimbangan sebelum memilih reksa dana, pertimbangan itu diantaranya kinerja reksa dana, besarnya dana kelolaan, tinggi rendahnya harga reksa dana, laporan investasi, dan biaya-biaya apa saja yang dikeluarkan.
Kinerja reksa dana berarti kemampuan reksa dana dalam menghasilkan return. Kinerja ini tercermin dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana tersebut, NAB adalah seluruh jumlah portofolio investasi dikurangi dengan segala biaya dan kewajiban. NAB sangat dipengaruhi oleh kinerja aset yang membentuk portofolionya, apabila harga pasar dari aset tersebut turun maka secara otomatis NAB akan turun, begitu juga sebaliknya. Tetapi pengukuran melalui NAB hanya sesuai untuk membandingkan reksa dana tersebut dari waktu ke waktu, bukan membandingkan reksa dana tersebut dengan reksa dana lain. Pengukuran kinerja reksa dana yang dapat dibandingkan dengan reksa dana lain harus memperhatikan aspek risiko.
Beberapa ukuran kinerja yang sudah memasukkan faktor resiko adalah Sharpe Ratio, Treynor Ratio, dan Jensen Ratio (Tendelin, 2001 : 324), semakin besar angka rasionya maka kinerja reksa dana tersebut makin baik atau optimal. Meskipun demikian evaluasi kinerja merupakan penilaian kinerja di masa lalu. Tidak ada jaminan bahwa kinerja masa lalu yang baik akan terulang kembali di masa mendatang. Kinerja masa lalu dapat dijadikan referensi sebagai salah satu pertimbangan dalam reksa dana, namun bukan satu-satunya (Rudiyanto, 2013 : 118).
Bangkitnya ekonomi Islam beberapa tahun terakhir menjadi fenomena menarik dan menggembirakan terutama bagi penduduk Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, sehingga pengembangan produk pasar modal yang berbasis syariah perlu ditingkatkan. Kemunculan reksa dana syariah memberi pilihan investasi yang lebih banyak bagi masyarakat khususnya para pemodal muslim. Namun masih ada kekhawatiran reksa dana syariah tidak mampu memberikan imbal hasil (return) yang menguntungkan dibandingkan dengan reksa dana konvensional. Keraguan itu muncul karena adanya dugaan kurang optimalnya pengalokasian dalam portofolio investasinya, akibat adanya proses screening yang membatasi investasi produk hanya pada yang sesuai dengan syariat Islam, sedangkan produk investasi syariah sendiri di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Di pihak lain masyarakat pada umumnya menghindari risiko (Risk Adverse) terhadap produk-produk baru yang belum kelihatan kinerjanya.
Dilatarbelakangi hal tersebut penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul "ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA REKSA DANA KONVENSIONAL DENGAN REKSA DANA SYARIAH DI INDONESIA". Dalam penelitian ini penulis akan membandingkan kinerja reksa dana konvensional dan reksa dana syariah baik reksa dana campuran, reksa dana pendapatan tetap, dan reksa dana saham.

SKRIPSI ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN

(KODE : EKONPEMB-024) : SKRIPSI ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN

