Search This Blog

Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
SKRIPSI ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN X

SKRIPSI ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN X

(KODE KES-MASY-0039) : SKRIPSI ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN X




BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia sehat XXXX adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan dan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut dilakukan upaya-upaya kesehatan. Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal adalah program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi program pemerintah di antaranya adalah program pemberantasan penyakit diare yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit diare, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit diare.
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan karena diare serta menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan anak balita.
Menurut data WHO pada tahun XXXX-XXXX diare merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia pada anak di bawah umur lima tahun, dengan Proportional Mortality Rate (PMRJ 17% setelah kematian neonatal 37% dan pnemonia 19%. Pada tahun yang sama, diare di Asia Tenggara juga menempati urutan nomor tiga penyebab kematian pada anak di bawah umur lima tahun dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 18%.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX menunjukkan bahwa di Indonesia penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor tiga pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 10% setelah penyakit sistem pernafasan (28%) dan gangguan perinatal (26%). Sedangkan dari hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun XXXX diketahui bahwa penyakit diare penyebab kematian nomor dua pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 13,2% setelah penyakit sistem pernafasan. Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup anak, penanggulangan diare merupakan program prioritas yang diwujudkan melalui penurunan angka kesakitan dan kematian serta penanggulangan Kejadian luar Biasa (KLB).
Menurut data di provinsi X tahun XXXX penyakit diare menyebabkan kematian pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di enam Kabupaten yaitu, kabupaten A dengan Attack Rate (AR) 0,82% dan Case Fatality Rate (CFR) 3,23%, Kabupaten B dengan AR 0,04% dan CFR 4%, Kabupaten C dengan AR 3,29% dan CFR 1,62%, Kabupaten D dengan AR 1,16% dan CFR 2,6%, Kabupaten E dengan AR 1,45% dan CFR 1,25% dan Kabupaten F dengan AR 0,01%.
Menurut Profil Kesehatan Kota X tahun XXXX dilaporkan proporsi penderita rawat jalan di puskesmas untuk balita 2,68% yaitu 20.996 penderita dari 780.706 seluruh penderita berbagai jenis penyakit dan Iain-lain. Penyakit diare menduduki urutan ke enam pada sepuluh penyakit terbesar di seluruh puskesmas kota X.
Berdasarkan laporan SP2TP di puskesmas Z yang wilayah kerjanya adalah Kecamatan X, didapatkan bahwa penyakit diare masuk dalam sepuluh penyakit terbesar yang menduduki peringkat ke sembilan dengan proporsi sebesar 2,44%.
Hasil laporan dari Puskesmas Pembantu X Kecamatan X tahun XXXX bahwa penyakit diare menduduki urutan kelima dalam sepuluh penyakit terbesar dengan proporsi 1,97%.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengenalisis kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2.Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalens rate diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik anak balita (umur dan jenis kelamin, status gizi, status imunisasi dan ASI eksklusif) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik ibu dari anak balita (umur, pendidikan dan pekerjaan) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
e. Untuk mengetahui hubungan faktor anak balita (umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
f. Untuk mengetahui hubungan faktor ibu (umur, pendidikan, dan pekerjaan) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
g. Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
h. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan terhadap kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Pembantu X dalam program pencegahan dan pemberantasan diare.
1.4.2. Sebagai bahan referensi bagi perpustakaan FKM dan penelitian selanjutnya.
1.4.3. Dapat menambah wawasan dan kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan dan juga sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
SKRIPSI FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE JADIAN PENDERITA PENYAKIT TB PARU BTA POSITIF DI KECAMATAN X

SKRIPSI FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE JADIAN PENDERITA PENYAKIT TB PARU BTA POSITIF DI KECAMATAN X

