Search This Blog

Showing posts with label skripsi kebidanan. Show all posts
Showing posts with label skripsi kebidanan. Show all posts
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ASI DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA IBU MENYUSUI DI KECAMATAN X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ASI DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA IBU MENYUSUI DI KECAMATAN X

(KODE : KEBIDANN-0031) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ASI DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA IBU MENYUSUI DI KECAMATAN X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008).
Indikator dalam menentukan derajat kesehatan antara lain angka kematian bayi, angka kesakitan bayi, status gizi, dan angka harapan hidup waktu lahir. Tingginya angka kematian bayi di Indonesia yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup disebabkan karena penyakit infeksi 42 % dan kekurangan gizi 18,4 % pada tahun 2007 (Menkes RI, 2007). Beberapa penyakit yang saat ini masih menjadi penyebab kematian terbesar dari bayi diantaranya penyakit diare, tetanus, gangguan perinatal, dan radang saluran napas bagian bawah (Hidayat,2008).
Angka kesakitan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahan tubuh bayi dan balita. Badan bayi, baru akan memproduksi sendiri immunoglobulin secara cukup pada waktu mencapai usia sekitar 4 bulan. Makanan utama dan pertama bagi bayi adalah air susu ibu. ASI tidak dapat digantikan oleh susu manapun mengingat komposisi ASI yang sangat ideal dan sesuai kebutuhan bayi di setiap saat serta mengandung zat kekebalan yang penting mencegah timbulnya penyakit (Juliani, 2009).
Kolostrum sangatlah mudah dicerna sehingga merupakan makanan bayi yang sempurna. Meskipun jumlahnya sedikit, hanya beberapa sendok saja tetapi kaya akan nutrisi yang terkonsentrasi di dalamnya untuk bayi baru lahir. Kolostrum mengandung antibodi dalam jumlah besar yang disebut immunoglobulin sekretorik A (IgA) yang melindungi bayi pada tempat-tempat yang cenderung diserang kuman, yaitu selaput lendir di tenggorokan, paru dan usus (Baskoro, 2008).
Begitu besar peranan kolostrum bagi bayi tetapi berdasarkan survei pendahuluan di daerah kecamatan Kerjo yang merupakan daerah pedesaan yang tingkat pendidikannya masih menengah ke bawah, 6 orang dari 10 orang ibu menyusui tidak memberikan kolostrum pada bayinya secara utuh yaitu sejak bayi lahir sampai 3 hari pertama karena ibu merasa bayinya akan kelaparan dikarenakan ASI belum keluar atau belum lancar, berkembangnya informasi-informasi yang tidak benar, ditambah dengan adanya mitos-mitos tentang menyusui dapat berakibat kurangnya rasa percaya diri sehingga dapat menurunkan semangat mereka untuk menyusui dan memberikan kolostrum pada bayinya. Karena latar belakang itulah maka penulis tertarik untuk meneliti masalah "Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang ASI dengan Pemberian Kolostrum pada Ibu Menyusui di Kecamatan X".

B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan tingkat pengetahuan tentang ASI dengan pemberian kolostrum pada ibu menyusui di Kecamatan X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan tingkat pengetahuan tentang ASI dengan pemberian kolostrum pada ibu menyusui di Kecamatan X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang ASI pada ibu menyusui di Kecamatan X.
b. Mengetahui perilaku pemberian kolostrum oleh ibu menyusui di Kecamatan X.
c. Mengetahui penyebab kolostrum tidak diberikan.
d. Membuktikan adakah hubungan tingkat pengetahuan tentang ASI dengan pemberian kolostrum.

D. Manfaat
Manfaat Aplikatif
1. Masyarakat
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ASI sehingga dapat mendukung kelancaran pemberian kolostrum.
2. Tenaga Kesehatan
Sebagai masukan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pemberian kolostrum.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TENTANG KOLOSTRUM DENGAN PEMBERIANNYA DI WILAYAH PUSKESMAS X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TENTANG KOLOSTRUM DENGAN PEMBERIANNYA DI WILAYAH PUSKESMAS X

(KODE : KEBIDANN-0030) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TENTANG KOLOSTRUM DENGAN PEMBERIANNYA DI WILAYAH PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Masa nifas (Puerperium) merupakan awal dari perawatan lebih lanjut bagi wanita sesudah melahirkan anak. Perawatan pada masa nifas sangat penting karena periode ini merupakan masa kritis bagi ibu maupun bayinya. Pada keadaan ini ada perubahan-perubahan yang dialami oleh ibu, seperti perubahan fisik, perubahan psikis, involusi uterus dan pengeluaran lochea, serta laktasi/pengeluaran ASI (Saifuddin, 2000).
Laktasi adalah proses alamiah yang merupakan wujud cinta kasih yang diberikan oleh seorang ibu kepada bayinya. Laktasi merupakan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi, selain itu proses laktasi dapat membangun hubungan intim dan hangat antar ibu dan anaknya serta masa yang penting untuk kelangsungan hidup bayi (Suryoprajogo, 2009).
Menyusui adalah suatu proses yang terjadi secara alamiah, meskipun demikaian menyusui juga dipelajari terutama oleh ibu yang pertama kali memulai menyusui anak agar mengetahui cara menyusui yang benar dan manfaat dari ASI atau kolostrum yang pertama kali keluar. Serangkaian proses turut memberi andil dalam kelancaran pemberian ASI, mulai persiapan fisik sampai batin calon ibu dan juga berbagai langkah dan perlekatan yang tepat agar bisa menyusui dengan efektif di awal bayi menyusui (Depkes, 2005).
ASI merupakan makanan yang paling baik untuk bayi, namun sering ibu-ibu tidak berhasil menyusui atau menghentikan menyusui lebih dini dari semestinya. Pengetahuan merupakan hal yang diperlukan pada masa nifas ini, khususnya pengetahuan tentang manfaat kolostrum guna tercapainya keberhasilan dalam menyusui serta menghindari kesalahpahaman tentang nutrisi bagi bayi tersebut (Suherni, 2009).
Pada awal pemberian makanan yaitu pada hari-hari pertama ASI dikeluarkan akan keluar cairan yang berwarna kuning atau jernih, merupakan makanan bayi yang paling baik mutunya (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti diperoleh data dari Puskesmas X pada bulan Mei 2009 terdapat 33 ibu post partum sebanyak 7 orang (21,2%) tidak memberikan kolostrum pada bayinya karena larangan orangtua dan karena kolostrum berbau dan ibu post partum belum mendapatkan informasi tentang kolostrum dari petugas secara optimal.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang "Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Kolostrum dengan Pemberiannya di Puskesmas X”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: "Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang kolostrum dengan pemberiannya di wilayah puskesmas X Kabupaten X".

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang kolostrum dengan pemberiannya.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan gambaran tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang kolostrum.
b. Untuk mendapatkan gambaran tentang pemberian kolostrum pada ibu menyusui
c. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang kolostrum dengan pemberiannya

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai kolostrum dan pemberian kolostrum.
2. Manfaat Aplikatif
Memberikan kesempatan pada peneliti untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh di pendidikan.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI BPS X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI BPS X

(KODE KEBIDANN-0029) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI BPS X




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kejadian anemi di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini terbukti menurut penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu. Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain (Ridwanamirudin, XXXX).
Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%, hal ini semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara yang sudah maju. Menurut penelitian yang dilakukan Fakultas Kedokteran Udayana di Bali menunjukkan 63,5% ibu hamil di Indonesia terkena anemia (Depkes, XXXX). Sedangkan kejadian anemi pada ibu hamil di Jawa Tengah sebesar 58,1 gr % (Amin, XXXX).
Upaya penanggulangan anemia telah banyak dilakukan, tetapi belum menunjukkan penurunan yang berarti. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar ibu belum menyadari pentingnya pencegahan anemia serta bahaya yang akan ditimbulkan. Salah satu penanganannya adalah perlu melakukan analisis cermat perubahan perilaku pada sasaran yang lebih dini, yaitu penilaian tiga bentuk operasional perilaku berupa pengetahuan, sikap dan praktek (PSP) yang ada di masyarakat (BKKBN, XXXX).
Penelitian sejenis berjudul Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Dengan Pencegahan Anemia Selama Kehamilan dari Muzayyaroh, Penelitian ini menggunakan jenis Cross Sectional dengan 30 sampel penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil dengan pencegahan anemia selama kehamilan. Pada 30 responden diperoleh pengetahuan baik sebesar 46,7%, cukup baik sebesar 26,7 % dan kurang baik sebesar 30%. Sedangkan responden yang mempunyai pencegahan anemia dalam katagori baik adalah 43,3%, cukup baik sebesar 26,7%, dan kurang baik sebesar 30%. Teknik pengambilan data menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Keadaan tersebut memungkinkan ibu hamil mengalami anemia karena kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang anemia. Oleh karena itu, pencegahan terhadap anemia sangat diperlukan untuk menekan angka kejadian anemia.
Sumber data yang didapat dari BPS (Bidan Praktek Swasta) X menyebutkan prevalensi anemia ibu hamil pada tahun XXXX sebesar 60%. Anemia paling sering dijumpai pada ibu hamil disebabkan karena defisiensi zat besi (Manuaba, XXXX).
Berbagai alasan di atas menjadi suatu ketertarikan peneliti untuk melakukan penilitian tentang hubungan tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil di BPS X tahun XXXX?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil di BPS X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan tentang anemia pada ibu hamil di BPS X
b. Mengidentifikasi kejadian anemia pada ibu hamil di BPS X
c. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia denagan kejadian anemia pada ibu hamil di BPS X