SKRIPSI EKONOMI PEMBANGUNAN

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi dapat menjadi sarana bagi suatu negara untuk dapat memperluas pangsa pasarnya, baik dalam hal perdagangan internasional maupun investasi. Situasi ini pun dianggap sebagai suatu peluang bagi seluruh negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Perekonomian dunia yang mengglobal ini telah menciptakan kondisi saling ketergantungan ekonomi antar-negara, dan cenderung menimbulkan proses penyatuan aktivitas ekonomi baik di sektor riel maupun sektor keuangan, sehingga batas-batas antar-negara dalam berbagai praktik kegiatan ekonomi tersebut seakan-akan tidak berlaku lagi.
Timbulnya ketergantungan antarnegara umumnya disebabkan oleh sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing negara sangat terbatas, sehingga setiap negara membutuhkan bantuan dari negara lain (Huala Adolf, 2003). Sebagai motor penggeraknya adalah sistem persaingan yang oleh sebagian pihak menganggap akan dapat menghasilkan perbaikan kualitas pemenuhan kebutuhan dan pelayanan bagi para pelaku ekonomi di negara-negara yang terlibat. Globalisasi yang terjadi di seluruh dunia telah meningkatkan aliran dana maupun investasi, meningkatkan peredaran uang dan modal, menciptakan alih-teknologi, melancarkan distribusi hasil-hasil produksi, serta menciptakan produk berstandar global.
Tetapi oleh sebagian pihak lainnya, mengatakan bahwa globalisasi justru dapat menciptakan malapetaka, akibat eksploitasi sumber daya ekonomi oleh negara-negara yang lemah sebagai akibat lemahnya sendi-sendi ekonomi dasar mereka, seperti lembaga ekonomi, SDM atau sistem ekonomi yang berlaku. Misalnya dapat memperburuk neraca pembayaran karena masyarakat cenderung menyukai barang impor sedangkan hasil ekspor dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan raksasa di dunia.
Di era globalisasi ini Foreign Direct Investment (FDI) memegang peran penting dalam bisnis internasional. Integrasi ekonomi erat kaitannya dengan liberalisasi perdagangan yang merupakan ciri dari kondisi perekonomian yang semakin mengglobal. Integrasi ekonomi terjadi di antara negara-negara di dunia yang mendorong munculnya kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Saat ini, ada tiga kerjasama ekonomi regional yang terbesar di dunia, yaitu European Community (EC) yang merupakan bentuk integrasi ekonomi untuk negara-negara di kawasan Eropa, North American Free Trade Area (NAFTA) yang merupakan bentuk integrasi ekonomi untuk kawasan Amerika Utara dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang merupakan bentuk integrasi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Asia Tenggara. Saat ini ASEAN juga melakukan kerjasama dengan negara Jepang, Korea Selatan, dan RRC yang disebut dengan kawasan ASEAN.
Situasi ini akan mempengaruhi iklim investasi dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), yang saat ini banyak dipilih oleh investor. FDI mempunyai dampak jangka panjang untuk negara penerima, dimana dalam FDI tidak hanya terjadi transfer modal, namun juga terjadi transfer teknologi, ilmu pengetahuan, maupun manajemen. Dengan kata lain, FDI juga berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di host country.
Pada awalnya FDI dapat memperbaiki posisi devisa di host country, namun dalam jangka panjang bisa berdampak mengurangi devisa itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh impor besar-besaran dari barang setengah jadi serta barang modal di host country dan diperburuk oleh adanya pengiriman kembali keuntungan hasil bunga serta royalti. FDI juga dapat menyebabkan turunnya investasi domestik, karena kalah bersaing dengan modal asing. (Haryadi, R. Oktaviani, M. Tambunan, dan N.A. Achsani, 2008)
ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya berasal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand melalui Deklarasi Bangkok yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Pada tanggal 7 Januari 1984 Brunei Darussalam bergabung dengan ASEAN disusul dengan Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara merupakan anggota ASEAN kecuali Timor Leste dan Papua Nugini dan hanya mendapat status pemerhati dalam ASEAN.
Tujuan didirikannya ASEAN yaitu untuk meningkatkan ekonomi, kemajuan sosial, pengembangan kebudayaan dan memajukan perdamaian di tingkat regional. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-23 ASEAN di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam disepakati untuk memperdalam, memperluas, dan mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan perekonomian global, khususnya melalui penerapan kawasan perdagangan bebas negara-negara ASEAN melalui Asean Economic Community (AEC) yang dimulai pada Desember 2015.
Implementasi AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan pusat produksi, menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang kompetitif, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serta mengakselerasi integrasi ekonomi regional menuju ekonomi global (Eddy Cahyono. S dalam situs www.setkab.go.id, 2013)
Untuk menghadapi hal diatas, harus disadari bahwa sebagian besar negara di kawasan ASEAN merupakan negara berkembang dan membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.
Menurut Jonker Sihombing (2008), pemerintah harus mengupayakan sumber pembiayaan pembangunan dari alternatif-alternatif yang tersedia, baik yang bersumber dari dalam maupun yang bersumber dari luar negeri. Apabila ternyata persediaan tabungan di dalam negeri tidak tercukupi, maka salah satu cara untuk mendapatkan suntikan modal adalah dengan menarik investasi asing langsung (FDI). Dalam hal tertentu, FDI hanyalah pelengkap investasi domestik. Namun, dalam perkembangannya FDI memiliki peranan penting dalam investasi secara keseluruhan terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN.
Berdasarkan kondisi diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian terkait dengan FDI dan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN yang berjudul "ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN".
SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH

SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH

(KODE : EKONPEMB-0023) : SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia pada penghujung tahun 1990-an mengalami krisis perekonomian multidimensional. Pilar utama penyangga perekonomian tidak sanggup menjadi penyangga. Perusahaan-perusahaan besar yang mengalami banyak kerugian mengambil tindakan untuk melaksanakan efisiensi kerja dalam berproduksi. Terjadilah PHK besar-besaran yang dilaksanakan berbagai perusahaan sehingga menimbulkan pengangguran dalam kapasitas yang besar.
Sementara usaha-usaha kecil masih dapat bertahan karena modal yang mereka kelola tidaklah begitu besar jika dibandingkan dengan perusahaan besar. Pengangguran yang begitu besar menyebabkan masyarakat mulai berbalik pada usaha-usaha kecil yang bersifat pribadi yang disebut dengan UMKM. Masyarakat berusaha untuk mengatasi pengangguran dengan bekerja ataupun membuka usaha kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Usaha kecil tersebut bukanlah hal yang baru dalam perekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri telah menaruh perhatian bagi usaha UMKM melalui berbagai macam kebijakan pemerintah. Tetapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut kurang memberi manfaat bagi masyarakat yang melaksanakan usaha-usaha kecil yang disebut dengan UMKM.
Salah satu hal yang paling penting dalam pengembangan UMKM adalah modal kredit yang diberikan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan, tidak efektif dalam memajukan usaha kecil. Banyak kredit yang diberikan oleh pemerintah tetapi tidak disalurkan bagi usaha kecil milik masyarakat.
Selain melalui pemerintah modal juga diperoleh usaha kecil melalui pihak perbankan. Perbankan diketahui memberi kredit untuk mengembangkan usaha. Berbagai macam bentuk kredit yang disediakan oleh lembaga perbankan untuk mengembangkan usaha kecil. Hanya saja bukan rahasia lagi bahwa kredit-kredit yang disediakan oleh perbankan yang digunakan untuk usaha kecil sering mengalami kegagalan dibandingkan keberhasilannya. Ada berbagai macam kendala yang menyebabkan kegagalan penyaluran kredit tersebut. Dimulai dengan bunga kredit bank yang tinggi, prosedur yang panjang sehingga masyarakat menjadi merasa dipersulit dalam proses permohonan kredit. Selain pemerintah dan perbankan yang dapat memberikan kredit bagi usaha kecil, ada pula yang dikenal dengan rentenir yang memberi pinjaman dana bagi pengusaha kecil dengan bunga yang harus dibayar mencekik leher masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut ekonomi syariah yang sedang berkembang dan menjadi perhatian di Indonesia, menawarkan sistem kerja sama yang berbeda bagi pengusaha kecil yang dikenal dengan lembaga keuangan Baitul Mai Wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan sistem ekonomi syariah Islam.
Badan hukum dari BMT dapat berbentuk koperasi dengan syarat telah memiliki kekayaan lebih dari Rp. 40.000.000,00 dan telah siap secara administrasi dan untuk menjadi koperasi yang sehat dapat dilihat dari segi pengelolaan koperasi dan dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihah para pengurus yang telah mengelola BMT secara syariah Islam. Sebelum berbadan hukum koperasi, BMT dapat dibentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dapat berfungsi sebagai pra koperasi.
Berdasarkan UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal I, Ayat I dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan, dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang tak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih baik, aman, halal dan syar 'i yaitu BMT.
Keberadaan BMT diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan ketergantungan pengusaha mikro terhadap rentenir. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan perhatian dunia internasional.
Bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun Internasional pembiayaan mikro oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan pemerintah. Baik dari dukungan segi modal, legalitas, pengawasan, maupun info struktur.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Sedangkan pada tahun 1992 perkembangan bank syariah di tanah air mendapatkan pijakan setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi menggunakan gabungan konsep Baitul Mai dan Baitul Tamwil, yang target sasarannya serta skalanya pada sektor usaha mikro. Dengan semakin banyaknya orang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini serta disamping juga perlu adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT.
BMT X berdiri untuk melindungi pengusaha mikro dan kecil yang ada di Y dari rentenir-rentenir yang memberi pinjaman modal dengan bunga yang tinggi serta motivasi pengurus BMT untuk menambah amal ibadah melalui bekerja di BMT tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis melakukan penelitian yang diberi judul "ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT X TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DI KOTA Y".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang pemilihan judul diatas, maka penulis terlebih dahulu merumuskan permasalahan sebagai dasar kajian penelitian dilakukan.
Adapun perumusan masalah yang dibuat adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana perkembangan BMT X di kota Y ?
2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT ?
3. Bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan pihak BMT terhadap pendapatan anggota BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan BMT X di kota Y.
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan BMT terhadap pendapatan masyarakat/anggota BMT. 

