Search This Blog

Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts
Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts

SKRIPSI STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK

(KODE : HKM-ISLM-00010) : SKRIPSI STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu persoalan kontroversial yang dihadapi umat Islam di Indonesia saat ini adalah nikah sirri. Pada tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI, menyusun Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang mencoba memberikan regulasi tentang model perkawinan ini. Setelah tidak ada perkembangan selama enam tahun, pada tahun 2010, pemerintah melalui Kementerian Agama menyusun draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama dibidang perkawinan yang mencantumkan pasal pemidanaan bagi pelaku nikah sirri.
Bagi sebagian masyarakat, nikah sirri dipandang merugikan hak-hak perempuan karena tidak ada jaminan dan perlindungan hukum terhadap pelaku dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya dari negara. Berbeda halnya dengan ratusan santriwati di Probolinggo, Jawa Timur yang merepresentasikan kaum perempuan muslim, mereka justru menolak adanya regulasi ini. Bagi mereka, nikah sirri tidak selamanya merugikan kaum perempuan dan dapat dijadikan solusi menanggulangi tingginya angka perzinaan.
Nikah sirri telah dipraktikkan dan membudaya di sejumlah daerah. Pelaku nikah sirri ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, baik dilihat dari segi usia, status sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi dan sebagainya. Di wilayah Jawa Barat, tepatnya di desa Sinarancang, sebagian besar penduduknya menikah secara sirri dan telah dipraktekkan secara turun temurun. Di desa ini, terdapat 1.200 pasangan dari 2.000 pasangan suami-istri yang perkawinannya tidak dicatatkan. Menariknya, aparatur desa juga melakukan praktik nikah sirri. 
Nikah sirri juga marak dilakukan warga Kabupaten Pasuruan. Menurut data dari Islamic Center for Democracy, Human Right and Empowerment, jumlah pasangan yang menikah secara sirri di Kabupaten Pasuruan mencapai 4 (empat) ribu pasangan. Terbanyak di Kecamatan Rembang, pasangan nikah sirri mencapai 2 (dua) ribu pasangan. Warga Pasuruan menganggap biasa nikah sirri, sehingga generasi berikutnya juga mengikutinya. Sedangkan di wilayah Kabupaten Malang, pada tahun 2010 sebanyak 87 pasangan yang tidak memiliki akta perkawinan dari 26 Kecamatan mengajukan permohonan itsbat nikah dan berperkara di Pengadilan Agama Kabupaten Malang.
Menurut Mukhasonah, perilaku nikah sirri di atas memiliki latar belakang yang berbeda-beda, seperti biaya yang lebih murah, prosedurnya cepat, menghindari perzinaan, ingin poligami, salah satu pihak ada yang masih menempuh jenjang pendidikan, atau rintangan dari orang tua. Meskipun demikian, ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi membudayanya nikah sirri, seperti persoalan ekonomi.
Konsep nikah sirri di Indonesia umumnya dipersepsikan sebagai suatu pernikahan berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Menurut persepsi para pelakunya, secara legal formal hukum Islam (fikih), perkawinan mereka dapat dinyatakan sah. Meskipun dalam perspektif negara perkawinan ini termasuk tidak sah karena tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Jika dilihat dari kenyataan yang ada di masyarakat, fenomena nikah sirri merupakan salah satu model perkawinan yang bermasalah dan cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan subyektif. Model perkawinan juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, seperti tidak jelasnya status perkawinan, status anak, atau adanya kemungkinan pengingkaran terhadap perkawinan. Hal ini disebabkan tidak adanya bukti otentik yang menunjukkan telah terjadi perkawinan yang sah. Padahal Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 282, yang secara implisit menerangkan akan urgensi pencatatan perkawinan. Logikanya, apabila dalam persoalan hutang saja Allah memberikan ketentuan agar dicatat, maka pada persoalan yang penting dan sakral seperti perkawinan tentu ada anjuran kuat untuk melakukan pencatatan untuk menghindari adanya penipuan dan dampak negatif lainnya.