D. Manfaat Penelitian
Upaya menurunkan anemia dengan cara meningkatkan pengetahuan bagi ibu hamil sehingga ada sikap positif ibu hamil dalam upaya pencegahan anemia.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH ANEMIA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SMP X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH ANEMIA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SMP X

(KODE KEBIDANN-0028) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH ANEMIA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA DI SMP X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, XXXX).
Akan tetapi masih banyak masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satunya adalah anemia. Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah sehingga mengakibatkan fungsi dari Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi karena kekurangan zat besi. Persoalan zat besi masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia karena kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Diperkirakan 20% sampai 80% anak di Indonesia menderita anemia gizi besi.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga di Indonesia tahun XXXX prevalensi anemia pada remaja sekitar 26,5%. Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia tahun XXXX-XXXX menunjukkan 3,5 juta remaja dan WUS menderita anemia gizi besi (Sutaryo dalam Republika, XXXX).
Dampak yang ditimbulkan anemia gizi besi ini, terutama pada anak sekolah antara lain adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Bahkan anemia dapat menurunkan produktivitas kerja hingga 20%. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X.

B. Rumusan Masalah
Seberapa besar pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui seberapa besar prosentase motivasi belajar siswa kelas 1 yang mengalami anemia di SMP X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi institusi sekolah agar dapat lebih memperhatikan siswanya yang menderita anemia.
b. Sebagai masukan bagi orang tua agar dapat lebih memperhatikan kesehatan anaknya.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PIJAT BAYI TERHADAP PRAKTIK PIJAT BAYI DI POLINDES X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PIJAT BAYI TERHADAP PRAKTIK PIJAT BAYI DI POLINDES X

(KODE KEBIDANN-0027) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PIJAT BAYI TERHADAP PRAKTIK PIJAT BAYI DI POLINDES X




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seorang anak memiliki nilai yang sangat tinggi untuk keluarga dan bangsa. Setiap orang tua mengharapkan anaknya dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan tangguh. Tercapainya pertumbuhan dan perkembangan yang optimal merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan, perilaku, dan rangsangan atau stimulasi yang berguna (Dasuki, XXXX).
Ikatan batin yang sehat sangat penting bagi anak terutama dalam usia 2 tahun pertama yang akan menentukan perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Selain faktor bawaan yang dianugerahkan Tuhan sejak lahir, stimulus dari luar juga berperan bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan emosional anak (Wibowo, XXXX).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK/III/XXXX tentang Standar Profesi Bidan menyebutkan bahwa bidan mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pemantauan dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak. Salah satu bentuk stimulasi tumbuh kembang yang selama ini dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melakukan pijat bayi.
Pijat bayi adalah pemijatan yang dilakukan dengan usapan-usapan halus pada permukaan kulit bayi, dilakukan dengan menggunakan tangan yang bertujuan untuk menghasilkan efek terhadap syaraf, otot, sistem pernafasan serta sirkulasi darah dan limpha (Subakti dan Rizky, XXXX).
Sentuhan dan pijat pada bayi setelah kelahiran dapat memberikan jaminan adanya kontak tubuh berkelanjutan yang dapat mempertahankan perasaan aman pada bayi. Laporan tertua tentang seni pijat untuk pengobatan tercatat di Papyrus Ebers, yaitu catatan kedokteran zaman Mesir Kuno. Ayur-Veda buku kedokteran tertua di India (sekitar 1800 SM) yang menuliskan tentang pijat, diet, dan olah raga sebagai cara penyembuhan utamamasa itu. Sekitar 5000 tahun yang lalu para dokter di Cina dari Dinasti Tang juga meyakini bahwa pijat adalah salah satu dari 4 teknik pengobatan penting (Roesli, XXXX).
Setelah melakukan studi pendahuluan pada 20 responden di Polindes Harapan Bunda, masih banyak orang tua bayi yang belum mengetahui manfaat lebih jauh dari pijat bayi dan belum memahami bagaimana memijat bayi yang benar sehingga tidak bisa melakukan pemijatan secara mandiri. Alasan orang tua memijatkan bayinya karena bayi sedang sakit batuk, rewel dan terjatuh. Maka dari latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi di Polindes X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Adakah pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi di polindes X?"

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi di polindes X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden yang melakukan praktik pijat bayi baik sebelum dan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan.
b. Mengetahui praktik pijat bayi sebelum diberikan pendidikan kesehatan.
c. Mengetahui praktik pijat bayi setelah diberikan pendidikan kesehatan.

D. Manfaat
1. Teori
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam ruang lingkup kesehatan anak tentang pijat bayi.
2. Aplikatif
a. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana kepustakaan dan informasi ilmiah tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi.
b. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang manfaat dari pijat bayi serta cara memijat bayi yang benar sehingga dapat memotivasi orang tua untuk meningkatkan kesehatan bayinya.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti menjadikan penelitian ini sebagai acuan pembuatan karya tulis ilmiah yang lebih baik di masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Zulaika (XXXX) dengan judul "Pengaruh Pijat Bayi Terhadap Berat Badan Neonatus di RB Y". Penelitian Zulaika (XXXX) menggunakan desain penelitian Quasi Eksperiment dengan rancangan Rendomized Control Group Pretest and Postest, Analisa data menggunakan t-test.
Perbedaan penelitian Zulaika (XXXX) dengan penelitian ini yaitu terletak pada variabel bebas dan variabel terikat. Pada penelitian ini menggunakan rancangan One Group Pretest-Postest.
PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X

PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X

(Kode KEBIDANN-0026) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mutu Pelayanan kesehatan adalah Penampilan yang pantas dan sesuai (yang sesuai dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan, ketidakmampuan dan kekurangan gizi. (Roemer dan Aguilar, 1988)
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan masyarakat melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan dan kebutuhan pemberi pelayanan, pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien. Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan panduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care). (Sugito, 2001)
Indikator utama untuk mengetahui standar rumah sakit adalah kepuasan pasien terhadap pelayanan dari rumah sakit. Pelayanan yang baik dari suatu rumah sakit akan membuktikan rumah sakit tersebut bermutu baik. Ini dapat dilihat dari penanganan pasien yang cepat, tepat, dan ramah tamah dari petugas kesehatan. ( Eravianti, 2009)
Pada evaluasi mutu pelayanan rawat inap di Bangsal Anggrek RSUD Karanganyar yang dilakukan oleh Purwoko tahun 2009terdapat 52,94% pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Salah satu cara untuk menarik pasien dan memenangkan persaingan adalah dengan cara memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan yang dapat memberikan kepuasan. Kepuasan memberikan pengaruh terhadap pasien untuk mengulang untuk menggunakan jasa Rumah Sakit kembali. ( Kotler, 2005)
Peran Petugas Kesehatan adalah salah satu penyedia pelayanan kesehatan khususnya di bidang keperawatan, dituntut mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat memberi kepuasan pasien serta keluarganya dalam batas standar pelayanan profesional. ( Purwoko, 2009)
Pada penelitian yang sama dilakukan oleh Kastanto pada tahun 2005 tentang pengaruh pelayanan medis dan pelayanan non medis terhadap kepuasan pasien di Bangsal Dahlia pada Badan Rumah Sakit Umum Daerah X didapatkan hasil 46,5% pasien tidak puas. Salah satu yang mempengaruhi ketidak puasan pasien adalah segi pelayanan medis.
Rumah Sakit Umum Daerah X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C. Karena letak yang strategis Rumah Sakit ini mudah dijangkau oleh masyarakat. Selain itu Rumah Sakit X juga sebagai Rumah Sakit rujukan terdekat.
Dari tahun ke tahun Rumah Sakit X sudah mengalami peningkatan pelayanan kesehatan dengan menambah fasilitas serta jumlah tenaga kesehatan. Tetapi semua ini tidak cukup jika masih banyak aspek penting yang belum ditingkatkan, seperti keramahan petugas, perawat dan dokter yang kurang komunikatif terhadap pasien dan lambannya penanganan kegawat daruratan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan di Rumah Sakit Umum Daerah X.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien di Bangsal Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah X?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan kepuasan pasien.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan.
d. Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang bermutu yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

D. Manfaat
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Teoritik
Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang mutu pelayanan serta kepuasan pasien di Rumah Sakit.
2. Aplikatif
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dalam menentukan mutu pelayanan bagi Rumah Sakit Umum Daerah X di masa mendatang.
b.Bagi Pasien
Untuk memberikan masukan pada pasien bagaimana memilih Rumah Sakit yang bermutu/berkualitas.
c.Bagi Pihak Lain
Sebagai penambah pengetahuan dan bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X