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai masukan bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik untuk membahas mengenai perkembangan BMT di kota Y.
3. Sebagai penambah wawasan ilmiah penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.
4. Bagi BMT penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk mendukung kemajuan dan kelancaran kegiatan usaha BMT.
5. Sebagai bahan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

(KODE : EKONPEMB-0022) : SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tahun 1996, pemerintah orde baru (Orba) telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik sebagai panglima telah diganti dengan ekonomi sebagai panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam konstelasi politik yang bam ini, militer telah menempati posisi yang paling atas dalam hierarki kekuasaan.
Kenyataan menunjukkan, pemerintahan orde baru telah berhasil dalam melenyapkan hiperinflasi (inflasi beratus-ratus persen), mengubah modal yang hengkang ke luar negeri menjadi arus masuk modal swasta yang substansial, mengubah deficit cadangan devisa menjadi selalu positif, mempertahankan harga beras dan meningkatkan produksi beras hingga mencapai tingkat swasembada, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menurunkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Prestasi politik dan ekonomi yang mengesankan itu, tak pelak lagi telah ditopang dengan control dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, Republik Indonesia terbagi atas beberapa daerah propinsi. Daerah propinsi tersebut terdiri dari daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban mengatur sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, Undang-undang No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. Undang-undang No. 5/1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam 3 (tiga) prinsip, yang dijelaskan sebagai berikut : Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti bahwa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti bahwa pengkoordinasian prinsip tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Ditekankan juga bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan, yaitu : Pertama, dimensi politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan akan dan potensi rakyat di daerahnya. Yang pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan local accountability Pemda terhadap rakyatnya. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis, yang diharapkan dapat dengan mudah direalisasikan. "Nyata" berarti otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah. "Bertanggung jawab" mengandung arti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air. "Dinamis" berarti pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya mengacu pada dasar otonomi daerah itu sendiri yang telah di tuangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka akan terlihat bahwa perubahan mendasar yang telah dilakukan melalui UU No. 33 tahun 2004, yaitu peraturan tentang 2 sumber penerimaan daerah yang baru, yaitu dana perimbangan dan pinjaman daerah.
Pemberian hak otonomi didasarkan pada kemampuan fisik suatu daerah untuk membiayai dirinya sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004, bahwa prinsip otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : 
1. Otonomi yang seluas-luasnya adalah daerah yang diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU. Daerah tersebut memiliki kewenangan membuat kebijakan daerahnya demi memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan hidup serta berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah tersebut.
3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan maksud pemberian otonomi yang ada yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Dengan pemberian otonomi ini diharapkan pada pemerintah daerah untuk lebih memanfaatkan dan mengolah peluang dan potensi yang dimiliki daerah tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan di daerahnya dengan melibatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat/daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan wujud dari pembangunan nasional didaerah. 
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sector swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pembangunan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan, baik antar daerah maupun antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan serta hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut dapat pula dinikmati oleh masyarakat diberbagai lapisan, mulai dari lapisan atas hingga pada lapisan yang paling bawah baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan di berbagai sektor.
Dengan demikian daerah yang miskin, tertinggal, tidak produktif nantinya akan menjadi lebih produktif dan mempercepat pertumbuhan daerah itu sendiri. Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith) maupun para ekonom non klasik (Robert Solow & Trevor Swan), menyatakan bahwa pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa yang sebelumnya. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Dalam konteks ini, Siagian (1995), mengemukakan pendapatnya bahwa desentralisasi merupakan suatu konsep yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah pelayanan sosial diberbagai sektor publik. Dengan konsep ini diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas serta pemerataan yang diharapkan akan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Hal senada juga dikemukakan oleh Wahyono (1993), yang menyatakan bahwa pengotonomian justru untuk membangun daerah tersebut agar masyarakatnya sejahtera, dengan tujuan sebagai berikut : 
1. Menghilangkan berbagai perasaan ketidak adilan pada masyarakat.
2. Menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah
3. Meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah
4. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menganalisa sejauh mana pelaksanaan otonomi diterapkan di Kota X melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Penulis mencoba menuangkannya Dalam penulisan skripsi yang berjudul "PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KOTA X".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk lebih mempermudah dan membuat lebih sistematik penulisan skripsi ini. Selain dari pada itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi ini. Adapun perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana Kondisi Ekonomi Kota X setelah Otonomi Daerah ?
2. Apakah Otonomi Daerah Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini dilakukan adalah : 
1. Untuk mengetahui kondisi perekonomian kota X setelah adanya otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat kota X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah : 
1. Sebagai bahan studi atau literatur tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan studi dan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.
3. Sebagai bahan masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
4. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi-instansi yang terkait.

SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

(KODE : EKONPEMB-0021) : SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Sejak Januari sampai Oktober 2007 harga minyak mentah dunia tidak pernah mengalami penurunan dalam pergerakan bulanan. Bahkan hingga pertengahan tahun 2008 harga minyak mentah dunia cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan harga minyak mentah dunia diduga oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, ketegangan di perbatasan Turki dan Irak karena kebijakan Turki yang akan menggunakan seluruh kekuatan militernya guna menghadapi separatis Kurdi di Irak, laju konsumsi di China dan India yang terus meroket dan melemahnya dolar AS ikut memicu kenaikan harga (Kuncoro, 2007).
Sebagaimana negara-negara penghasil minyak lainnya seharusnya Indonesia juga mendulang keuntungan karena kenaikan minyak mentah dunia. Dengan keadaan seperti ini justru APBN Indonesia terbebani semakin berat yang harus menanggung kenaikan beban subsidi BBM yang terus meningkat. Hal ini dikarenakan produksi minyak Indonesia mengalami penurunan namun tidak diimbangi penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu produksi minyak di Indonesia kini banyak dikuasai oleh pihak asing. Selama tiga tahun terakhir Chevron Pacific Indonesia merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia dengan menguasai 44% dari total produksi minyak Indonesia. Sedangkan Pertamina hanya duduk di peringkat kedua dengan pangsa produksi hanya 12%. Suatu hal yang sangat memprihatinkan, SDA yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara serta digunakan untuk kemakmuran rakyat justru sebagian besar dikuasai oleh pihak asing.
Perbandingan harga BBM dalam negeri dengan negara tetangga mengalami ketimpangan yang cukup signifikan. Harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah daripada harga BBM di negara-negara tetangga. Pada Maret tahun 2008 harga BBM tertinggi terdapat di Singapura, harga premium di Singapura mencapai Rp. 13.857,- per liter, sedangkan harga premium di Indonesia hanya Rp. 4.557 per liter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : 
Harga BBM di Indonesia sangat murah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dengan perbedaan harga yang sangat tajam ini ditakutkan akan terjadi penyelundupan ke negara lain. oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. BBM yang seharusnya untuk konsumsi dalam negeri justru diselundupkan ke negara lain untuk memperoleh keuntungan pribadi karena harga di luar negeri yang jauh lebih mahal daripada di dalam negeri. Dan bila hal itu terjadi dan terus berlanjut maka yang terjadi adalah kelangkaan BBM di dalam negeri. Untuk mencegah hal itu terjadi maka pemerintah segera menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga BBM di luar negeri.
Selain hal di atas kenaikan harga BBM di Indonesia juga dikarenakan distribusi penggunaan subsidi BBM terbesar dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sekitar 70% distribusi penggunaan subsidi BBM dinikmati oleh 40% masyarakat terkaya. Sedangkan 40% masyarakat miskin hanya menikmati tidak mencapai 15% dari distribusi penggunaan subsidi BBM dan sisanya dinikmati oleh kalangan menengah. Sehingga pemerintah mengambil kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan mengalihkan ke hal lain yang lebih dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.
Kenaikan harga BBM di Indonesia memberikan tekanan sosial dan ekonomi yang berat terhadap masyarakat. Karena dengan kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan dari harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako). Hal seperti ini memang wajar terjadi sama juga yang terjadi pada saat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang diikuti juga dengan kenaikan harga sembako. Harga sembako yang terus naik sangat berdampak bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Dengan kenaikan harga kebutuhan pokok namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan masyarakat sehingga memperlemah daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan perkembangan harga pasar. Sehingga masyarakat miskin akan mengalami penurunan taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin.
Untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan daya beli masyarakat miskin pemerintah Indonesia melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran (BLT-RTS). Program BLT-RTS merupakan salah satu program kompensasi jangka pendek selain Program Raskin dan Program Operasi Pasar Beras dan Subsidi Harga Beras TNI/Polri. Program BLT-RTS adalah sebuah program pemberian bantuan sejumlah uang tunai sebesar Rp. 100.000,- per bulan selama 7 bulan dengan rincian diberikan Rp. 300.000,- per 3 bulan (Juni-Agustus) dan Rp. 400.000,- per 4 bulan (September-Desember). Sasarannya rumah tangga sasaran sejumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan. Hal serupa juga telah dilaksanakan Pemerintah Indonesia ketika terjadi kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2006 dengan melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).
BLT merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi pengaruh kenaikan BBM terhadap rumah tangga miskin. Program BLT merupakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam kurun waktu 2004-2009 untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya adalah target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dengan demikian diharapkan dengan adanya program BLT ini mampu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Penerima dana BLT adalah dikhususkan untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan miskin menurut data BPS. Untuk mendapatkan data rumah tangga sasaran yang berhak menerima BLT, pendataan dilakukan oleh BPS. Kriteria yang berhak menerima dana BLT ini meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), miskin (poor) dan mendekati miskin (near poor) berdasarkan definisi konsumsi kalori atau pengeluaran. Adapun yang termasuk kriteria penerima dana BLT yang digunakan oleh BPS untuk rumah tangga sasaran adalah sebagai berikut (www.kompensasibbm.com) : 
1. Penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, atau setara dengan Rp. 120.000,- per orang per bulan.
2. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 150.000,- per orang per bulan.
3. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 175.000,- per orang per bulan.
Program BLT dianggap kurang efektif untuk mengatasi permasalahan akibat kenaikan harga BBM. Di mata sebagian besar publik, kebijakan pemerintah mengenai BLT ini sangatlah tidak memadai dan tidak masuk akal dengan kondisi riil saat ini. 
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengambil penelitian yang berjudul "ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN (BLT-RTS)".