Dampak negatif juga dialami oleh anak dari nikah sirri. Mereka dapat dengan mudah diingkari oleh orang tuanya dan sangat berpotensi mendapat perlakuan buruk bahkan eksploitasi karena tidak ada jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya dalam keluarga. Menurut data penelitian tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di lima daerah pantai utara  (pantura) menunjukkan bahwa anak hasil nikah sirri rentan menjadi korban eksploitasi, seperti untuk pelacuran dan perdagangan anak. Atau pada kasus yang lain anak yang dilahirkan dari nikah sirri dititipkan kepada orang tua atau nenek di kampung dengan jaminan kesehatan yang relatif rendah dan mereka menderita gizi buruk. Sekitar 70 persen pasangan yang bercerai dan merebutkan kuasa asuh anak berasal dari pasangan nikah sirri. Situasi ini tentu berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap anak.
Selain itu, kedudukan anak-anak yang terlahir dari perkawinan sirri secara yuridis dapat dikategorikan sebagai anak di luar nikah. Sebab dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa Asal usul seseorang hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan, anak yang terlahir dari nikah sirri tidak dapat memperoleh akta kelahiran. Karena salah satu syarat pengajuan akta kelahiran yang berupa buku nikah, untuk menunjukkan sahnya perkawinan orang tuanya tidak dapat dipenuhi. Akte kelahiran memiliki kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dapat dijadikan dasar untuk membuat kartu keluarga, KTP,, paspor, pendaftaran sekolah, dan urusan lainnya.
Jika dipersamakan dengan anak di luar nikah, maka nasab anak dari perkawinan sirri yang hanya dihubungkan kepada ibunya dan keluarga ibunya saja, tidak kepada bapaknya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hanya perempuan yang menanggung pemenuhan kebutuhan dari anak dan laki-laki memiliki kebebasan dari tanggung jawab secara hukum, baik terhadap istri maupun anak-anaknya. Jika ada kepatuhan hanya sebatas kesadaran moral saja.
Apabila hal ini terjadi maka bertentangan dengan ajaran Islam tentang keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak setiap individu. Keadilan sendiri merupakan sendi utama dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti hukum, ekonomi, sosial, budaya, politik, akidah, maupun ideologi serta merupakan sumber ketentraman dan kedamaian bagi umat manusia. Menurut Abdul Manan, keadilan dipandang sebagai kebijakan tertinggi dalam pergaulan hidup dan selalu ada dalam segala manifestasinya yang beraneka ragam.
Persoalan-persoalan di atas juga dialami oleh sejumlah pasangan suami-istri yang melakukan nikah sirri di Kabupaten X. Berdasarkan hasil pra-research yang dilakukan peneliti di Pengadilan Agama Kabupaten X, didapatkan informasi bahwa pasangan yang menikah secara sirri kesulitan mengurus akte kelahiran anak-anaknya, meskipun mereka telah melakukan nikah ulang di hadapan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal ini disebabkan tanggal yang tercantum dalam buku nikah tidak sesuai dengan tanggal kelahiran atau usia anak.
Meskipun telah banyak penelitian mengenai anak di luar nikah dari perkawinan sirri, tidak terlalu banyak yang membahas tentang perubahan status keperdataannya melalui upaya hukum yang sebenarnya diberikan oleh Undang-Undang. Pada pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama Kabupaten X memiliki wewenang untuk memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan penetapan asal usul anak di wilayah yurisdiksinya. Berdasarkan Data LIPA Pengadilan Agama Kabupaten X dari tahun 2006 hingga tahun 2011 telah tercatat 72 kasus penetapan asal usul anak yang diterima oleh Pengadilan Agama dan dari semua perkara tersebut, dapat dikabulkan semuanya, sebagaimana yang akan penulis uraikan pada paparan data skripsi berjudul : “STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK” ini.