(Kode KEBIDANN-0025) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan "Keluarga Berkualitas Tahun 2015". Keluarga yang berkualitas adalah yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).
Program pelayanan keluarga berencana (KB) mempunyai arti penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sejahtera, disamping program pendidikan dan kesehatan. Kesadaran mengenai pentingnya kontrasepsi di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2015 (BKKBN, 2008).
Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warming, keterpurukan ekonomi, masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Jumlah penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai, justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (BKKBN, 2008).
Fakta yang perlu diperhatikan adalah pola kecenderungan pemakaian kontrasepsi di Indonesia. Pemakaian metode kontrasepsi suntik memperlihatkan kecenderungan peningkatan pada beberapa kurun waktu terakhir ini. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, pola pemakaian kontrasepsi terbesar yaitu suntik sebesar 31,6 %, pil sebesar 13,2 %, IUD sebesar 4,8 %, implant 2,8 %, kondom sebesar 1,3 %, kontap wanita (Medis Operasi Wanita-MOW) sebesar 3,1 % dan kontap pria (Medis Operasi Pria-MOP) sebesar 0,2 %, pantang berkala 1,5 %, senggama terputus 2,2 % dan metode lainnya 0,4 %. Terjadi kenaikan pemakaian metode kontrasepsi suntik dari tahun 1991 sampai 2007. Pada tahun 1991 terdapat 11,7 %, 1994 menjadi 15,2 %, 1997 menjadi 21,1 %, 2003 menjadi 27,8 % dan 2007 mencapai 31,6 % (BKKBN, 2008).
Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2005 di X terdapat 37.838 peserta aktif KB yang terdiri dari akseptor KB IUD (10.225), akseptor KB MOP (93), akseptor KB MOW (169), akseptor KB implan (574), akseptor KB suntik (18.016), akseptor KB pil (4.628), dan akseptor KB kondom (2.633).
Saifuddin (2003) menyatakan bahwa pada umumnya akseptor lebih memilih metode kontrasepsi suntik karena alasan praktis yaitu sederhana dan tidak perlu takut lupa. Kontrasepsi suntik memiliki efektifitas yang tinggi bila penyuntikannya dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Ketepatan waktu untuk suntik kembali merupakan kepatuhan akseptor karena bila tidak tepat dapat mengurangi efektifitas kontrasepsi tersebut. Kegagalan dari metode kontrasepsi suntik disebabkan karena keterlambatan akseptor untuk melakukan penyuntikan ulang. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tentang kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Acetate (DMPA).
Jumlah akseptor kontrasepsi suntik di Rumah Bersalin (RB) X pada bulan Januari sampai Mei 2009 sebanyak 1.223 akseptor, sedangkan akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi DMPA 594 akseptor. Rata-rata jumlah akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi suntik DMPA setiap bulan adalah 112 akseptor. Dari 594 akseptor kontrasepsi suntik DMPA terdapat 62 akseptor (10,44%) yang melakukan kunjungan ulang tidak sesuai pada jadwal yang telah ditentukan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti ingin mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kontrasepsi Suntik DMPA dengan Kepatuhan Jadwal Penyuntikan Ulang di Rumah Bersalin (RB) X.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA.
b. Untuk mengetahui kepatuhan jadwal penyuntikan ulang pada akseptor kontrasepsi suntik DMPA.
c. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Menambah wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Asetat (DMPA).
2. Manfaat aplikatif
a. Bagi profesi kesehatan
Sebagai masukan bagi profesi kesehatan umtuk memberikan konseling pada akseptor yang menggunakan kontrasepsi suntik DMPA agar melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal yang telah ditentukan.
b. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan akseptor kontrasepsi suntik DMPA terhadap jadwal penyuntikan ulang.
c. Bagi masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya akseptor kontasepsi suntik DMPA untuk melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DI DESA X

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DI DESA X

(Kode KEBIDANN-0024) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI) DI DESA X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan pertama yang terbaik bagi bayi hingga usia 4-6 bulan. Setelah itu bayi harus diperkenalkan dengan ragam makanan padat, meski ASI masih tetap diberikan hingga anak berumur dua tahun bahkan lebih. Pemenuhan kebutuhan gizi terutama diperlukan sejak masa janin sampai anak berusia lima tahun. Pemenuhan gizi pada masa rawan ini sangat menentukan kualitas seseorang ketika mencapai usia reproduksi (Krisnatuti, 2000).
Agar pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) berjalan baik maka diperlukan pengetahuan dan perilaku yang baik pula mengenai MP-ASI. Dan salah satu faktor intern yang mempengaruhi terbentuknya perilaku manusia adalah pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan pada dasarnya adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Perilaku kesehatan dipengaruhi pula oleh pengetahuan sebagai faktor predisposisi. Jika pengetahuan tentang MP-ASI baik diharapkan pula pada akhirnya perilaku terhadap pemberian MP-ASI juga baik (Notoatmodjo, 2007).
Pemberian MP-ASI meliputi terutama mengenai kapan MP-ASI harus diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya (Krisnatuti, 2000). Waktu yang tepat untuk pemberian MP-ASI adalah usia 4-6 bulan (Lawson, 2003). Cara pemberian pertama kali berbentuk cair menjadi lebih kental secara bertahap (Octopus, 2006). Jadi pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas ataupun kuantitas, penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Graimes, 2008).
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, menyebutkan bahwa kurang lebih 40% bayi usia kurang dari dua bulan sudah diberi MP-ASI. Disebutkan juga bahwa bayi usia nol sampai dua bulan mulai diberikan makanan pendamping cair (21,25%), makanan lunak/lembek (20,1%), dan makanan padat (13,7%). Pada bayi tiga sampai lima bulan yang mulai diberi makanan pendamping cair (60,2%), lumat atau lembik (66,25%), dan padat (45,5%) (anonim2, 2009). Dan dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, masalah pemberian MP-ASI yang tidak tepat juga terjadi di Desa X Kecamatan X. Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan terdapat ± 52% bayi kurang dari dua bulan sudah diberi makanan selain ASI. Salah satu penyebabnya, mungkin karena Ibu tidak mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga mereka memberikan MP-ASI terlalu dini dan tidak bervariasi. Bahkan terdapat beberapa balita dengan kasus berat badan kurang berdasarkan umur. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah "Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) di Desa X Kecamatan X?".

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.
Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.
2. Tujuan Khusus.
a. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu di Desa X Kecamatan X.
b. Mengetahui bagaimana waktu, cara, syarat, tujuan, manfaat dan jenis serta macam pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis.
a. Bagi Tenaga Kesehatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada tenaga kesehatan khususnya bidan untuk meningkatkan penyuluhan tentang makanan pendamping ASI di masyarakat.
b. Bagi Kader Kesehatan dan Masyarakat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi kader kesehatan dan masyarakat tentang manfaat pemberian makanan pendamping ASI yang baik dan benar.

E. Keaslian Penelitian
Di Instansi D IV Kebidanan Universitas X, Karya Tulis tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI pernah dilakukan yaitu, Hubungan Pendidikan Ibu dengan Pemberian Makanan Pendampimg ASI di Desa Trosemi Kecamatan Gatak Kabupaten X, oleh Susilowati, 2007. Di instansi lain juga pernah melakukan studi kasus serupa yaitu Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Makanan Tambahan dengan Pertumbuhan Anak Balita di Desa Jetis Klaten Selatan, oleh Indarwati Budiastuti, Fakultas kedokteran X, 1999.
Karya tulis ini berbeda dengan karya tulis sebelumnya, yaitu dalam hal tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian dan analisa data yang digunakan.
HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)

(Kode KEBIDANN-0023) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Beberapa saat sebelum mulai menstruasi, sejumlah wanita biasanya mengalami rasa tidak enak. Mereka biasanya merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut sebagai kumpulan gejala sebelum menstruasi atau istilah populernya Premenstrual Syndrome (PMS) (Burns, 2000). PMS merupakan masalah kesehatan umum yang paling banyak dilaporkan oleh wanita usia reproduktif (Freeman, 2007).
Perkiraan untuk prevalensi PMS adalah sekitar 5% (Glasier, 2006). Tingginya masalah PMS pada wanita akan berdampak pada produktivitas kerja. Gejala-gejala tersebut ada yang bersifat cukup berat sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari (Mason, 2008). Gejala fisik dan psikologis yang sering dilaporkan adalah rasa kembung, pembengkakan dan nyeri payudara, ketegangan, depresi, mood yang berubah-ubah dan perasaan lepas kendali (Glasier, 2006).
Penyebab PMS belum dapat diketahui secara pasti. Namun ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa PMS disebabkan antara lain karena faktor hormonal yakni ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Penyebab lain yang kemungkinan terjadi yaitu berhubungan dengan faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita serta kekurangan zat-zat gizi (Karyadi, 2008).
Dalam suatu penelitian pada tahun 2005 yang berjudul Calcium and Vitamin D Intake and Risk of Incident Premenstrual Syndrome yang melibatkan 1057 wanita, setelah dikelompokkan sesuai usia, paritas, status merokok, dan faktor resiko lain, menunjukkan tingkat konsumsi tinggi kalsium (p=0,02, OR=0,703) dan vitamin D yang relatif tinggi dapat mengurangi terjadinya PMS (p=0,01, OR= 0,597) (Hankinson, 2005).
Menurut Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN (2005), wanita usia subur (wanita usia reproduktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda. Terdapat fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freeman, 2007).
Perempuan dengan pendidikan formal yang lebih tinggi, misalnya mahasiswi, cenderung akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, sehingga akan lebih mampu serta mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi (Anne, 1999).
Seorang mahasiswi kadang kala mengalami stres dalam menjalankan kegiatan perkuliahan, yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya (Mulyono, 2001). Faktor stres dapat memperberat gangguan PMS (Wikipedia, 2009). Di samping itu, kondisi sosial ekonomi yang berbeda antara masing-masing individu dapat mencerminkan keteraturan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang pada akhirnya akan menunjukkan asupan zat gizi secara spesifik.
Karena latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat gizi meliputi asupan karbohidrat, vitamin B6, vitamin E, lemak, magnesium, dan kalsium dengan PMS?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi asupan zat gizi wanita usia subur pada mahasiswi X.
b. Mengidentifikasi kejadian PMS wanita usia subur pada mahasiswi X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
a. Bagi peneliti sendiri, dapat memperdalam pengetahuan tentang asupan zat gizi dan PMS.
b. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang PMS terutama dalam hubungannya dengan status gizi.
c. Bagi profesi kebidanan, sebagai bahan kajian/informasi dalam mengkaji, menganalisa, mendiagnosa dan memberikan perawatan pada wanita yang mengalami PMS.
2. Manfaat Aplikatif
Dapat memberikan masukan bagi wanita usia reproduktif untuk mengatur kebutuhan gizi sehingga dapat meminimalkan gejala-gejala PMS.
HUBUNGAN BANYAKNYA MEDIA MASSA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI SMU X