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada pendapatan berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
2. Bagaimanakah pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada harga beras berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
3. Bagaimanakah pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk : 
1. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya pendapatan RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
2. Untuk mengetahui pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya harga beras untuk dikonsumsi RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
3. Untuk mengetahui pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya dalam program BLT-RTS.
2. Sebagai aplikasi dari teori secara umum dan Ilmu Ekonomi Pembangunan secara khususnya, serta diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan yang ada.
3. Sebagai referensi/pedoman bagi pengembangan peneliti selanjutnya.

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

(KODE : EKONPEMB-0020) : SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang no. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Kedua Undang-undang ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) dikarenakan Pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (Undang-undang No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian.
APBD terdiri dari Penerimaan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana berimbang, dan penerimaan Iain-lain yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan Iain-lain pendapatan yang sah. Dana berimbang merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan Sumber daya Alam serta Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan belanja yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintah daerah. Pengeluaran pembangunan merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat.
Dengan dikelolanya APBD oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih leluasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah keinginan masing-masing daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi seperti : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian tenaga kerja dan skala produksi. Faktor non ekonomi seperti : sosial, manusia, politik dan administratif. Pertumbuhan ekonomi ini dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam satu periode biasanya satu tahun.
Menurut Keynes dalam Deliarnov (2003), pemerintah perlu berperan dalam perekonomian. Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil Keynes lebih sering mengandalkan kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa mempengaruhi jalannya perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijaksanaan ini sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Menurut Rostow dalam Jhingan (2007), yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relative besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah hams menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah hams tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas. Sedangkan Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).
Pengeluaran pemerintah daerah merupakan salah satu faktor lain yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dengan judul "PENGARUH APBD TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?

C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat disimpulkan adalah : 
1. Pengeluaran rutin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X. 
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan untuk menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan APBD Kabupaten X.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)