SKRIPSI TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(KODE : HKM-ISLM-0008) : SKRIPSI TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap manusia dan makhluk hidup lain di dunia yang fana. Kematian merupakan pintu gerbang menuju kepada kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan akhirat, ia sebagai bukti kekuasaan Allah, bukti adanya kebangkitan dan bukti yang meyakinkan bahwa manusia akan berdiri di hadapan Allah, Tuhan alam semesta. Kematian juga sebagai bukti akan kehidupan kekal yang dikehendaki oleh Tuhan semesta alam, dengan ukuran-ukuran yang telah diketahui dan timbangan-timbangan yang baik dan adil.
Kematian mesti ada, karena kematian berarti kembali ke asal manusia diciptakan. Sebagaimana Allah telah menciptakan manusia dari tanah, maka ia mesti kembali menjadi tanah agar menjadi peringatan bagi jiwa-jiwa yang lalim di saat berada dalam kelaliman, bagi jiwa-jiwa yang gundah di saat kegundahannya, dan jiwa-jiwa yang rusak di saat berada dalam kerusakan bahwa tempat kembalinya adalah ke dalam tanah.
Kehidupan manusia timbul pada saat ruh ditiupkan pada jasad janin dalam rahim seorang ibu. Sedangkan kematian adalah jembatan yang menghubungkan dua kehidupan; kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat atau terputusnya hubungan dan terpisahnya ruh dengan jasad manusia. Namun demikian suka atau tidak suka, cepat atau lambat, kematian pasti datang menjemput kita, ia diibaratkan dengan anak panah yang telah dilepas dari busurnya, ia terus akan mengejar sasarannya, dan begitu ia tiba pada sasarannya saat itu pula kematian yang ditujunya tiba.
Selain itu manusia tidak dapat terhindar sama sekali dari keresahan hidup. Ada keresahan yang dapat ditanggulanginya sendiri atau bersama orang lain, tetapi ada juga keresahan yang tidak dapat ditanggulanginya yaitu keresahan menghadapi kematian. Kecemasan tentang kematian dan apa yang terjadi sesudah mendorong manusia mencari sandaran yang dapat diandalkan. Kematian makhluk hidup, termasuk manusia yang hidup selamanya, meskipun begitu Tuhan juga menegaskan berkali-kali mengenai kepastian kematian manusia agar mereka menyiapkan diri dalam menghadapinya.
Mati secara etimologis berati padam, diam, dan tenang. Maksudnya sesuatu yang tidak memiliki roh jika tenang merupakan makna asal dari kematian. Dengan demikian gerak adalah makna asal dari kehidupan.
Allah SWT telah menggariskan kematian atas manusia sejak dalam kandungan atau rahim ibu, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa ketika jabang bayi seorang manusia sudah menginjak 40 hari, Allah akan menentukan padanya manusia rezekinya, umurnya dan jodohnya.
Ketentuan-ketentuan akan batasan umur manusia di atas dikenal dengan istilah takdir, artinya sebuah ketetapan yang tidak bisa dijamah oleh nalar manusia, karena ia adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya diwajibkan berusaha dengan berdoa meminta agar panjang umur, adapun kepastiannya Allahlah yang menentukan. Jika ajal sudah datang, tak seorangpun bisa mengelaknya dan menghindarnya, alih-alih meminta dipercepat. Allah SWT berfirman : 
Artinya : "...Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS. al-A'raaf [7] : 34)
Takdir kematian yang telah ditetapkan oleh Allah SWT secara umum terjadi karena sebab-sebab (al-asbab). Kematian bisa disebabkan oleh suatu penyakit, kecelakaan, atau pelanggaran hukum seperti pembunuhan atau yang lainnya.
Di dalam skripsi ini, penulis berusaha meneliti di dalam pengurusan jenazah dengan sebab kematian termutilasi karena kecelakaan (tergilas kereta, mobil), pembunuhan mutilasi, atau karena bom bunuh diri dengan tubuh mayat yang hancur-hancuran. Dalam kaitan ini, penelitian tentang tata cara pengurusan jenazah mutilasi dirasa perlu untuk mencari kejelasan identitas seseorang yang terbunuh tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bab Penyidikan bagian kedua pada pasal 133 ayat 3 : 
"Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilaksanakan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat."
Kematian yang tidak wajar yang disebabkan termutilasi atau anggota tubuh mayat yang hancur harus dicari untuk kepentingan identifikasi korban dan untuk mendapatkan kepastian hukumnya. Dalam kaitan ketidakjelasan jenazah yang ditemukan, yang perlu diketahui adalah; Apakah jenazah tersebut mati secara tidak wajar? Apakah ada tanda-tanda atau ciri-ciri khusus pada jenazah? dan untuk mengetahui identitasnya tanda-tanda khusus tersebut perlu dicocokkan dengan keluarganya melalui informasi anggota keluarganya yang hilang. Dalam KUHP bab penyidikan bagian ke dua pasal 133 ayat 2 : 
"Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat."
Dalam kaitannya dengan jenazah yang tidak dikenal perlu diketahui juga identitas agamanya. Mengapa? karena identitas agama suatu jenazah sangat penting ketika melakukan proses kremasi jenazah dan penguburan, di mana setiap agama memiliki peraturan (syariat) yang berbeda-beda. Dan ini sejalan undang-undang dasar Negara Indonesia yang mengakui keyakinan umat beragama sebagaimana tertera dalam sila ke 1 Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian, dalam kaitannya dengan jenazah yang beragama Islam, secara khusus ada beberapa aturan penatalaksanaan (tata cara) pengurusan jenazah yang perlu diperhatikan, yang meliputi tata cara memandikan, mengkafankan, menshalatkan, serta menguburkan jenazah. Dan ini merupakan kajian yang penulis bahas dalam skripsi ini.
Dari latar belakang di atas, penulis sangat tertarik mengadakan penelitian dalam penulisan skripsi ini dengan mengambil judul : "TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM." 

SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN

(KODE : HKM-ISLM-0007) : SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya bahwa manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya yaitu dalam bidang Muamalah, dalam hal Muamalah sendiri Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Syari'at Islam.
Sesungguhnya praktek jual-beli itu telah ada lebih dahulu sebelum adanya konsepsi tentang Muamalah (ekonomi Islam), sebab usaha manusia dalam bentuk perdagangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia telah ada semenjak manusia itu ada. Baik berupa tukar menukar barang (Barter), Jual-beli maupun kegiatan Muamalah yang lain. Dan itu berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia, akhirnya timbullah pikiran-pikiran untuk menerapkan kaidah-kaidah dasar tentang Muamalah (ekonomi Islam).
Karena itulah semenjak Islam datang di bumi ini, bangsa Arab ketika itu telah mempunyai adat, norma dan kaidah-kaidah Muamalah. Adapun sikap Islam terhadap kaidah-kaidah yang telah berlaku di kalangan bangsa arab itu adalah mengembangkan dan menyempurnakan mana yang sesuai dengan syari'at Islam, dan menghapuskan yang tidak sesuai dengannya. Kemudian menggantikannya dengan kaidah-kaidah yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.
Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan cara perdagangan (jual-beli) tertentu, sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak dengan mudah diwujudkan setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada cara yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan, itulah perdagangan dan hukum-hukum jual-beli yang dibenarkan atau yang disyariatkan.
Maka di dalam pelaksanaan perdagangan (jual-beli) selain ada penjual, pembeli, juga harus sesuai dengan syarat rukun jual-beli, dan yang paling penting yaitu tidak adanya unsur penipuan, jadi harus suka sama suka atau saling ridha.
Anjuran untuk melaksanakan jual-beli yang baik dan benar atau harus saling suka sama suka, telah banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Salah satunya surat An-Nisa' ayat 29 : 
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu".
Jadi lafaz tijarah yang berarti perdagangan sebenarnya memiliki padanan dengan al-ba'i karena memang lafaz tijarah adalah nama lain dari al-ba'i yang menjadi salah satu term fiqih dalam sebuah konsep pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
Al-Ba'i (jual-beli) menurut terminologi adalah tukar menukar barang atau harta dengan sejenisnya dengan cara yang baik, atau juga bisa dikatakan tukar menukar barang dengan barang atau harta dengan harta dengan cara yang khusus/tertentu (akad).
Konsep ba'i sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian Islami sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam pelaksanaan jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di Desa X. Kegiatan Muamalah khususnya jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini sangat bervariasi, guna untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Khususnya dalam pembahasan ini adalah jual-beli hasil pertanian, dimana mayoritas masyarakat di Desa X dalam transaksi jual-beli hasil pertanian menggunakan jual-beli dengan cara "Borongan".
Jual-beli Cara "Borongan" ini bermula ketika seorang pedagang atau penjual ingin mendapatkan barang yang akan dijualnya nanti, maka mereka para penjual mencari barang dagangannya itu dengan cara melakukan akad jual-beli dengan cara "borongan", jadi sekali akad dan sekali pengambilan saja, ini bisa dicontohkan semisal; ada pedagang membeli buah alpukat milik petani, maka pedagang itu akan mengambil buah alpukat yang ada dipohon semuanya sampai habis, karena menggunakan cara "borongan", seperti yang kita ketahui umumnya buah-buahan itu belum tentu matangnya (masaknya) secara bersamaan. Bagaimana kedudukan buah yang masih hijau (kecil) tersebut. Padahal dalam aturan Muamalahnya sudah dijelaskan bahwa jual-beli buah yang belum nampak atau masih kecil hukumnya adalah tidak sah (fasid), seperti sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh 'Abdullah bin 'Umar r.a : 
Artinya : Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. : Rasulullah Saw. Pernah bersabda, "Jangan menjual buah kurma sebelum jelas masak (bebas dari kemungkinan busuk atau kena hama) dan jangan menjual kurma basah dan kurma kering”.
Kenapa Rasulullah melarang memperjualbelikan sesuatu yang belum nampak masaknya, karena hal itu bisa mengakibatkan pertengkaran diantara mereka (penjual dan pembeli).
Pelaksanaan dari jual-beli dengan Cara "borongan" di yang lain yaitu; menjual tanaman kacang tanah yang masih belum diketahui barangnya. Kharijah bin Zaid bin Tsabit berkata bahwa Zaid bin Tsabit tidak menjual buah-buahan dari tanahnya sebelum muncul sehingga seseorang dapat membedakan buah yang kuning dari yang merah (matang). Jadi apabila muncul maka tandanya tanaman tersebut sudah memasuki umur tua atau sudah waktunya untuk dipanen.
Kedua masalah diatas adalah beberapa macam jual-beli dengan cara "borongan" yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat di Desa X, yang mana pelaksanaan dari transaksi jual-beli dengan cara "borongan" sebenarnya masih diperdebatkan, karena adanya unsur "spekulasi" (perkiraan saja), Jadi kebenarannya masih perlu dibuktikan. Padahal yang kita ketahui bahwa sistem jual-beli yang baik adalah barangnya bisa diketahui atau jelas, bermanfaat dan saling menguntungkan satu sama lain serta tidak adanya penipuan. Seperti Hadist Shahih Bukhari : 
"Diriwayatkan dari (Abdullah bin umar) r.a : Seseorang menemui Nabi Saw, dan berkata bahwa ia selalu dicurangi dalam pembelian. Nabi Saw, bersabda kepadanya agar pada waktu membeli (sesuatu) mengatakan, "Tidak ada penipuan". (ia mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata cacat, rusak, tidak sesuai dengan janji si penjual, dan sebagainya).
Dalam hadist diatas Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa jual-beli yang mengandung unsur penipuan hendaknya ditinggalkan dan barang yang cacat atau rusak hendaknya dikembalikan pada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Apakah pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan Cara "borongan" di Desa X itu terjadi dari kebiasaan/tradisi atau memang ada dalam aturan perniagaan/strategi perdagangan Islami. Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat di desa ini yang notabene ke-lslamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek perekonomian Islami yang masih diragukan kebenarannya. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian fenomena kasus di atas, maka penulis tergugah untuk mengadakan penelitian yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA "BORONGAN".