(KODE KES-MASY-0038) : SKRIPSI FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE JADIAN PENDERITA PENYAKIT TB PARU BTA POSITIF DI KECAMATAN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Penyakit Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang menjadi masalah kesehatan. Penyakit yang sudah cukup lama ada ini merupakan masalah global di dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Hal-hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TBC di dunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur usia manusia yang hidup, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi di negara-negara miskin, tidak memadainya pendidikan mengenai TBC di antara para dokter, kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus TBC serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Amin, XXXX).
Di negara maju dapat dikatakan penyakit TBC dapat dikendalikan, namun adanya peningkatan kasus penyakit HIV merupakan ancaman yang sangat potensial dalam peningkatan kasus penyakit TBC baru. Pada tahun 1995 di seluruh dunia terdapat 17 juta kasus infeksi HIV dan kira - kira ada 6 juta kasus AIDS pada orang dewasa dan anak sejak timbulnya pandemi HIV. Kira-kira sepertiga dari semua orang yang terinfeksi HIV juga teinfeksi tuberkulosis, Dari jumlah ini 70% berada di Afrika, 20% di Asia dan 80% di Amerika latin (Crofton, XXXX).
WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC pada tahun 1993, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil disembuhkan (Depkes, XXXX). Dinegara-negara miskin kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia (Depkes, XXXX).
Pada tahun 1995, ada sekitar 9 juta pasien TBC baru dan 3 juta kematian akibat TBC di dunia. Diperkirakan 7-8 juta yang terkena TBC di negara berkembang, ini terjadi karena tidak ada peningkatan yang signifikan di dalam upaya pencegahannya dalam tahun 1999-2020. WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini (Nelson, XXXX). Penyebab kematian wanita akibat TBC lebih banyak daripada akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TBC adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun) (Depkes, XXXX). Diperkirakan seorang pasien TBC dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 - 30 %. Jika meninggal akibat TBC, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TBC juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial - stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Achmadi, XXXX).
Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Diperkirakan pada tahun XXXX, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka kematian di Indonesia tahun XXXX sebesar 41/100.000 penduduk. Insidensi kasus TBC BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1995-1998, cakupan penderita TBC dengan strategi DOTS baru mencapai 10% dan eror rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan pelaporan belum seragam (Depkes XXXX).
Titik berat penanggulangan program TB saat ini di tekankan pada penemuan penderita baru lebih dari atau sama dengan 70 %, angka konversi lebih dari atau satu dengan 80 %, angka kesembuhan lebih besar atau sama dengan 85 %, angka pemeriksaan laboratorium kecil dari atau sama dengan 5 %, di harapkan dapat segera tercapai. Namun sampai saat ini angka indikator tersebut masih belum tercapai, hal ini dapat dimaklumi mengingat terjadinya TB Paru adalah multicausal (disebabkan oleh banyak faktor) (Depkes, XXXX)
Sumber penularan penyakit TBC adalah penderita TBC dengan BTA (+). Apabila penderita TBC batuk, berbicara, atau bersin dapat menularkan kepada orang lain. Tetapi faktor risiko yang berperan penting dalam penularan penyakit TBC diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan, kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi, XXXX). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TBC. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara kejadian TBC pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau lebih orang dewasa yang menderita TBC (Nelson, XXXX).
Penyakit TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat memepengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan TB Paru (Depkes, XXXX). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TBC sepert hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi. Penelitan Edwan (XXXX) menunjukkan bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat mempengaruhi dengan kejadian TB Paru di Kecamatan X. Sedangkan Penelitian Ayunah (XXXX) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru di Kecamatan Y.
Di Kota Z, TBC merupakan penyakit lama yang masih tetap ada, pada triwulan pertama tahun XXXX jumlah penderita baru 316 orang ditambah sembilan penderita kambuhan. Selama tahun XXXX terdapat 1.759 penderita TBC baru ditambah 61 penderita kambuhan dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 82,1 %. Pada Tahun XXXX jumlah penderita TB paru BTA (+) sebanyak 1153 kasus dengan CDR sebesar 80 %, tahun XXXX di temukan sebanyak 1092 kasus dengan CDR sebesar 70 %, dan pada tahun XXXX mengalami penurunan hanya terdapat 882 kasus dengan CDR sebesar 54,1 %. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya kerja PMO (pengawas minum obat) serta kepatuhan penderita dalam menyelesaikan pengobatan yang relatif lama (Dinas Kesehatan Z).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka di kota Z khususnya Kecamatan X perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penderita TB Paru BTA positif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam kejadian penyakit ini.