HUBUNGAN BANYAKNYA MEDIA MASSA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI SMU X

(Kode KEBIDANN-0022) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN BANYAKNYA MEDIA MASSA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI SMU X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa peralihan dan perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Tahun 2007 tercatat jumlah remaja sebanyak 64 juta jiwa atau 28,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta. Semakin banyak jumlah remaja, maka semakin banyak pula permasalahan yang dihadapi (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2008).
Salah satu ciri khas remaja adalah rasa keingintahuan yang besar terutama terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya baik fisik maupun psikologis dan seksualitas. Sebagai bentuk rasa keingintahuannya, maka remaja mencari informasi sebanyak-banyaknya (Wibowo, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh FPA ( Forum Perlindungan Anak) tahun 1981 pada 3917 remaja di hongkong mengungkapkan bahwa remaja mencari informasi dari surat kabar atau ceramah-ceramah tentang seks sebanyak 89%. Sisanya mereka bertanya pada orang tua (Wirawan, 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Qomariyah pada tahun 2002 di 4 kota yaitu Jakarta, Bandung, Medan dan Bali mengaungkapkan bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja diperoleh dari teman (41%), media cetak dan elektronik (25,1%), guru (20,9%) dan orang tua (9,7%) (Qomariyah dalam Tirtawati, 2005).
Kurangnya informasi yang diperoleh remaja tentang kesehatan reproduksi berdampak pada pengetahuan kesehatan reproduksi mereka. Data dari SKRRI (Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) tahun 2002-2003 menyatakan bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi remaja masih rendah. Pengetahuan remaja perempuan dan laki-laki tentang masa subur baru mencapai 29% dan 32,2%, pengetahuan tentang risiko kehamilan bila melakukan hubungan seksual sebanyak 49,5% dan 45,5% (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2008). Penelitian lain yang dilakukan secara berkelompok oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Lembaga Dakwah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan East West Center University of Hawai USA pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 45% remaja di Indonesia tidak mengetahui proses kehamilan, 56% tidak mengetahui mengenai HIV AIDS dan 76% tidak mengetahui tentang penyakit menular seksual (Wibowo, 2004).
Data Sekunder lain yang didapat dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa propinsi Jawa Timur menempati urutan ke dua untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia yang diperkirakan terdapat 17 sampai 44 ribu kasus HIV. Hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi dari tenaga kesehatan. Penelitian sejenis dari Gusti Ayu Tirtawati didapatkan bahwa terdapat hubungan antara sumber-sumber informasi dengan tingkat kesehatan reproduksi pada remaja. Berdasarkan peelitian sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja SMU X karena di SMU X belum memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolahnya sehingga siswa lebih cenderung mengakses informasi dari media massa. Hal ini didukung juga oleh lokasi SMU X yang strategis sehingga semakin mempermudah akses untuk mendapatkan informasi dari media massa.

B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui media massa yang paling banyak digunakan oleh remaja dan pokok bahasan kesehatan reproduksi yang didapat dari media massa di SMU X.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi remaja di SMU X.
c. Untuk menganalisa hubungan banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di SMU X.

D. Manfaat
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.
2. Aplikatif
a. Institusi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.
b. Profesi
Sebagai sumbangan teoritis maupun aplikatif bagi profesi bidan dalam memberikan pelayanan dan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.
c. Remaja dan Masyarakat
Agar remaja dan masyararakat memperoleh informasi kesehatan reproduksi secara benar.
d. Peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti tentang hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI VERBAL DENGAN PERILAKU MEMBACAKAN CERITA PADA ANAK DI DUSUN X

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI VERBAL DENGAN PERILAKU MEMBACAKAN CERITA PADA ANAK DI DUSUN X

(Kode KEBIDANN-0021) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI VERBAL DENGAN PERILAKU MEMBACAKAN CERITA PADA ANAK DI DUSUN X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada masa balita, perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, sehingga diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi anak berkembang secara optimal. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi (Soetjiningsih, 2003).
Pada periode ini, stimulasi verbal sangat penting untuk perkembangan bahasa anak (Soetjiningsih, 2003). Salah satu bentuk stimulasi verbal yang sangat efektif dalam membangun kosakata dan keterampilan membaca anak adalah dengan membacakan cerita kepada anak-anak secara rutin, sejak usia dini bahkan sampai anak-anak bisa membaca sendiri (Trelease, 2006).
Membacakan cerita pada anak banyak memberikan keuntungan. Dampak terpenting adalah bagaimana anak-anak belajar berbahasa dan bagaimana mereka belajar membaca. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Kansas tahun 2001 dijelaskan bahwa rata-rata setiap anak harus mendengar 32 juta kata yang berbeda ketika mereka berusia empat tahun. Dalam percakapan biasa, orang dewasa rata-rata menggunakan 1.000 kata umum dan hanya mengucapkan 9 kata yang jarang digunakan setiap harinya. Sedangkan di dalam teks cetak terdapat tiga kali lebih banyak kata-kata yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, sehingga anak akan mendengar lebih banyak kata yang jarang digunakan dengan dibacakannya cerita. Mengingat kosakata ditentukan dari banyaknya kata-kata yang jarang digunakan yang dapat dipahami oleh anak (Trelease, 2006).
Anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan kemampuan membaca yang baik (Surjadi, 2003). Aktivitas membaca merupakan sarana yang dibutuhkan oleh hampir semua bidang kehidupan. Agar anak memiliki kemampuan bahasa dan membaca yang baik, dibutuhkan peran orang tua dalam pemberian stimulasi. Berdasarkan penelitian Marpaung, terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan perilaku tentang stimulasi. Tingkat pengetahuan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka seseorang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap kemajuan teknologi (Marpaung, 1999). Data dari Statistik Kesejahteraan Rakyat (SKR) tahun 2000, proporsi penduduk wanita yang berpendidikan rendah adalah sebesar 52,7%, pendidikan sedang sebesar 12,8%, dan berpendidikan tinggi sebesar 2,6% (Badan Pusat Statistik, 2000). Perilaku membacakan cerita pada anak juga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan membaca dari orang tua. Penduduk Indonesia belum memiliki minat baca yang tinggi. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%) (Badan Pusat Statistik, 2006).
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Stimulasi Verbal dengan Perilaku Membacakan Cerita pada Anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X Tahun 2009"

B. Rumusan Masalah
"Apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X tahun 2009?"

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupatan X.
2. Tujuan Khusus.
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
b. Untuk mengetahui perilaku ibu membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
c. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan masukan untuk menambah wawasan tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi profesi bidan untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang efektivitas membacakan cerita sebagai stimulasi verbal yang dapat berpengaruh bagi perkembangan bahasa, membaca dan kognitif anak.
b. Bagi orangtua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat merangsang perilaku orang tua dalam memberikan stimulasi verbal, khususnya dengan rutinitas membacakan cerita pada anak.
c. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Desa X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Desa X