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERDA KAB KEDIRI TENTANG SEWA TUNGGU TANAH BENGKOK

(KODE : HKM-ISLM-0006) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERDA KAB KEDIRI TENTANG SEWA TUNGGU TANAH BENGKOK

contoh skripsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia akan selalu mencari dan berusaha agar kebutuhannya terpenuhi. Hal itu dapat dilakukan dengan bekerja pada orang atau berusaha sendiri sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki yaitu dengan bermuamalah. Muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Hubungan itu bisa terjadi dalam segala bidang, termasuk perekonomian. Salah bentuk muamalah adalah sewa menyewa dan ini sering dilakukan di masyarakat.
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan. Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa atau carter kendaraan dan Iain-lain.
Sewa menyewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan Al-ijarah. Menurut pengertian hukum Islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya sama sekali tidak berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
Di dalam istilah hukum Islam, orang yang menyewakan disebut mu'ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu'tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma'jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensus (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yang menyewakan wajib menyerahkan barang kepada penyewa. Dengan diserahkannya manfaat barang atau benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya.
Defenisi ijdrah dalam syara' adalah akad atas manfaat yang dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan ciri-cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui, atau akad atas pekerjaan yang diketahui dan dengan bayaran yang diketahui.
Sewa menyewa tanah dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan baik tanah untuk pertanian atau untuk bangunan atau kepentingan lainnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain sebagai berikut, "untuk apakah tanah tersebut digunakan ?" apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus diterapkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewanya.
Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewa atau pemilik mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua atau keras. Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan.
Desa X merupakan salah satu desa di kabupaten Kediri yang masyarakatnya mayoritas bekerja dibidang pertanian begitu juga dengan perangkat desanya yang sering disebut dengan nama Pamong (Panutan Momong). Tetapi kebutuhan akan lahan pertanian tidak di imbangi dengan luas kepemilikan lahan bagi penggarap tanah sehingga mereka mencari jalan agar kebutuhan untuk bercocok tanam terpenuhi, salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan menyewa tanah yang disewakan dan cocok untuk tanaman yang akan mereka tanam.
Namun terlepas dari itu semua setiap orang yang mendapat jabatan sebagai pamong harus dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya. Dalam menjabat sebagai pamong mereka tidak mendapat gaji atau upah dari pemerintah pusat maupun daerah, mereka hanya mendapat jatah tanah bengkok dari desa berupa tanah sawah atau ladang yang luasnya disesuaikan dengan luas tanah kas desa serta jabatan masing-masing pamong desa tersebut, yang tempat letak tanahnya juga berbeda-beda tetapi masih dalam satu desa. Jika jabatan sebagai pamong sudah tidak disandang dikarenakan pensiun atau dicopot dari jabatan maka bengkok tersebut diambil oleh desa dan menjadi tanah kas desa. Tanah bengkok yang didapat oleh pamong statusnya hanya sebagai hak memiliki manfaat atas tanah tersebut.
Dalam konteks hukum pertanahan, hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya. Perkataan "menggunakan" mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bangunan (non pertanian), sedangkan perkataan "mengambil manfaat" mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Tidak semua pamong dapat bercocok tanam dengan baik sehingga mereka lebih merasa untung jika bengkoknya disewakan. Namun dikarenakan menjabat sebagai pamong dan tanah bengkok bukan milik sendiri tentunya ada aturan- aturan dan tatacara menyewakan bengkok tersebut agar tidak disalahgunakan. Peraturan-peraturan tersebut tercantum dalam PERDA yang setiap daerah berbeda dan PERDES yang tentunya merujuk pada peraturan di atasnya.
Jumlah Pamong di Desa X sebagai pelaku sewa tunggu tepatnya 5 orang dan itu dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa, sehingga hal tersebut tidak sesuai seperti yang diamanatkan di dalam PERDA No. 6 Tahun 2006 pasal 23 ayat 3 huruf a. Lama masa sewanya juga lebih dari 2 tahun dengan sistem pembayaran tunai setelah harga dan lama masa sewa disepakati maka uang diberikan. Namun di dalam perjanjian tersebut tidak dijelaskan tanah tersebut akan ditanami tanaman apa saja dan si penyewa tidak bisa langsung mengerjakan tanah tersebut dikarenakan masih ada tanaman milik si penyewa pertama yang masih memiliki hak atas tanah tersebut. Inilah yang disebut penduduk desa sebagai sewa tunggu.
Salah satu faktor pamong desa menyewakan tanah bengkoknya adalah karena hasil yang didapat kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari dan merasa kurang mampu untuk bercocok tanam. Dengan alasan itulah pemilik tanah mencari calon penyewa tanahnya dan menawarkan tanahya untuk disewakan. selain itu kadang penyewa datang sendiri kepada pemilik tanah.
Sewa menyewa merupakan suatu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kehidupan hidup manusia adapun yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah menyerahkan atau memberikan manfaat benda kepada orang lain dengan ganti pembayaran. Penyewa memiliki manfaat benda yang disewa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam naskah perjanjian.
Dalam hal ini, dipilihnya sewa tunggu tanah bengkok untuk dijadikan sebagai objek penelitian yang berdasarkan kenyataan yang ada, terlihat begitu pentingnya pembahasan permasalahan tersebut, sehingga menarik untuk diteliti. Dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan, suatu penelitian dan pengamatan secara intensif terhadap praktek yang dijalankannya. Dengan tema : "TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERDA TERHADAP SEWA TUNGGU TANAH BENGKOK DI DESA X KABUPATEN KEDIRI".