1.2. Perumusan Masalah
Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang merupakan masalah yang serius, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ini. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Z khususnya Kecamatan X masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.

1.3. Pertanyaan Penelitian
Apakah faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z ?

1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
2. Untuk mengetahui gambaran karaktristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok dengan kejadian penderita TB Paru (+) di Kecamatan X Kota Z.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
4. Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
5. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kelembaban dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
7. Untuk mengetahui hubungan antara suhu dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
8. Untuk mengetahui hubungan antara lantai rumah dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
9. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
10. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
11. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
12. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
13. Untuk mengetahui hubungan antara prilaku batuk dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
14. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.

1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat di ambil dari penelitaian ini adalah antara lain :
1. Mengetahui faktor risiko lingkungan yang berperan dalam timbulnya penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z.
2. Dapat memberikan masukan kepada pihak yang terkait dalam rangka penanggulangan dan pencegahan penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z

1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB paru BTA (+) di Kecamatan X bulan Oktober tahun XXXX sampai April tahun XXXX.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun XXXX di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan X yaitu Puskesmas A, Puskesmas B, Puskesmas C dan Puskesmas D. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >15 tahun. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling.
Faktor risiko yang diteliti adalah faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah, dengan memperhatikan faktor karakteristik individu sebagai faktor yang mempengaruhinya meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok. Karena semua variabel yang telah disebutkan diatas memegang peranan penting timbulnya kejadian penyakit.
SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X

SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X

(KODE KES-MASY-0037) : SKRIPSI GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN DI WILAYAH PUSKESMAS KELURAHAN X




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dalam usaha mewujudkan suatu tingkat kehidupan masyarakat secara optimal. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, mendapatkan pelayanan yang baik dari instansi pelayanan kesehatan dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut maka diperlukan pembangunan kesehatan dan penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan ke arah yang lebih baik. Berdasarkan Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, salah satu bentuk penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan adalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna (preventif, promotif, rehabilitatif, dan kuratif) berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya (http://www.jpkm-online.net).
Selanjutnya dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 dinyatakan bahwa Pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara yang dijadikan landasan setiap penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan, yang pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan (Depkes RI, 1997).
Dampak dari krisis moneter sejak beberapa tahun terakhir berlanjut menjadi krisis ekonomi sehingga menimbulkan dampak negatif pada semua sektor usaha yang dirasakan semua kalangan. Dampak dari krisis ekonomi berlanjut pada sektor kesehatan, masyarakat mengeluhkan tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan terutama bagi penduduk kurang mampu (miskin). Itu semua karena menurunnya tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat, serta meningkatnya biaya kesehatan.
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan.
Perubahan pola penyakit akibat pergeseran demografi, kemajuan teknologi dan perubahan pola pelayanan kedokteran, peningkatan pengangguran akan memberi pengaruh terhadap sistem pembiayaan kesehatan dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Di sisi lain bahwa sistem pembayaran tunai langsung dari kantong konsumen (out of pocket) dapat memberatkan masyarakat terutama mereka yang tergolong kurang mampu dan pembayaran melalui mekanisme asuransi atas tagihan pemberi pelayanan kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan.
Salah satu arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Program ini sebenarnya merupakan kontinuitas pelayanan yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Peran Pemerintah sebagai safe guarding tersebut melahirkan kebijakan baru bagi jaminan kesehatan bagi rakyat miskin. Untuk keluar dari permasalahan tersebut ditetapkan visi Indonesia Sehat XXXX dengan salah satu misinya yaitu memelihara, meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Untuk mencapai visi dan misi telah ditetapkan beberapa indikator salah satunya yaitu 100% keluarga miskin mendapat pelayanan kesehatan (Depkes, 1999).
Dalam UUD 1945 pasal 34 mengamanatkan fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara. Salah satu bentuk perwujudan amanat UUD 1945, yang harus dilaksanakan adalah kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, utamanya pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Tetapi, bila dilihat dari anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah termasuk paling rendah dibandingkan dengan sesama negara berkembang lainnya. Pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia berkisar 1,6% dari GDP, sementara rata-rata di negara berkembang 4,5% dari GDP (Depkes RI, XXXX). Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan pengeluaran kesehatan terendah dibandingkan negara-negara lainnya, yaitu hanya seperempat dari pengeluaran kesehatan Thailand dan masih lebih rendah dari Myanmar. Rendahnya investasi di bidang kesehatan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak memadainya pelayanan kesehatan dalam menangani masalah kesehatan utama.
Untuk memelihara dan melindungi kesehatan penduduk miskin, sejak tahun 1998 pemerintah telah mengembangkan berbagai upaya antara lain penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin atau yang sering disebut JPKM dan JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Program tersebut telah berkembang luas secara nasional sejak krisis moneter dengan pembiayaan pemerintah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan keluarga miskin. Kemudian melalui UU No. 40 tahun XXXX tentang SJSN yang bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarganya.
Pada tahun XXXX diluncurkan Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) yang kemudian berubah nama menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Bidang Kesehatan (PKPS-BBM) yang pengelolaannya diserahkan dan dipertanggung jawabkan oleh masing-masing rumah sakit dan puskesmas.
Sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab serta komitmen Pemda Provinsi X terhadap aksesibilitas masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, seperti diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun XXXX pasal 33 dan 34 ayat 1, 2, dan 3, maka dilaksanakan uji coba Program JPK Gakin dimana dana untuk program tersebut berasal dari dana PKPS BBM bidang kesehatan dan anggaran Pemerintah Daerah Provinsi X.
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) diluncurkan oleh Dinas Kesehatan X sejak tahun XXXX. Program JPK Gakin dibuat oleh Dinas Kesehatan dan uji cobanya berlangsung selama tiga tahun, serta sistemnya disempurnakan terus menerus. Program JPK Gakin ini diarahkan pada sistem asuransi kesehatan dan preminya ditanggung oleh pemerintah (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/3 1/nas09.html).