(Kode KEBIDANN-0020) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Desa X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia masih dijumpai masalah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak. Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut muncul dan terjadi akibat pengetahuan dan pemahaman serta tanggung jawab yang rendah. Akses untuk mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai alat-alat dan fungsi reproduksi juga tidak mudah didapatkan (Bambang, 2005).
Secara garis besar periode daur kehidupan wanita melampaui beberapa tahap diantaranya pra konsepsi, konsepsi, pra kelahiran, pra pubertas, pubertas, reproduksi, menopause/klimakterium, pasca menopause dan senium/lansia (Manuaba, 2002). Satu hal yang paling terlihat dan pasti terjadi pada wanita dewasa pada masa penuaan adalah terjadinya menopause atau berhentinya menstruasi (Kuntjoro, 2002). Proses menuju menopause terjadi ketika fungsi indung telur mulai mengalami penurunan dalam memproduksi hormon. Pada saat mulai terjadi penurunan fungsi ini gejala-gejala menopause mungkin mulai terasa meskipun menstruasi tetap datang. Saat itu mulai nampak ada perubahan pada ketidakteraturan siklus haid.
Gejala-gejala lain yang menandai datangnya masa menopause atau sindroma menopause seperti hot flushes (semburan panas dari dada hingga wajah), night sweat (keringatan di malam hari), fatigue (mudah capek), kekeringan vagina, penurunan libido, dispareunia (rasa sakit ketika berhubungan sexual), perubahan pada kulit, kegemukan badan bahkan osteoporosis (keropos tulang) pada jangka panjang (Kuntjoro, 2002).
Menurut Menkes Dr. dr. Siti Fadillah Supari, Sp.JP (K), berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,3 juta atau 11,5% dari total penduduk. Jawa Tengah yang jumlah penduduknya mencapai 35 juta, sekitar 60% nya adalah perempuan artinya jumlah wanita menopause di Jawa Tengah sekitar 1,5 juta orang (Supari, F, S, 2005).
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa jumlah wanita usia 40- 60 tahun di Desa Banjarsari Kulon mencapai 385 orang (23,66%) dari jumlah penduduk wanita yang berjumlah 1.627 orang. Dari usia tersebut wanita usia 40-48 tahun berjumlah 136 orang (8,35%). Diketahui juga bahwa belum terdapat program kesehatan yang terkait dengan menopause. Program kesehatan yang ada masih terbatas pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan KB. Dari hasil wawancara terhadap beberapa wanita premenopause diketahui bahwa mereka masih belum mengetahui tentang menopause dan gejala-gejala yang menyertainya sehingga mereka tidak mengetahui penyebab dari keluhan-keluhan yang mereka alami. Untuk itu sangat penting dilakukan suatu usaha untuk mempersiapkan diri menghadapi masa menopause melalui program kesehatan reproduksi.
Menopause memang sangat berhubungan dengan terjadinya osteoporosis. Pada perempuan yang sudah menopause terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Perubahan hormon ini menurunkan kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium secara drastis, sehingga penyerapan kalsium menjadi tidak efisien (Anonim, 2002). Osteoporosis menjadi salah satu ancaman bagi wanita menopause. Menurut penelitian Badan Litbang Depkes pada tahun 2005, 1 dari 3 wanita memiliki kecenderungan menderita osteoporosis (keropos tulang). Tingginya angka resiko osteoporosis tersebut, dikatakan Menkes Siti Fadillah Supari dalam acara pencanangan Bulan Osteoporosis Nasional dan Tulang Kuat di Jakarta, Kamis 22 September 2005, salah satu penyebabnya yaitu meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Pada tahun 2005, angka harapan hidup masyarakat Indonesia mencapai 67,68 tahun. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mencegah datangnya penyakit itu sendiri. Hal itu ditandai dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata orang Indonesia, yakni hanya 254 mg per hari (Supari, S,F, 2005).
Selain beberapa faktor diatas, pengetahuan seorang wanita premenopause juga sangat berpengaruh. Pengetahuan khusus sangat diperlukan, terutama pengetahuan mengenai osteoporosis dan asupan kalsium untuk mencegahnya di masa menopause. Wanita premenopause akan lebih mudah mengurangi kecemasan dan mampu melalui masa menopause tanpa banyak keluhan apabila mereka mendapatkan pengetahuan yang faktual dan akurat mengenai osteoporosis dan asupan kalsium (Mustopo, 2005).
Guna mengetahui hubungan mengenai tingkat pengetahuan wanita premenopause dengan asupan kalsium, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “ Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause di Desa X “.

B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause di Desa X” ?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause di Desa X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengetahuan wanita tentang osteoporosis dan asupan kalsium.
b. Mengidentifikasi pengetahuan wanita tentang hubungan antara osteoporosis dengan asupan kalsium.
c. Mengidentifikasi sumber bahan makanan yang sering dikonsumsi sebagai sumber kalsium.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause.
2. Aspek Aplikatif
a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu agar lebih memperhatikan kesehatannya terutama osteoporosis dan asupan kalsium pada masa premenopause.
b. Diharapkan dapat memberikan masukkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat kebijakan tentang pentingnya pencegahan osteoporosis dan asupan kalsium pada masa premenopause, serta memberi informasi mengenai faktor-faktor yang harus dihindari dan yang harus diperhatikan.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu X

(Kode KEBIDANN-0019) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gizi masih merupakan masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2004, prevalensi status kekurangan gizi relatif tinggi yakni 28,47%. Angka ini akan cenderung meningkat pada tahun 2005-2006. Masalah gizi ini terjadi di 77,3% kabupaten dan 56% kota yang beriringan dengan angka kemiskinan, namun masalah gizi sendiri sebenarnya merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek termasuk sosial budaya dan stabilitas negara (Nency dan Arifin, 2003).
Pertumbuhan anak sangat berkaitan dengan nutrisi yang dikonsumsi. Kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi setiap hari menentukan status gizi anak. Status gizi yang baik mampu meningkatkan daya tahan tubuh yang baik pula, sebaliknya status gizi yang buruk memudahkan timbulnya penyakit. Oleh karena itu makan bukan hanya kebutuhan fisik utama semata namun juga diperlukan sebagai faktor penunjang pertumbuhan, sedangkan pertumbuhan itu merupakan langkah awal bagi perkembangan (Soetjiningsih, 1998).
Salah satu kelompok umur dalam masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi (rentan gizi) adalah anak balita (bawah lima tahun). Pada anak balita terjadi proses pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Anak balita justru paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2004).
Kekurangan gizi berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Efek malnutrisi sangat buruk jika terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun) dan kondisi ini akan sulit untuk dapat pulih kembali (irreversibel). Dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak menjadi vital karena otak adalah salah satu organ yang penting bagi anak untuk menjadi manusia yang berkualitas (Nency dan Arifin, 2003).
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak dan ikut berperan dalam menentukan tumbuh kembang anak, namun peran utama terletak pada ibu sebagai orang yang mutlak berinteraksi dengan anak (Soetjiningsih, 1998). Pada penentuan status gizi anak tentunya ibu pula yang mempunyai proporsi besar, sehingga bekal pengetahuan dan keterampilan maupun waktu yang cukup bersama anak seharusnya dimiliki oleh seorang ibu (Khomsan, 2003).
Periode kritis pada anak balita dikenal dengan masa trotzalter yang dialami anak usia 2-4 tahun. Masa ini terjadi setelah anak mengalami ketergantungan (dependensi) yang mutlak pada ibunya. Timbulnya kecenderungan untuk menentang dan memberontak maupun ingin melakukan segala kemauannya pada masa ini merupakan transisi untuk melepaskan diri dari pengaruh luar. Apabila masa kritis ini tidak disikapi dengan bijaksana oleh orang tua dapat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu dalam pengasuhannya menuntut kesabaran dan kebijaksanaan orang tua, terutama ibu (Kartono, 1995).
Sifat anak pada masa trotzalter mengarah pada ketidakstabilan emosi sehingga seringkali orang tua mangalami kesulitan mengendalikan anak dalam segala hal termasuk makan. Makan dapat menjadi masalah yang serius jika anak cenderung memilih makanan sesuai kemauannya tanpa memperhatikan nilai gizi maupun frekuensi makannya. Masalah dalam makan muncul karena anak cenderung tidak mau diatur oleh siapa pun. Keadaan berbeda dijumpai pada kelompok umur lain pada balita. Pada anak kurang dari 2 tahun sifat ketergantungan mutlak pada ibu sangat nampak. Sifat tersebut memudahkan orang tua dalam mengatur dan mengontrol anak sehingga memudahkan pemenuhan gizinya disamping pada usia ini anak masih menyusu ibu (Sediaoetama, 2004). Demikian pula pada anak umur 4 tahun ke atas akan lebih mudah pengasuhannya karena sifat egois dan meledak-ledak yang semula mendominasi sudah mulai berangsur menghilang (Kartono,1995).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten X pada bulan Mei XXXX, wilayah kerja Puskesmas X menduduki peringkat terendah untuk prevalensi kurang gizi dari 21 puskesmas yang ada yaitu sebesar 4%, sedangkan untuk wilayah Puskesmas X yang menduduki peringkat balita kurang gizi terbanyak adalah Desa X yaitu 7,57%. Adapun Posyandu X adalah salah satu Posyandu yang memiliki jumlah balita terbanyak yaitu 88 anak balita di desa tersebut.
Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui adanya pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita. Penelitian ini akan dilakukan di Posyandu X Desa X Wilayah Kerja Puskesmas X Kabupaten X, Propinsi X.