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI PEMBIAYAAN PLAY STATION DI BPR SYARIAH

(KODE : HKM-ISLM-0005) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI PEMBIAYAAN PLAY STATION DI BPR SYARIAH

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah SWT merupakan zat yang Maha Esa. Ia adalah satu-satunya Tuhan dan Pencipta seluruh alam semesta, sekaligus Pemilik, Penguasa serta Pemelihara tunggal hidup dan kehidupan seluruh makhluk yang tiada bandingan dan tandingan, baik di dunia maupun di akhirat. Ia bebas dari segala kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan berbagai kepincangan lainnya serta suci dalam segala hal.
Sementara itu, manusia merupakan makhluk Allah Swt yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik, sesuai dengan hakikat wujud manusia dalam kehidupan di dunia, yakni melakukan tugas kekhalifahan di muka bumi dalam kerangka pengabdian kepada Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Berkaitan dengan ruang lingkup tugas khalifah ini, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al Hajj, 22 ayat 41 : 
Artinya : "orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar".
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia baik aqidah, akhlak maupun syariah. Aqidah sebagai landasan keimanan muslim (tauhid) yang menjiwai syariah (hukum-hukum Islam) dan aturan-aturan moralitas umat (akhlak).
Aqidah dan akhlak bersifat konstan yang keduanya tidak mengalami perubahan apapun dengan berubahnya waktu dan perbedaan tempat. Adapun syariah dibagi menjadi dua yaitu bagian ibadah yang bersifat konstan yakni tidak berubah dan bagian muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliqnya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara terus menerus tugas manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi ini.
Sedangkan muamalah yang merupakan bagian dari syariah selain mengatur bidang sosial lain seperti politik, dan lain-lain juga mengatur tentang berbagai aktivitas perekonomian, mulai jual beli hingga investasi saham. Kesemua tatanan tersebut menunjukkan ajaran Islam yang secara ideologis bertujuan menciptakan kemaslahatan bagi umat Islam. Bagian muamalah ini senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat. Hal ini menunjukkan bahwa selain bersifat universal, bidang muamalah juga bersifat fleksibel.
Salah satu bidang muamalah yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini adalah bidang ekonomi. Di Indonesia sendiri lembaga-lembaga keuangan yang mendukung kemajuan ekonomi telah banyak berdiri, salah satunya adalah perbankan syariah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Persoalan yang melatarbelakangi lahirnya perbankan syariah terutama di Indonesia adalah keprihatinan para tokoh muslim dunia dengan sistem bunga yang diterapkan oleh perbankan konvensional. Oleh karena bunga uang oleh sebagian fuqaha' dikategorikan sebagai riba yang bersifat haram, maka hal itu mendorong beberapa sarjana dan praktisi perbankan muslim di beberapa negara muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia berupaya untuk menemukan sejumlah alat dan cara guna mengembangkan sistem perbankan alternatif yang sesuai dengan prinsip hukum Islam, khususnya prinsip yang terkait dengan pengharaman riba. Sistem perbankan dalam Islam tersebut didasarkan pada konsep pembagian keuntungan maupun kerugian. Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil resiko. Bank akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal mereka.
Pada awalnya, ketika bank Islam mulai mendapat perhatian masyarakat muslim, pembiayaan yang pertama kali muncul adalah pembiayaan murabahah. Hingga saat ini pembiayaan tersebut merupakan pembiayaan yang dominan bagi perbankan syariah karena pembiayaan tersebut cenderung memiliki resiko lebih kecil dan lebih mengamankan bagi para pemilik modal yakni nasabah penabung.
Transaksi murabahah merupakan transaksi yang lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Murabahah merupakan suatu sistem penjualan barang yang harga jualnya lebih tinggi dibanding harga beli barang itu. Selisih tersebut merupakan keuntungan bagi penjual yang besarnya keuntungan itu disepakati bersama antara penjual dan pembeli. Sedangkan murabahah menurut definisi perbankan syariah adalah suatu perjanjian pembiayaan dimana bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran ditangguhkan. Dalam prakteknya, pembiayaan murabahah ini dilakukan dengan cara bank membeli atau memberi kuasa pada nasabah untuk membelikan barang yang diperlukan nasabah atas bank, pada saat yang bersamaan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sebesar harga pokok ditambah sejumlah keuntungan atau margin untuk dibayar oleh nasabah dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antar bank dan nasabah.
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh barang yang dibutuhkan, tanpa menyediakan uang tunai, sebab bank telah memberikan pembiayaan untuk pengadaan barang. Mekanisme pembiayaan ini diberikan dalam jumlah yang besar untuk keperluan pengadaan dan dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu disusun proyeksi arus kas yang mencakup biaya dan pendapatan, sehingga akan diketahui jumlah dana yang tersedia. Konsep murabahah ini berdasarkan hadis Nabi : 
Artinya : Dari Suhaib ar Rumi r.a, Rasulullah bersabda : tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan yaitu jual secara tangguh, muqaradhah (murabahah), dan mencampur tepung dengan gandum untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.
Pada prinsipnya, dalam menyalurkan pembiayaan murabahah pihak bank syariah harus mempunyai keyakinan dulu terhadap kemampuan dan kesanggupan nasabah dalam mengembalikan pinjaman termasuk mark up (laba). Bank syariah juga harus memperhatikan barang yang diperlukan oleh nasabah. Apakah barang tersebut termasuk barang yang diperbolehkan dalam Islam atau sebaliknya. Karena bagaimanapun juga, prinsip-prinsip Islam dalam melakukan akad harus tetap terjaga kesempurnaannya. Terkait dengan hal tersebut, para ulama' sepakat bahwa syarat barang yang dijadikan obyek dalam akad harus bersih/suci. 
Larangan memperjualbelikan barang haram tersebut bukan hanya meliputi barang yang haram karena zatnya tetapi juga karena sifatnya misalnya jual beli dengan melempar batu.
Dalam dunia perbankan syariah di Indonesia telah ada kesepakatan tidak tertulis mengenai obyek pembiayaan bank syariah. yakni, bank syariah hendaknya menghindari pembiayaan pada bidang usaha yang memproduksi barang yang dianggap makruh, dalam fiqh misalnya perusahaan rokok, yang oleh para ulama' rokok itu digolongkan benda yang makruh karena membawa mudarat yang besar dari sisi kesehatan bagi seseorang yang mengkonsumsinya.
Sehubungan dengan hal di atas, barang yang dijadikan obyek dalam pembiayaan murabahah dalam penelitian ini adalah play station. Play station sendiri merupakan seperangkat alat yang digunakan untuk permainan. Umumnya usaha semacam ini membutuhkan seperangkat alat yang disebut dengan analog controller/joystick dan juga beberapa televisi. Jenis permainan ini sangat digemari oleh anak-anak juga orang dewasa karena biaya sewa yang ditetapkan oleh pemilik play station cukup terjangkau yaitu berkisar antara Rp 2000 per jam. Dengan biaya itu penyewa play station bisa menikmati semua jenis permainan yang disediakan pemilik play station.
Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN PLAY STATION DI BPR SYARIAH".