(KODE : EKONPEMB-0019) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian, maka akan dirasakan perlu adanya sumber-sumber penyediaan dana untuk membiayai segala macam kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Sumber-sumber penyediaan dana masyarakat seperti perbankan pada umumnya dirasakan masih membebani masyarakat menengah ke bawah. Hal ini selain dikarenakan tingkat suku bunga yang relatif tinggi dan tidak stabil juga prosedur yang diajukan bank umum dalam memberikan pinjaman tergolong rumit.
Pembiayaan dibutuhkan masyarakat selain untuk konsumsi juga untuk mencukupi modal usaha. Salah satu ciri umum yang melekat pada masyarakat Indonesia adalah permodalan yang lemah. Padahal modal merupakan unsur pertama dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat. Di daerah pedesaan banyak dijumpai pengusaha kecil yang mempunyai prospek bagus tetapi terhambat oleh modal sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Untuk menghindari akan terdesaknya kebutuhan permodalan usaha tersebut masih banyak dijumpai pengusaha atau pedagang ekonomi lemah, khususnya pengusaha kecil di daerah mengambil jalan pragmatis yaitu mencari permodalan dari rentenir.
Melihat gambaran umum masyarakat yang sampai saat ini masih sangat membutuhkan pembiayaan sebagai tambahan dana baik untuk modal usaha, konsumsi, investasi maupun membeli barang-barang yang dibutuhkan, maka keberadaan lembaga keuangan sangat membantu masyarakat. Lembaga keuangan berbasis syariah diharapkan bisa menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Karena lembaga keuangan syariah selain mampu menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan pinjaman, lembaga keuangan syariah juga bebas dari bunga.
Dalam Widodo (1999) menjelaskan bahwa lahirnya lembaga keuangan syariah termasuk "Baitul Maal wa Tamwil” yang biasa disebut BMT, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pelarangan riba secara tegas dalam Al Qur'an. Sebagian besar umat Islam yang hati-hati dalam menjalankan perintah dan ajaran agamanya menolak menjalin hubungan bisnis dengan perbankan konvensial yang beroperasi dengan sistem bunga. Realita tersebut merupakan faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan syariah seperti BMT. Tujuan yang ingin dicapai para penggagasnya tidak lain untuk menampung dana umat Islam yang begitu besar dan menyalurkannya kembali kepada umat Islam terutama pengusaha-pengusaha muslim yang membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan bisnisnya dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada para nasabah berdasarkan prinsip syariah, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, qardl dan lain-lain.
BMT merupakan pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama dalam keuangan. Istilah BMT adalah penggabungan dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal adalah lembaga penerima zakat, infaq, sadaqoh dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat terutama dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT. (Sholahuddin, 2008 : 202-203)
Dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 sebagai penopang hukum perbankan dengan sistem syariah, menjadikan keberadaan perbankan syariah menjamur. Tumbuhnya perbankan syariah diikuti dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba. Hal ini akan berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syariah seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. (Awaly Rizki dalam Bambang sugeng 2007)
Belakangan ini Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memang mulai popular diperbincangkan oleh insan perekonomian terutama dalam perekonomian Islam. Sejak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, BMT telah mulai tumbuh menjadi alternatif pemulihan kondisi perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2000, BMT terdaftar sebanyak 2.938 di 26 provinsi.
Dari jumlah itu, 637 (21,68%) di Jawa Barat, 600 (20,42%) di Jawa Timur, 513 (17,46%) di Jawa Tengah, dan 165 (5,61%) di DKI Jakarta. Menurut data Asosiasi BMT seluruh Indonesia (ABSINDO), hingga akhir Desember 2006 ada 3500 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah aset mencapai 2 triliun rupiah. Bahkan PINBUK, ICMI dan ABSINDO punya target mengembangkan 10.000 BMT di tahun 2010. (Pikiran-Rakyat.com)
Keberadaan lembaga keuangan mikro seperti BMT ini sangat penting mengingat keterbatasan akses masyarakat pada sumber-sumber pembiayaan formal, seperti perbankan. Kehadiran BMT sebagai pendatang baru dalam dunia pemberdayaan masyarakat melalui system simpan-pinjam syariah dimaksudkan untuk menjadi alternatif yang lebih inovatif dalam jasa keuangan. kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba. Selain itu mampu memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah. BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas
Salah satu aktivitas yang penting dalam manajemen dana BMT adalah pelemparan dana (lendingfinancing). Istilah ini dalam keuangan konvensional dikenal dengan sebutan kredit dan dalam keuangan syariah sering disebut pembiayaan. Pembiayaan sering digunakan untuk menunjukkan aktivitas utama BMT, karena berhubungan dengan rencana memperoleh pendapatan. Sebagai upaya memperoleh pendapatan yang semaksimal mungkin, aktivitas pembiayaan BMT juga menganut azas syariah, yakni dapat berupa bagi hasil, keuntungan maupun jasa manajemen. Upaya ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan likuiditas dapat terjamin dan tidak banyak dana yang menganggur. (Ridwan, 2004 : 163-164)
Dalam Muhammad (2002) menjelaskan bahwa peran BMT dalam memberikan kontribusi kepada perekonomian nasional sangat jelas, sementara perbankan sulit untuk menyalurkan dana pihak ketiga kepada masyarakat menengah ke bawah, BMT dapat langsung menyentuh serta memfokuskan perhatiannya terhadap masyarakat menengah ke bawah. Nilai strategis BMT lainnya adalah lembaga ini mempunyai peran yang sangat vital dalam menjangkau transaksi syariah di daerah yang tidak bisa dilayani oleh bank umum maupun bank yang membuka unit syariah. BMT sebagai salah satu lembaga keuangan mikro tentu menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan. Pembiayaan yang dimaksud adalah suatu fasilitas yang diberikan bank Islam kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank Islam dari masyarakat yang surplus dana.
Sementara itu pemilihan BMT Y karena selain BMT ini merupakan bagian dari program pemerintah melalui kebijakan Departemen Sosial untuk menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro sebagai upaya menyediakan permodalan bagi masyarakat menengah ke bawah, BMT ini juga memiliki basis pada daerah pedesaan sehingga lebih mewakili masyarakat Jawa Tengah yang sebagian besar berada di daerah pedesaan. BMT Y yang mempunyai cukup banyak nasabah khususnya nasabah pembiayaan (1160 orang pada Maret 2009) dinilai mampu memberikan lebih banyak variasi responden sehingga hasil penelitian bisa lebih baik. Selain itu lokasi BMT Y di X yang relatif dapat dijangkau baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya juga dijadikan pertimbangan dalam pemilihan objek penelitian.
Berawal dari kondisi tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dicermati faktor apa saja yang mempengaruhi para nasabah dalam meminta pembiayaan pada BMT Y di Kabupaten X. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merupakan suatu "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus Pada BMT Y di X)". Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan, maka dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan dibatasi pada variabel pendapatan, pendidikan, serta persepsi anggota terhadap pelayanan BMT. Sedangkan untuk variable lain seperti : umur, jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, maupun jenis pekerjaan akan dijelaskan dalam sebuah analisis deskriptif terkait pembiayaan yang responden minta.
Dari hasil penelitian ini diharapkan agar pengelola BMT mampu mengetahui preferensi nasabahnya dalam meminta pembiayaan sehingga diharapkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah mampu berupaya meningkatkan performa dan mengoptimalkan kinerjanya sebagai lembaga intermediasi dan mampu meningkatkan peranannya bagi perekonomian nasional.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah variabel pendapatan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
2. Apakah variabel pendidikan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
3. Apakah variabel persepsi anggota terhadap pelayanan BMT berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
4. Apakah tujuan anggota atas pembiayaan yang diperoleh dari BMT Y di X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendapatan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
3. Untuk mengetahui pengaruh persepsi anggota terhadap pelayanan BMT terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
4. Untuk mengetahui deskripsi dari tujuan pembiayaan masing-masing anggota BMT Y di X