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan), termasuk peserta uji coba pelayanan Gakin tahun XXXX di 5 Kecamatan se X. Serta Penghuni panti sosial yang direkomendasikan oleh Kepala Dinas Bina Mental dan Spiritual Provinsi X (http://yankes-utara.X.go. id/berita.php?bid=70).
Masyarakat miskin di X dibagi atas empat kategori. Kategori pertama adalah orang miskin yang memang harus dirawat gratis 100 persen. Kategori kedua, orang miskin dengan KTP X, tetapi tidak mendapatkan kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan menghadapi masalah biaya pelayanan kesehatan. Mereka diberi surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari RT/RW. Kategori ketiga adalah orang miskin yang tidak mempunyai kartu JPK Gakin dan tidak bisa mendapatkan surat keterangan tidak mampu dari RT karena tidak mempunyai KTP X. Dan kategori keempat, orang miskin rujukan nasional dari seluruh Indonesia yang berobat ke X (http://www.sarwono.net/berita.php?id=184).
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di X pada tahun XXXX bertambah sekitar 70.000 orang. Dari sekitar 560.000 orang pada tahun XXXX menjadi 630.000 orang. Pertambahan sekitar 15.000 kelurga miskin hanya diantisipasi dengan penambahan 6.000 kartu gakin baru yang diterbitkan di tahun XXXX. Dinas Kesehatan telah menerbitkan 154.121 kartu gakin sejak tahun XXXX hingga XXXX. Ketidakseimbangan antara jumlah kartu gakin dan warga miskin terlihat dari jumlah pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang mencapai 47.000 keluarga (http://kompas.com/kompas-cetak/0712/15/metro/4080512.htm).
Kemampuan seseorang atau keluarga dalam mengakses/mencapai pelayanan kesehatan adalah berbeda-beda. Bagi orang kaya hal ini bukan merupakan masalah, mereka bisa memilih pelayanan kesehatan sesuai keinginan. Sedangkan bagi keluarga miskin akan menjadi masalah tersendiri. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pemberian pelayanan kesehatan antara lain masyarakat yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan yang tersedia karena keterbatasan sarana dan prasarana, nilai sosial dan budaya masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan/harapan, kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang rendah, serta alokasi dan penggunaan sumber daya untuk penyampaian pelayanan yang tidak memadai (Sukoco dkk, XXXX).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok, dalam hal ini adalah keluarga miskin yang memiliki kartu JPK Gakin. Pengetahuan tentang faktor yang mendorong individu membeli pelayanan kesehatan merupakan informasi kunci untuk mempelajari utilisasi pelayanan kesehatan. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian pelayanan kesehatan berarti juga mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan (Ilyas, XXXX).
Wilayah X merupakan salah satu wilayah administrasi dari Provinsi X. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X, sampai dengan tahun XXXX, jumlah kartu JPK Gakin yang telah didistribusikan kepada keluarga miskin di wilayah X adalah sebanyak 12.085 KK. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun XXXX sebanyak 1.284 KK dari 10.801 KK. Kelurahan X merupakan kelurahan dengan jumlah keluarga miskin paling banyak di kecamatan Jagakarsa yang terlihat dari jumlah keluarga miskin penerima dana BLT tahun XXXX, yaitu sebanyak 209 rumah tangga. Jumlah pemegang kartu JPK Gakin di Kelurahan X berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas adalah sebanyak 106 KK. Pada tahun XXXX total kunjungan pasien pemegang kartu JPK Gakin adalah 89 kunjungan, dengan rata-rata kunjungan 6,99% tiap bulannya.
Hal ini menjadi pertanyaan penting karena pemerintah telah menyediakan sarana pengobatan gratis bagi keluarga miskin, namun sayang hal ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh keluarga miskin. Serta, masih banyaknya warga miskin yang masih kurang memahami dan mengerti betapa pentingnya JPK Gakin.
Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Green (1980) menggambarkan bahwa ada tiga faktor yang mendorong dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor predisposing (meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi), faktor enabling (ketersediaan fasilitas kesehatan, keterjangkauan biaya, jarak dan fasilitas transportasi), dan faktor reinforcing (dukungan dari pemimpin, tokoh masyarakat, keluarga, dan orang tua). Sedangkan Andersen (1975) mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan menjadi 3 kategori, yiatu karakterisetik predisposisi (jenis kelamin, umur, dan status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, kepercayaan kesehatan, dll), karakteristik kemampuan (terdiri dari sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat), dan karakteristik kebutuhan (penilaian individu dan penilaian klinik terhadap suatu penyakit)
Dengan mempelajari pemanfaatan pelayanan kesehatan banyak manfaat yang diperoleh yaitu:
1. Untuk menggambarkan hubungan antara berbagai faktor penentu pemanfaatan pelayanan
2. Untuk memprediksi kebutuhan pelayanan kesehatan masa mendatang.
3. Untuk menentukan distribusi pelayanan kesehatan itu merata atau tidak.
4. Untuk memperkirakan bagaimana cara mengubah atau memanipulasi variabel yang dikehendaki yang terkait dengan kebijakan tertentu.
5. Untuk mengetahui dampak-dampak program kesehatan yang baru. (Azwar, 1998)