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN IJARAH

(KODE : HKM-ISLM-0004) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN IJARAH

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang bersifat universal yang memuat berbagai persoalan kehidupan manusia, baik diungkapkan secara global maupun secara rinci. Adapun substantif dari ajaran Islam yang diturunkan Allah S.W.T. kepada Rasulullah S.A.W., terbagi kepada tiga pilihan, yakni aqidah, syariah dan akhlak.
Selain itu, ajaran Islam juga mengatur perilaku manusia, baik dalam kaitannya sebagai mahluk dengan Tuhannya maupun kaitannya sebagai sesama mahluk, maka sebagai konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa fiqih pun terbagi menjadi dua, yakni fiqih ibadah dan fiqih mu'amalah. Jadi fiqih ibadah adalah tafsiran ulama atas perintah dan larangan dalam bidang ibadah, sedangkan fiqih mu'amalah adalah tafsiran ulama atas perintah dan larangan dalam bidang mu'amalah. Ibadah adalah syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan mu'amalah adalah syariah yang mengatur hubungan antara antar sesama manusia.
Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan. Sebagai al-din (way of life) yang datang dari Allah, Pencipta manusia, tentunya syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan syariah Islam ini, para ulama dan cendekiawan muslim memainkan peranan yang amat penting agar ajaran Islam itu benar- benar dapat dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada Allah dan RasulNya.
Dewasa ini masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth). Pandangan ini berasal dari para pemikir Barat. Meskipun demikian, tidak sedikit intelektual muslim yang juga meyakininya.
Kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini hampir dapat dipastikan timbul karena kesalahan ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan sebagai salah satu mayor penggerak roda perekonomian.
Manusia adalah khalifah dimuka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya.
Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (mu'amalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan khaliq-Nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-NYA dimuka bumi ini. Adapun muamalah diturunkan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial.
Universal bermakna syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai masa yang akan datang. Universal ini tampak jelas terutama pada bidang mu'amalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, mu'amalah tidak membeda-bedakan antara muslim dan non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali : 
"Dalam bidang mu'amalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan mereka adalah hak kita".
Analisa yang dikemukakan oleh banyak pihak, terutama para pengamat ekonomi mengungkapkan bahwa krisis ekonomi yang mendera perekonomian nasional adalah akibat kegagalan sektor usaha besar yang selama ini banyak mendapat proteksi dari pemerintah. Perusahaan -perusahaan besar, tidak cukup untuk kuat pondasinya untuk bertahan dari terpaan badai krisis yang terjadi. Mereka mengalami kebangkrutan karena memang selama ini mereka menggantungkan sumber pendanaan pada faktor eksternal.
Dengan semakin berkembangnya perekonomian suatu negara, semakin meningkat pula permintaan/kebutuhan pendanaan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Namun, dana pemerintah yang bersumber dari APBN sangat terbatas untuk menutup kebutuhan dana diatas, karenanya pemerintah menggandeng dan mendorong pihak swasta untuk ikut serta berperan dalam membiayai pembangunan potensi ekonomi bangsa.
Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam, telah lama mendambakan kehadiran sistem lembaga keuangan yang sesuai tuntutan kebutuhan tidak sebatas finansial namun juga tuntutan moralitasnya.
Dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan serta dikeluarkannya fatwa bunga bank haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2003 menyebabkan banyak bank yang menjalankan prinsip syariah. Baik dengan melakukan konversi system perbankan dari konsep konvensional menjadi syariah, ataupun pembukuan cabang syariah oleh bank-bank konvensional maupun pendirian BPRS. Hal ini dilakukan karena bank syariah terbukti memiliki berbagai keunggulan dalam mengatasi dampak krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, serta mempunyai potensi pasar yang cukup besar, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dan masih banyaknya kalangan umat Islam yang enggan berhubungan dengan perbankan yang menggunakan sistem ribawi.
Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam.
Dalam ilmu ekonomi konvensional, motif aktivitas ekonomi mengarah kepada pemenuhan keinginan (wants) individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan faktor faktor-produksi yang terbatas. Akibatnya, masalah utama ekonomi konvensional adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices).
Dalam Islam, motif aktivitas ekonomi lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar (needs) yang tentu ada batasnya, meskipun bersifat dinamis sesuai tingkat ekonomi masyarakat pada saat itu. Selain itu, kepuasan dalam Islam tidak hanya terbatas pada benda-benda konkret (materi), tetapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal saleh yang dilakukan manusia. Oleh karena itu, perilaku ekonomi dalam Islam tidak didominasi oleh nilai alami yang dimiliki oleh setiap individu manusia, tetapi ada nilai di luar diri manusia yang kemudian membentuk perilaku ekonomi mereka, yaitu Islam itu sendiri yang diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.
Para pelopor pemikiran ekonomi Islam mengembangkan berbagai aturan untuk menjalankan perbankan dan keuangan menurut prinsip syariah. Salah satu keistimewaan hukum Islam adalah bahwa ia menjadi manifestasi kehendak Tuhan yang pada waktu tertentu dalam sejarah, disampaikan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad S.A.W., karena itu hukum Islam tidak bersandar pada otoritas pembuat hukum dunia manapun.
Definisi akad ijarah adalah pemanfaatan sesuatu yang dikehendaki dan diketahui, dengan memungut imbalan (uang sewa) yang ditentukan, dan penyewa boleh menggantikan pemanfaatan tersebut kepada orang lain. Ada beberapa ketentuan dalam ijarah, pemanfaatan yang berupa pengambilan/perusahaan bendanya adalah tidak termasuk ijarah yang sah, seperti menyewa kebun untuk diambil buahnya, menyewa kambing untuk diambil air susunya, dan lain sebagainya yang sepadan, juga menyewa kambing untuk diambil bulu dan anaknya, semua itu termasuk ijarah yang batal (tidak sah).
Disamping itu, karena ijarah itu merupakan suatu akad, maka segala hal yang disyaratkan yang menyangkut upah/uang sewa harus dipenuhi, apakah ditentukan dengan pembayaran kontan/ditentukan dengan pembayaran bertempo. Sebab orang-orang mukmin itu harus menepati syarat-syarat yang mereka tentukan sendiri.
Ijarah didefinisikan sebagai hak memanfaatkan asset dengan membayar imbalan tertentu. Hak kepemilikan tidak berubah, hanya hak guna saja yang berpindah dari yang menyewakan kepada penyewa.
Para ulama fiqih sepakat bahwa akad ijarah merupakan akad yang bersifat mengingat (lazim) karena ijarah merupakan akad tukar menukar (mu'awadlah) antara harta dengan manfaat. Sifat mengikat (luzum) tersebut menurut para ulama fiqih merupakan prinsip dasar dari akad tukar menukar. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah S.W.T : "Hai orang-orang yang beriman penuhilah atau laksanakan akad-akad kalian". Ayat ini menunjukkan wajibnya memenuhi akad, karenanya apabila salah satu pihak membatalkan akad maka berarti tidak terlaksananya akad tersebut. Walaupun demikian para ulama berpendapat bahwa ijarah bisa dibatalkan secara umum karena adanya cacat atau halangan-halangan (al-'adzar).
Dalam transaksi ijarah, bank menyewakan suatu asset yang sebelumnya telah dibeli oleh bank kepada nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah sewa yang telah disetujui di muka.
Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah lease contract dimana suatu bank/lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment) kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah pasti ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge).
Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat. Jadi dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaan terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka topik ini jadi menarik dibahas, alasan inilah yang mendorong penulis untuk mengajukan penulisan skripsi dengan judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN IJARAH.