B. Rumusan Masalah
“Apakah ada pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perbedaan status gizi balita masa trotzalter dan non trotzalter
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengaruh masa trotzalter terhadap gizi balita.
2. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP X

(Kode KEBIDANN-0018) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Motivasi Belajar Siswa Di SMP X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, 2002).
Akan tetapi masih banyak masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satunya adalah anemia. Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah sehingga mengakibatkan fungsi dari Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi karena kekurangan zat besi. Persoalan zat besi masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia karena kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Diperkirakan 20% sampai 80% anak di Indonesia menderita anemia gizi besi.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga di Indonesia tahun 2001 prevalensi anemia pada remaja sekitar 26,5%. Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia tahun 2001-2003 menunjukkan 3,5 juta remaja dan WUS menderita anemia gizi besi (Sutaryo dalam Republika, 2006).
Dampak yang ditimbulkan anemia gizi besi ini, terutama pada anak sekolah antara lain adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Bahkan anemia dapat menurunkan produktivitas kerja hingga 20%. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X.

B. Rumusan Masalah
Seberapa besar pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa di SMP X?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui seberapa besar prosentase motivasi belajar siswa kelas 1 yang mengalami anemia di SMP X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengaruh anemia terhadap motivasi belajar siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi institusi sekolah agar dapat lebih memperhatikan siswanya yang menderita anemia.
b. Sebagai masukan bagi orang tua agar dapat lebih memperhatikan kesehatan anaknya.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Dengan Status Imunisasi Tetanus Toksoid Wanita Usia Subur Desa X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Dengan Status Imunisasi Tetanus Toksoid Wanita Usia Subur Desa X

(Kode KEBIDANN-0017) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Pengetahuan Tentang Imunisasi Tetanus Toksoid Dengan Status Imunisasi Tetanus Toksoid Wanita Usia Subur Di Desa X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indikator dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat diantaranya adalah Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. Hal ini disebabkan karena ibu dan bayi merupakan kelompok yang mempunyai tingkat kerentanan yang besar terhadap penyakit dan kematian. Dalam rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer, target dari dampak kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal dari 25 per 1000 kelahiran hidup (tahun 1997) menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup. Hasil SKRT 2001 (Survei Kesehatan Rumah Tangga) di Indonesia kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1% (termasuk tetanus, sepsis, pneumonia, diare), proporsi kematian karena tetanus neonatorum yaitu 9,5% (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan hasil laporan bulanan kesehatan ibu dan anak (LB3–KIA) di kabupaten X, selama tahun XXXX jumlah kasus kematian maupun kesakitan akibat tetanus neonatorum yaitu 5 kasus, sedangkan pada periode Januari hingga Desember XXXX ada 1 kasus. Dilihat dari hasil laporan Imunisasi periode Januari sampai dengan Oktober XXXX, Puskesmas X cakupan Imunisasi TT1 sebesar 17,83%, TT2 sebesar 83,09%, TT3 sebesar 7,13%, TT4 sebesar 0%, TT5 sebesar 0% dengan sasaran WUS (Wanita Usia Subur) 3365 jiwa, maka cakupan Puskesmas X masih rendah (Subdin P2P Dinkes X, XXXX).
Penyakit Tetanus adalah penyakit menular yang tidak ditularkan dari manusia ke manusia secara langsung. Penyebabnya adalah sejenis kuman yang dinamakan Clostridium Tetani, kuman ini terutama spora atau bijinya banyak berada di lingkungan. Basilus Clostridium Tetani, tersebar luas di tanah dalam bentuk spora, binatang seperti kuda dan kerbau bertindak sebagai harbour atau persinggahan sementara. Kuman tetanus dalam kehidupannya tidak memerlukan/kurang oksigen (anaerob). Tetanus timbul akibat masuknya spora Clostridium Tetani masuk lewat pertahanan alamiah tubuh, seperti kulit, mukosa, sebagian besar lewat luka tusuk, luka bakar kotor, patah tulang terbuka dan tali pusat (Achmadi. U.F, XXXX). Meskipun Tetanus Neonatorum terbukti sebagai salah satu penyebab kesakitan dan kematian neonatal, sesungguhnya dapat dicegah, pencegahan yang dilakukan diantaranya adalah pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) serta perawatan tali pusat yang memenuhi syarat kesehatan. Imunisasi TT seharusnya diperoleh wanita usia subur sebanyak 5 kali, kenyataannya masih belum optimal, hal ini dipengaruhi faktor perilaku (Behavior Clauses) manusia dari tingkat kesehatan, ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi orang/masyarakat yang bersangkutan disamping lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas, (sarana-sarana kesehatan) sikap dan perilaku para petugas kesehatan (Notoadmodjo, S. 2003).
Dengan adanya kejadian kasus TN (Tetanus Neonatorum), tahun XXXX sebanyak 5 kasus dan tahun XXXX sebanyak 1 kasus di kabupaten X, khususnya di desa (daerah pedesaan), merupakan masalah yang sangat kompleks. Data sensus penduduk kabupaten X tahun 2000, rata-rata pendidikan sangat rendah yaitu 354.208 jiwa tidak tamat SD, tamat SD sebanyak 198.458 jiwa (BPS dengan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten X, XXXX), sehingga informasi tentang Imunisasi Tetanus Toksoid sangat terbatas.
Oleh karena itu dengan adanya kasus Tetanus Neonatorum (TN) di kabupaten X, serta cakupan Imunisasi di Puskesmas X periode Januari sampai dengan Oktober XXXX yang rendah, maka penulis ingin meneliti mengenai hubungan pengetahuan tentang Imunisasi TT dengan status Imunisasi TT di daerah Puskesmas X, sebagai sampel WUS (Wanita Usia Subur) di desa X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan data dan latar belakang dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah ada hubungan pengetahuan tentang imunisasi tetanus toksoid dengan status imunisasi tetanus toksoid wanita usia subur di desa X Puskesmas X Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan tentang imunisasi tetanus toksoid dengan status imunisasi tetanus toksoid wanita usia subur.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang pengertian imunisasi Tetanus Toksoid (TT).
b. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang jadwal pemberian dan masa perlindungan Imunisasi TT.
c. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang manfaat imunisasi TT.
d. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang reaksi Imunisasi TT dan efek samping.
e. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang indikasi kontra Imunisasi TT.
f. Dapat mengidentifikasi pengetahuan WUS tentang penyakit Tetanus.
g. Dapat mengidentifikasi status Imunisasi TT pada WUS.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Sebagai dasar sebagai peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai Wanita Usia Subur (WUS) terhadap status Imunisasi TT (Tetanus Toksoid).
2. Aspek Aplikatif
a. Bagi Petugas Kesehatan
Dapat memberikan masukan dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan hasil cakupan Imunisasi TT WUS sampai status TT5, menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat Tetanus Neonatorum, dan meningkatkan ketrampilan, pengetahuan tentang Imunisasi TT.
b. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi tentang imunisasi TT, sehingga masyarakat, khususnya Wanita Usia Subur (WUS) mendapat pelayanan Imunisasi TT secara lengkap (TT5).
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Harga Diri Dan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Semester III Akademi Kebidanan X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Harga Diri Dan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Semester III Akademi Kebidanan X

(Kode KEBIDANN-0016) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Harga Diri Dan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Semester III Akademi Kebidanan X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan. Pembangunan yang berhasil membutuhkan manusia yang berkualitas, yang memungkinkan pembangunan dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab menuju pada keberhasilan pembangunan.
Salah satu aspek kepribadian yang penting adalah harga diri. Harga diri yang tinggi akan mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu sikap optimis, kemampuan mengendalikan hal-hal yang terjadi akan dirinya, mempunyai pandangan yang positif, dan mempunyai penerimaan terhadap diri sendiri. Hal ini akan membuat seseorang mampu melanjutkan kehidupannya meskipun dia menghadapi kejadian-kejadian buruk dan masa lalunya yang buruk (Robinson & Shaver, 1990).
Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan mempunyai pikiranpikiran positif, dan orang yang mempunyai harga diri rendah biasanya mempunyai pikiran negatif tentang upaya dan masa depannya. Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan sedikit mengalami kecemasan, mau menerima banyak resiko dan mau meningkatkan usaha mereka untuk meraih sukses (Antony & Miles, 1996). Disamping itu seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan lebih termotivasi untuk menambah kemampuan mereka, sedangkan yang harga dirinya rendah akan termotivasi untuk melindungi diri mereka dari kegagalan dan kekecewaan (Baumuster & Huthon, 1994).
Masa remaja adalah masa persiapan dalam memasuki dunia kedewasaan. Pada masa ini seorang remaja akan mengalami perubahan fisik, sexual, psikologis maupun perubahan sosial. Hal ini terjadi pada umur 12-21 tahun. Perubahan itu kemudian menyebabkan remaja berusaha mencapai kematangan dan mencoba menggunakan kesempatan seluas-luasnya bagi pertumbuhan kepribadiannya sendiri (Hurlock, 2002).
Masa remaja menuntut pemenuhan kebutuhan harga diri, kasih sayang, dan rasa aman. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi akan menyebabkan gangguan kepribadian. Pemenuhan kebutuhan merupakan pembangunan seutuhnya, pembangunan lahir batin, dan yang paling penting adalah kebutuhan harga diri (Coopersmith, 1995).
Harga diri merupakan aspek kepribadian yang pada dasarnya dapat berkembang. Kurangnya harga diri pada remaja dapat mengakibatkan masalah akademik, olah raga, dan penampilan sosial. Selain itu dapat juga menimbulkan gangguan pada proses pikir dalam konsentrasi belajar, dan berinteraksi dengan orang lain, terutama yang masih mengikuti pendidikan sehingga berpengaruh terhadap proses dan prestasi belajar (Elliot & Littlefield, 2000).
Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk (Ngalim. P, 2004).
Proses belajar akan berhasil bila seseorang mampu memusatkan perhatian pada pelajaran, tetapi apabila pada dirinya terdapat masalah kejiwaan, seperti kecewa, malu, sedih, dan kurang percaya diri maka dengan sendirinya akan mempengaruhi prestasi belajar (Warsiki, 1993).
Prestasi belajar merupakan penampakan dari hasil belajar. Prestasi belajar dapat diukur dengan evaluasi belajar, antara lain tes sumatif yang dapat menentukan indeks prestasi (Winkel, 2005).
Mahasiswa semester III Akademi Kebidanan X tahun 2007 ada 63 mahasiswa. Hasil evaluasi mahasiswa semester III Indek Prestasi (IP) antara 3,51-4,00 (1,59%), indek prestasi antara 2,75-3,50 (36,51%), indek prestasi antara 2,00-2,74 (61,90%). Berdasarkan hasil yang didapat maka prestasi yang dicapai mahasiswa masih tergolong rendah. Adapun hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap beberapa dosen di Akademi Kebidanan X menyatakan bahwa sebagian besar keaktifan mahasiswa dalam proses belajar mengajar cukup baik, walaupun ada beberapa mahasiswa yang kurang dan tidak aktif.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti ”Apakah ada hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa semester III Akademi Kebidanan X?”.

B. Perumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan:
Apakah ada hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa Akademi Kebidanan X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar pada remaja mahasiswa Semester III Akbid X.

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Mengetahui bahwa harga diri yang baik akan diikuti dengan peningkatan prestasi belajar.
2. Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan pada dunia pendidikan dan orang tua akan pentingnya harga diri terhadap pencapaian hasil belajar.
b. Memberi masukan pada remaja mengenai hubungan antara harga diri dengan prestasi belajar.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X

(Kode KEBIDANN-0015) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Deskripsi kecerdasan emosional sudah ada sejak dikenalnya perilaku manusia. Didalam berbagai kitab suci, didalam filsafat Yunani, karya-karya Shakespeare, Thomas Jeffernon dan di dalam psikologi modern, aspek emosi sebagai bagian dari pemikiran sudah didiskusikan sebagai elemen fundamental dalam sifat dasar manusia. Mereka yang mengasah kecerdasan emosionalnya memiliki kemampuan unik untuk berkembang disaat sebagian lain terlalu sibuk menggelepar. Kecerdasan emosional merupakan “sesuatu” yang ada dalam diri setiap kita yang sedikit sulit diraba.
Awal tahun 1918, sebuah gerakan muncul untuk mencari sebuah cara mengukur kecerdasan intelektual (IQ). Ilmuwan-ilmuwan awal pada masa itu mengeksplorasi IQ sebagai metode cepat untuk memisahkan pelaku yang memiliki kualitas rata-rata dengan pelaku yang istimewa. Ada banyak orang yang demikian cerdas namun dibatasi oleh kemampuan mereka dalam mengelola perilaku dan hubungan sosial mereka. Barulah pada awal tahun 1980-an muncul istilah kecerdasan emosional (EQ). (Travis Bradberry & Jead Breaves, 2007: 54)
Memasuki abad 21, legenda IQ (Intelligence Quotient) sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan yang juga sering dijadikan parameter keberhasilan manusia, digugurkan oleh munculnya konsep Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient). Kecerdasan manusia ternyata lebih luas dari anggapan yang dianut selama ini. Kecerdasan bukanlah merupakan suatu hal yang bersifat dimensi tunggal semata, yang hanya bisa diukur dari satu sisi dimensi saja (dimensi IQ). Kesuksesan manusia dan juga kebahagiaannya, ternyata lebih terkait dengan beberapa jenis kecerdasan selain IQ. Menurut hasil penelitian, setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ) dan hanya 4% ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya (IQ). (www.cakrawala.com)
Konsep kecerdasan emosional menjelaskan mengapa dua orang dengan tingkat IQ yang sama bisa saja memiliki tingkat keberhasilan hidup yang berbeda. Kecerdasan emosional merujuk pada elemen fundamental dalam perilaku manusia yang berbeda dengan intelektualitas.
Kecerdasan inteligensi (IQ), kepribadian dan kecerdasan emosional (EQ) adalah tiga buah kualitas berbeda yang dimiliki semua orang. Perpaduan dari kualitas-kualitas tersebut akan menentukan bagaimana kita akan berfikir dan bertindak. Mustahil bagi kita untuk menentukan sebuah kualitas berdasarkan kualitas yang lain. Seseorang bisa saja cerdas secara intelektual namun tidak secara emosional, dan semua orang dengan segala bentuk kepribadian sama-sama bisa memiliki skor EQ dan atau IQ yang tinggi. Ketiga kualitas tersebut, hanya kecerdasan emosional yang merupakan kualitas yang fleksibel dan bisa berubah. (Travis Bradberry & Jead Breaves, 2007: 56)
Menggunakan ungkapan Howard Gardner, kecerdasan emosional terdiri dari kecakapan, diantaranya intrapersonal intelligence merupakan kecakapan mengenai perasaan kita sendiri yang terdiri dari :
1. Kesadaran diri, meliputi : keadaan emosi diri, penilaian pribadi dan percaya diri
2. Pengaturan diri, meliputi : pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada adaptif dan inovatif
3. Motivasi, meliputi :dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis.
Motivasi membentuk cara pandang manusia terhadap dunia. Seseorang cenderung memberikan perhatian secara selektif, maka yang dianggap penting olehnya otomatis menjadi yang paling dia cermati. Seseorang yang termotivasi untuk berhasil lebih jeli menemukan cara-cara untuk bekerja lebih baik, untuk berusaha, untuk membuat inovasi atau menemukan keunggulan kompetitif. (Daniel Goleman, 2005: 178)
Berdasarkan keterkaitan kedua hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Adakah hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV Kebidanan Universitas X?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui ada tidaknya hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat kecerdasan emosional pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
b. Mengidentifikasi motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.
c. Menganalisis hubungan antara kecerdasan emosional dengan motivasi belajar pada mahasiswa D IV kebidanan Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teirotis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan lebih lanjut dan manfaat praktis dalam rangka memecahkan masalah aktual.
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pemahaman serta pengetahuan tentang hal-hal yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kecerdasan emosional dan motivasi belajar.
b. Mendukung teori yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
c. Salah satu sumber bagi penelitian berikutnya.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Siklus Haid Pada Mahasiswi D IV Kebidanan Di Universitas X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Siklus Haid Pada Mahasiswi D IV Kebidanan Di Universitas X

(Kode KEBIDANN-0014) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Siklus Haid Pada Mahasiswi D IV Kebidanan Di Universitas X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fisiologi alat reproduksi wanita merupakan sistem yang komplek sebagai pertanda kematangan alat reproduksi wanita dapat dilihat sudah teraturnya menstruasi atau haid. Dengan interval 28 sampai 30 hari yang berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 hari disertai dengan ovulasi. Sejak saat ini wanita memasuki masa reproduksi aktif sampai memasuki atau mencapai mati haid (Manuaba, 1998). Pada masing-masing wanita mempunyai variasi dalam siklus haidnya, yang masih dalam batas normal (Prawiroharjo, 2006).
Untuk kejadian menstruasi dipengaruhi beberapa faktor yang mempunyai sistem saraf pusat dengan panca indranya, sistem hormonal, perubahan pada ovarium dan uterus, serta rangsangan estrogen dan progesterone pada pancaindra langsung pada hipotelamus dan melalui perubahan emosi.
Semakin dewasa umur wanita semakin besar pengaruh rangsangan dan emosi terhadap hipotalamus. Kecemasan sebagai rangsangan melalui system saraf diteruskan ke susunan saraf pusat yaitu bagian otak yang disebut limbic system melalui transmisi saraf. Selanjutnya melalui saraf outonom (simpatis/parasimpatis) akan diteruskan kekelanjar-kelenjar hormonal (endokrin) sehingga mengeluarkan sekret (cairan) Neurohormonal menuju hifofisis melalui system prontal guna mengeluarkan gonodotropin dalam bentuk FSH (Follikel Stimulazing Hormone) dan LH (Leutinizing Hormone) untuk selanjutnya mempengaruhi terjadinya proses menstruasi atau haid (Manuaba, 1998).
Produksi kedua hormon ini adalah dibawah pengaruh RH (Realizing Hormone) yang disalurkan dari hipotalamus ke hifofisis. Pengeluaran RH sangat dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik ekstrogen terhadap Hipotalamus juga pengaruh dari luar seperti, cahaya, bau-bauan dan hal-hal psikologik. Bila penyaluran normal berjalan baik maka produksi gondotropin akan baik pula (Prawiroharjo, 2005).
Adanya gangguan kejiwaan berupa kecemasan, syok emosional, dapat menimbulkan perubahan siklus haid. Biasanya bersifat sementara dan menghilang jika penyebabnya sudah tidak ada lagi (Prawiroharjo, 2005). Diperkirakan jumlah mereka yang menderita gangguan kecemasan ini baik akut maupun kronik normal atau abnormal mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 banding 1, dan diperkirakan antara 2%-4% diantara penduduk suatu saat dalam kehidupan pernah mengalami gangguan cemas (Dadang Hawari, 2006).
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, penulis ingin mengetahui hubungan antara gangguan kejiwaan berupa kecemasan dapat mempengaruhi siklus haid atau menstruasi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dalam penelitian ini perumusan masalah yang dirumuskan adalah : Adakah hubungan antara tingkat kecemasan dengan siklus haid atau menstruasi pada mahasiswi D-IV Kebidanan Universitas X ?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui adanya hubungan antara tingkat kecemasan dengan siklus haid pada mahasiswi D IV Kebidanan Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Dapat memberikan informasi ilmiah sebagai sumbangan kepada bidang ilmu kebidanan.
2. Manfaat Praktis
Dengan diketahuinya ada tidaknya hubungan antara tingkat kecemasan dan siklus menstruasi atau haid dapat digunakan :
a. Perlu tidaknya intervensi psikiatrik pada mahasiswi dengan gangguan siklus haid.
b. Bagi terapis untuk menangani penderita yang mengalami gangguan siklus menstruasi atau haid dengan memandang penderita secara holistik.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Dengan Pemberian Kolostrum Di RS X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Dengan Pemberian Kolostrum Di RS X