1.2 Rumusan Masalah
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan.
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanann kesehatan yang dilihat dari jumlah kunjungan pemegang kartu JPK Gakin di Puskesmas relatif masih rendah, pada tahun XXXX rata-rata pemanfaatan sebesar 6,99% per bulannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini belum diketahuinya gambaran faktor penentu pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas Kelurahan X".

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
2. Bagaimana gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan KK, pekerjaan KK, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
3. Bagaimana gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
4. Bagaimana gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
5. Bagaimana gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
2. Mengetahui gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
3 Mengetahui gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
4 Mengetahui gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi X
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan sebagai penyelenggara Program JPK Gakin di Provinsi X, untuk selalu melakukan pemantauan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin, sehingga dapat disusun perencanaan kesehatan yang lebih baik berkaitan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi keluarga miskin
1.5.2 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sarana evaluasi bagi Puskesmas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin agar keluarga miskin dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan menggunakan kartu JPK Gakin yang dimiliki.
1.5.3 Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Kelurahan X.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X. Penelitian dilakukan selama bulan Mei-Juni XXXX di RW 06 Kelurahan X. Informasi mengenai kareakteristik keluarga miskin, faktor predisposing, faktor enabling, faktor reinforcing dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan diperoleh dari keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin, Kepala Puskesmas, Petugas Gakin Puskesmas dan Ketua RW 06. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (indepth interview).
SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0036) : SKRIPSI GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat termasuk usia lanjut. Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1988 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia dinyatakan bahwa lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan mengakibatkan meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) dari 66,7 tahun untuk perempuan dan 62,9 tahun untuk laki-laki pada tahun 1995 menjadi 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk laki-laki di tahun XXXX. Tahun 2020 diproyeksikan jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun akan berjumlah 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia (Depkes RI, XXXX).
Meningkatnya jumlah penduduk lansia akan menimbulkan permasalahan di berbagai aspek kehidupan lansia, baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Permasalahan tersebut berupa aspek kesehatan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi, kesehatan dan kesejahteraan merupakan masalah yang mendominasi dalam kehidupan mereka.
Pola penyakit lansia menempuh siklus hidup yang panjang sebelum menimbulkan komplikasi dan manifestasi klinik. Awalnya seseorang sehat, dengan bertambahnya usia dan tergantung gaya hidup yang dijalaninya dari lingkungan serta pelayanan kesehatan yang diterimanya, orang tersebut menderita penyakit yang biasanya disebut sebagai faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, kolesterol meninggi dan Iain-lain. Apabila penyakit tersebut tidak terdeteksi atau diobati secara dini maka akan terjadi komplikasi penyakit yang menetap dalam tubuh lansia (Hadisaputro dan Martono, 2000). Berdasarkan statistik rumah sakit pusat rujukan di X diperoleh gambaran bahwa pasien lansia pada umumnya menderita kompleksitas penyakit. Penyakit utama adalah penyakit kardiovaskuler, penyakit paru menahun, tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan, gangguan pencernaan dan penyakit tulang dan sendi (Depkes RI, XXXX).
Martono (2000) mengutip penelitian Sarjadi tahun 1992 yang menemukan adanya perbedaan persentase tingkat keganasan penyakit lansia laki-laki dan perempuan. Pada lansia laki-laki berumur 65 tahun keatas tingkat keganansan penyakit berupa kanker kulit (11,21%) sedangkan lansia perempuan kanker serviks uteri (18,09%). Kondisi ini tentunya menuntut adanya penanganan secara medik melalui peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi khususnya.