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi penulis, untuk memperluas khasanah pemikiran mengenai ekonomi syariah, khususnya gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemintaan pembiayaan pada lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT
2. Bagi lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam upaya pengembangan kinerja di kelak kemudian hari
3. Bagi pemerintah, sebagai referensi untuk pengambilan keputusan dalam peningkatan kinerja pengembangan lembaga keuangan syariah
4. Bagi kalangan akademisi, sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya khususnya penelitian mengenai ekonomi Islam
5. Bagi semua pihak, sebagai landasan dalam melakukan langkah perbaikan dan optimalisasi lembaga keuangan syariah sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya bagi semua pihak.

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


(KODE : EKONPEMB-0018) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sejak masa orde lama, orde bam hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan yang digalakkan ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam, 2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses pengalokasian pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, alokasi kewajiban negara kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi ancaman-ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain GAM di Aceh dan RMS di Maluku.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak meratajuga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain.
Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat setempat (lokal) itu sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan juga merupakan suatu faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan satu formula pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari uraian diatas, maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi dari desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap dilaksanakan.
Wacana tentang sistem pemekaran wilayah ini, tentu saja tidak terlepas dari wacana desentralisasi politik. Jika kita mencoba mengulang belajar tentang sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak lama ketika zaman kerajaan-kerajaan di nusantara bermunculan. Pada zaman itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan terpecah atau dimekarkan apabila terjadi perseteruan ditubuh kerajaan atau yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun kalah peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajahan kolonial mulai masuk ke Indonesia.
Pada masa pra-kemerdekaan, Belanda dan Jepang telah membawa dan menanamkan "virus kolonialisme" ke Indonesia. Belanda sebagai penjajah pada waktu itu telah menerapkan sistem desentralisasi yang bersifat sentralistik, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Sistem desentralisasi ini mengarah kepada sisttem pemekaran. Penjajah Belanda menyusun suatu hirearki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui pembentukan dan pembagian daerah-daerah menjadi daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewest (identik dengan propinsi saat ini), regentschap (kabupaaten saat ini) dan staatsgemeente (kotamadya sekarang). Sedangkan pada Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Pembagian wilayah-wilayah tersebut umumnya terjadi di Jawa dan sekitarnya yang ditujukan sebagai alat kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak rakyat Indonesia dalam melakukan pemberontakan.
Pemekaran wilayah yang terjadi pada saat ini merupakan implikasi berlakunya otonomi daerah, yakni UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada masa Presiden BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto. Beliau membuat kebijakan politik bam yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Wilayah pusat tidak sepenuhnya lagi mempunyai wewenang terhadap daerah, tetapi sebagian kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada daerah. UU tersebut kemudian melahirkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Penerintahan Daerah dan seiring waktu berubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.
Semangat otonomi daerah dan desentralisasi diatas akhirnya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Namun dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik.
Desentralisasi banyak dijadikan sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara seperti Indonesia yang wilayah geografisnya luas dan jumlah penduduknya yang besar untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Di dalam desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan parti sipasi masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Desentralisasi di Indonesia adalah sebuah peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal. Selain memberikan pengelolaan kewenangan pada bidang tertentu, desentralisasi telah memberikan ruang bagi suatu daerah untuk pembentukan wilayah/daerah baru.
Sepertinya, pemekaran wilayah telah menghasilkan trend baru dalam struktur kewilayahan di Indonesia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sejak era reformasi bergulir dan dengan memanfaatkan momen euforia otonomi daerah, telah terbentuk 203 daerah otonom baru, diantaranya terdiri atas 7 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Fenomena pemekaran daerah yang begitu cepat ini pastilah memiliki implikasi yang sangat besar dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan. Pemekaran wilayah merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah dan pihak yang terkait dibanding melakukan penggabungan wilayah.
Oleh karena itu, fenomena pembentukan daerah melalui pemekaran wilayah tampaknya sangat menarik untuk dibahas, khususnya yang menyangkut motif pemekaran itu sendiri. Akan tetapi, hal lain yang jauh lebih menarik adalah apakah melalui trend pemekaran wilayah ini akan mampu membawa harapan masyarakat untuk mendorong kepada peningkatan sosial ekonominya, yakni melalui percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta mampu menghindari kesenjangan ekonomi masyarakat di daerahnya masing-masing ?
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mencoba melakukan penelitian dengan menganalisa sudah sejauh mana pemekaran yang terjadi di Kabupaten X yang merupakan daerah induk memberikan pengaruh terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakatnya. Dalam hal ini Penulis mencoba menuangkannya melalui penulisan skripsi dengan judul "Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus : Kabupaten X)".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :
1. Apakah ada perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
2. Apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
4. Apakah ada perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1. Sebagai bahan studi, literatur dan tambahan informasi bagi kalangan akademisi, peneliti dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
2. Untuk menambah dan melengkapi dan sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.
3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan perencanaaan dan pembangunan wilayah di Kabupaten X.