(Kode KEBIDANN-0013) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang ASI Dengan Pemberian Kolostrum Di RS X

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
ASI (Air Susu Ibu) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat- zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi. Kualitas zat gizinya juga terbaik karena mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. (Widjaja,2004). Sehingga penggunaan Air Susu Ibu (ASI) di Indonesia perlu ditingkatkan dan dilestarikan. Dalam “Pelestarian Penggunaan ASI”, yang perlu ditingkatkan adalah pemberian asi eksklusif, yaitu pemberian ASI segera setelah bayi lahir sampai umur 6 bulan dan memberikan Kolostrum pada bayi. (Rahayu,1998)
Komposisi ASI paling sesuai untuk pertumbuhan bayi dan juga mengandung zat pelindung dengan kandungan terbanyak pada Kolostrum. Kolostrum adalah ASI berwarna kekuningan yang keluar pada hari kesatu sampai hari keempat-ketujuh. (Utami, 2001)
Kolostrum sebaiknya diberikan sedini mungkin setelah bayi lahir, karena kolostrum lebih banyak mengandung antibodi dibanding dengan ASI yang matur, serta dapat memberikan perlindungan bagi bayi sampai umur 6 bulan. Kadar kandungan karbohidrat dan lemak lebih rendah dibandingkan dengan ASI matur. Sedangkan Mineral, terutama Natrium, Kalium dan Klorida lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu matur. Serta lebih banyak mengandung protein dibandingkan ASI yang matur. (Soetjiningsih,1997)
Penelitian disuatu negara berkembang yang dipublikasikan di Pediatrics 30 Maret 2006, menunjukkan bahwa bila bayi dibiarkan menyusu sendiri dalam usia 30-60 menit, tidak saja akan mempermudah keberhasilan menyusui tetapi juga akan dapat menurunkan 22% angka kematian bayi dibawah 28 hari. (Suecox, 2006).
Hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu memberi makanan pralaktal (Susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian Kolostrum 62,6%. (Rahayu, 1998).
Beberapa penelitian melaporkan faktor-faktor yang mempengaruhi awal pemberian Kolostrum yaitu petugas kesehatan, psikologi ibu yaitu kepribadian dan pengalaman ibu, sosio-budaya, tata laksana rumah sakit, kesehatan ibu dan anak, pengetahuan ibu mengenai proses laktasi, lingkungan keluarga, peraturan pemasaran pengganti ASI dan jumlah anak. (Dwi Hapsari, 2000) Faktor-faktor tersebut diteliti dalam data SDKI 1997 yang melaporkan bahwa hanya 8,3% yang disusui dalam satu jam pertama setelah lahir dari 52,7% yang disusui dalam 24 jam pertama. (Dwi Hapsari, 2000)
Pada ilmu pengetahuan terkini mengenai menyusui menunjukkan bahwa sangatlah penting bagi semua bayi manusia untuk mendapatkan Kolostrum dari ibunya. Dalam 48 jam pertama kehidupan bayi-bayi manusia tidak membutuhkan air susu terlalu banyak, hanya setengah sendok teh Kolostrum saat pertama menyusui dan 1-2 sendok teh di hari kedua. Kolostrum melapisi saluran pencernaan bayi dan menghentikan masuknya bakteri kedalam darah yang menimbulkan infeksi pada bayi. (Suecox, 2006)
Setelah di lakukan survey pendahuluan di RS X, bahwa 5 orang (16%) dari 30 orang ibu yang melahirkan di RS X masih terdapat ibu menyusui yang tidak memberikan ASI pertama (kolostrum) diawal setelah melahirkan dengan alasan tertentu, misalnya karena larangan orang tua, asi pertama kotor, dll. Hal ini menunjukan bahwa adanya pengetahuan ibu menyusui yang kurang tentang ASI.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diadakan penelitian mengenai adanya hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di Rumah Sakit X Kabupaten X Provinsi Jawa X.

B. PERUMUSAN MASALAH
Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI di RS X.
b) Mengetahui angka pemberian Kolostrum oleh ibu menyusui di RS X.
c) Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang ASI dengan pemberian Kolostrum di RS X.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Aspek Teoritis
Memberi informasi mengenai tingkat pengetahuan ibu tentang ASI dengan pemberian Kolostrum RS X.
2. Aspek Aplikatif
a. Memberi informasi bagi ibu menyusui di RS X mengenai manfaat, kandungan, jenis dan pentingnya Kolostrum sehingga ibu dapat memberikan Kolostrum pada bayinya.
b. Memberi masukan bagi RS X dalam membuat kebijakan tentang ASI dalam pemberian Kolostrum.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Ibu Menjadi Akseptor KB Suntik Di BPS X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Ibu Menjadi Akseptor KB Suntik Di BPS X

(Kode KEBIDANN-0012) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Ibu Menjadi Akseptor KB Suntik Di BPS X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerintah terus menekan laju pertambahan penduduk yang semakin hari semakin meningkat. Program Keluarga Berencana (KB) dinilai merupakan investasi yang banyak menghabiskan anggaran sehingga sedikit sekali pemerintah kabupaten atau pemerintah kota yang memprioritaskan program tersebut. Saat ini pertumbuhan penduduk Indonesia 1,6 persen per tahun. Suatu pertumbuhan yang cukup mengkhawatirkan, karena dari pertumbuhan ini masih dihasilkan sekitar 3-4 juta jiwa manusia baru di Indonesia per tahun (BKKBN, XXXX)

Jumlah penduduk Indonesia adalah nomor 5 terbesar di dunia, pertambahan penduduk dapat menimbulkan masalah antara lain masalah sosial ekonomi, kesehatan, pendidikan, pangan, bahan makanan, perumahan dan sanitasi lingkungan hidup, kesempatan kerja maupun pengangguran. Pada saat ini keluarga berencana bukan lagi suatu program atau gagasan, tetapi merupakan falsafah hidup masyarakat (Rustam, 1998).
Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) 5.772.970 dari jumlah total PUS 4.460.782 (77,27%) merupakan peserta KB aktif sedangkan PUS bukan peserta KB 1.312.188 (22,73%). Alat kontrasepsi yang paling banyak diminati akseptor KB adalah KB suntik (BKKBN, 2004). Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik, adapun tempatnya dibatasi hanya di Bidan Praktek Swasta (BPS) X X. Judul ini ditunjang dengan data selama tahun XXXX-XXXX di BPS tersebut ada 113 akseptor KB baru dimana 7% memakai pil, 3% memakai IUD, 90% memakai KB suntik. Menurut L.Green (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor predisposisi, faktor enambling, faktor reinforcing dimana dalam penelitian kali ini peneliti hanya meneliti faktor pendidikan, pekerjaan, peran suami, jumlah anak, motivasi bidan, dan pengetahuan ibu tentang kontrasepsi metode suntik saja (Notoatmodjo, Soekidjo, 2003).

B. Rumusan Masalah
Apakah faktor pendidikan, faktor pekerjaan, faktor peran suami, faktor pengetahuan, faktor jumlah anak, faktor motivasi bidan berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik di BPS X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran secara umum faktor-faktor yang berhubungan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik di BPS X.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui hubungan antara pekerjaan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
b) Mengetahui hubungan antara pendidikan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
c) Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
d) Mengetahui hubungan antara jumlah anak dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
e) Mengetahui hubungan antara peran suami dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.
f) Mengetahui hubungan antara motivasi bidan dengan pilihan ibu menjadi akseptor KB suntik.

D. Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Bagi pelayanan kesehatan agar penelitian ini menjadi acuan bagi tenaga kesehatan untuk melestarikan akseptor KB suntik.
2. Bagi peneliti sebagai pengalaman mengenai cara dan proses berpikir ilmiah, khususnya mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan .
3. Bagi masyarakat agar lebih menyadari manfaat penggunaan KB sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan keluarga.