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA


(KODE : EKONPEMB-0017) : SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974, pembangunan Indonesia dituntut untuk memperhatikan istilah desentralisasi, yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi sesuai dengan undang-undang.
Namun masih ditemukan banyak kelemahan yang terjadi di dalam umdang-undang ini yaitu tidak secara tegas mengatur sampai seberapa jauh tingkat otonomi yang dimiliki daerah atau yang diberikan pusat ke daerah. Undang-undang ini hanya mencantumkan prinsip saja "pelaksanaan otonomi yang bersifat nyata dan bertanggung jawab." Sampai seberapa jauh nyata-nya dan batas-batas tanggung jawab seperti apa tidak ditegaskan. Hal ini mengakibatkan pembangunan tetap berjalan secara sentralistis yang tetap ditandai dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh pusat, dan pemerintah di tingkat daerah praktis sekedar perpanjangan tangan dari pusat.
Sejalan dengan pembangunan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dengan kondisi yang ada pembangunan Indonesia mengalami kesenjangan kesejahteraan itu, ditengah arus globalisasi yang membuat batas-batas Negara semakin tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informasi yang tidak terbendung, menurut sistem pemerintahan yang sentralistik harus diganti mengingat daerah di Indonesia memiliki keunikan sendiri, baik dari demografi maupun potensi ekonominya. Melihat inilah maka pemerintah menetapkan UU No. 22 tahun 1999 dalam memberi acuan dasar yang cukup tegas bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk mengatur dan mengurus daerah sendiri.
Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya.
Dalam Negara majemuk seperti Indonesia, satu ukuran belum tentu cocok untuk semua daerah. Dalam proses ini komunitas-komunitas lokal perlu dilibatkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, termasuk DPR untuk menjamin proses desentralisasi secara lebih baik dan bertanggung jawab dimana mereka sebagai salah satu stakeholder yang memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah (Widjaja, 2004 : 2). 
Perjalanan desentralisasi inipun terus mengalami perkembangan diberbagai daerah dan dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kelemahan terkhusus dari segi undang-undang yang mengaturnya sehingga dimunculkan beberapa undang-undang seperti dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang hubungan keuangan pusat-daerah. Kedua undang-undang ini semakin memberikan kemudahan dalam melihat pencapaian pengelolaan daerah dimana pemerintah daerah. Hal ini yang berekaitan erat dengan kemandirian pelaksanaan pemerintah daerah adalah kebijakan fiscal daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria harus dipenuhi dalam rencana dan usul pemekaran daerah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif pemekaran antara lain ialah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial, budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain adalah 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh wilayah dan membina kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, bertujuan untuk menjamin perkembangan dan pembangunan daerah yang dilaksanakan dengan azas dekonsentrasi. Lebih terperinci tujuan tersebut seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 adalah :
1. Mempercepat laju pertumbuhan pembangunan
2. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
3. Upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
4. Mempertinggi daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
6. Terbinanya stabilitas politik dan kesatuan bangsa.
Namun seperti diketahui bahwa meskipun sudah ada otonomi daerah, pembangunan di daerah tidak hanya berasal dari program regional, tetapi berasal dari program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh Departemen teknis. Artinya program pembangunan daerah tersebut merupakan kombinasi dari asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Dengan cara demikian diharapkan disparitas kemajuan akibat pembangunan antar daerah dapat dikurangi. Keadaan seperti ini merupakan suatu ciri negara sedang berkembang, yaitu masih tingginya peranan pemerintah pusat dalam memperoleh dan menyalurkan dana kepada daerah (Majidi, 1991 : 4)
Dalam kenyataan pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan proyek pembangunan sektoral tersebut tidak sesuai dengan keinginan(aspirasi) daerah seiring perencanaan pembanugnan sektoral lebih bersifat top-down.
Pemekaran wilayah berakibat langsung terhadap terjadinya pembatasan wilayah dengan luasan yang lebih kecil, persebaran penduduk lebih konsentrasi, keuangan (PAD), dan perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi, karena walaupun diadakan pemekaran wilayah namun potensi wilayah yang bersifat alamiah dan sarana prasarana wilayah yang sudah terbangun tidak akan dapat dibagi. Demikian juga distribusi penduduk dan aktivitasnya yang sudah tersebar dengan keadaan saat ini juga sangat sulit diubah. 
Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar sektor. pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.
Menurut pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah pendudukjumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Menurut Boediono (2001) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Proses pertumbuhan ekonomi bersifat dinamis yang berarti berkembang terus-menerus.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. PDRB merupakan keseluruhan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah. Data PDRB menngambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. PDRB perkapita merupakan hasil dari pembagian PDRB dengan jumlah penduduk, dengan kata lain pembentukan PDRB perkapita dapat dilihat dari meningkatnya nilai tambah sektor-sektor ekonomi yang ada dalam wilayah tersebut. Penelitian ini terfokus pada pemekaran wilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisis sejauh mana pelaksanaan pemekaran wilayah terhadap peningkatan pertumbuhan PDRB perkapita. Untuk itu penulis mengambil judul "Pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan PDRB perkapita (studi kasus Kabupaten X)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Apakah pemekaran kabupaten akan menyebabkan perubahan aktivitas basis ekonomi Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan(peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran wilayah ?

1.3. Hipotesis
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan aktivitas basis ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
2. Dengan adanya pemekaran wilayah pertumbuhan PBRD perkapita di Kabupaten X mengalami peningkatan.
3. Dengan adanya pemekaran wilayah, terdapat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perubahan aktivitas basis ekonomi di kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan (peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X.
3. Untuk melihat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah Pemekaran wilayah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya atau sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa, terutama bagi mahasiswa departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non ilmiah penulis dalam displin ilmu yang penulis tekuni serta mengaplikasikannya secara konseptual dan tekstual dan masukan bagi penelitian lain.