Permasalahan penyakit yang dihadapi lansia tersebut karena adanya kemunduran sel-sel (proses penuaan) yang dapat mempengaruhi fungsi dan kemampuan sistem tubuh termasuk syaraf, jantung dan pembuluh darah akan berdampak pada masalah kesehatan keluarga baik secara langsung maupun tidak langsung. Terutama menyangkut masalah psikis yang dirasakan lansia ketika berada di masa klimakterium yaitu dimana masa peralihan yang dilalui seorang wanita dari periode reproduktif ke periode non reproduktif yang dikenal dengan masa menopause atau andropause pada laki-laki. Oleh karena itu merupakan suatu tantangan bagi kita untuk mengupayakan lansia tetap memiliki kesiapan fisik dan mental serta adanya peningkatan perilaku hidup sehat sehingga menjadi sumber daya manusia yang optimal.
Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada lansia, pemerintah melaksanakan pelayanan kesehatan lansia secara komprehensif yang berkesinambungan dan tatalaksana secara tim syang mencakup pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit dan pelayanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit. Sehubungan dengan upaya komprehensif ini diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat, petugas kesehatan dan instansi yang berkaitan melalui pengadaan berbagai kegiatan ceramah, symposium, lokakarya, penyuluhan dan penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat lansia. (Martono, 2000).
Program Bina Keluarga Lansia (BKL) yang dilaksanakan melalui kegiatan posyandu lansia merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit atas kerjasama antara petugas kesehatan dengan masyarakat. Program BKL merupakan suatu wadah yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki lansia untuk mengetahui, memahami, dan mampu membina kondisi dan masalah yang dihadapi lansia. Pada program BKL dituntut peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan lansia diantaranya berupa pemenuhan kebutuhan ekonomi, psikososial dan kesehatan fisik, nutrisi makanan, serta berupaya mendorong lansia agar tetap menanamkan perilaku hidup sehat sehingga lansia tetap sehat bugar dan tidak menjadi beban (BKKBN, XXXX).
Pembinaan kesehatan lansia melalui wadah BKL di posyandu lansia merupakan salah satu pendekatan dari program perawatan kesehatan masyarakat {Public Health Nursing) yang ditujukan untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan adanya pembinaan melalui program posyandu lansia diharapkan terjadi peningkatan perilaku hidup sehat oleh lansia di kehidupan sehari-hari.
Puskesmas X dijadikan salah satu puskesmas percontohan program posyandu lansia di Kota X. Kegiatan BKL merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan lansia. Tujuan kegiatan BKL diadakan agar adanya peningkatan kepedulian keluarga lansia dalam mendukung kualitas hidup lansia melalui keaktifan mereka dalam kegiatan posyandu lansia. Namun berdasarkan cakupan program posyandu lansia tahun XXXX diketahui dari 3547 lansia sebanyak 1189 lansia yang berumur 60 tahun ke atas dan jumlah yang terbanyak di wilayah kerja Puskesmas X dibandingkan dengan puskesmas yang berada di Kota X. Peneliti juga menemukan informasi bahwa rata -rata kunjungan lansia berumur 60 tahun keatas ke posyandu lansia masih sangat sedikit yaitu sekitar 16 lansia di Kelurahan Sei Sekambing D dan 21 lansia di Kelurahan Sei Putih Barat. Sementara banyak dari mereka yang berkeinginan terlibat dalam kegiatan posyandu lansia, namun dengan adanya keterbatasan fisik ditambah kurang dukungan dari keluarga untuk aktif di kegiatan tersebut. Lansia yang berkunjung ke posyandu mempunyai gangguan kesehatan berupa tidak normalnya tekanan darah (16%), Bronchitis (7,4%), Diabetes mellitus (4%), jantung (2%) dan Iain-lain (ginjal, IMT, Osteoporosis) sebesar 8%.
Peneliti menghubungkan kondisi di lapangan dengan pendapat Mangoenprasodjo (XXXX) mengutip dari Wiliam bahwa keluarga adalah jembatan yang menghubungkan seseorang dengan kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya dan berperan dalam membentuk seseorang untuk mandiri mengambil keputusan dalam upaya mempertahankan kualitas hidupnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan perawatan diri lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
2. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
3. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan pemeliharaan kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun
XXXX.
4. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan potensi kecelakaan pada lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
5. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan menarik diri dari lingkungan oleh lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
6. Untuk mengetahui perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan informasi bagi masyarakat khususnya keluarga lansia dalam rangka meningkatkan kesadaran lansia untuk berperilaku hidup sehat.
2. Sebagi informasi bagi lansia agar menyadari sekaligus menerapkan perilaku hidup sehat di kehidupan sehari-hari.
3. Sebagai masukan bagi Puskesmas X dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lansia melalui program posyandu lansia dan meningkatkan upaya promosi kesehatan bagi keluarga lansia.
SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X

SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X

(KODE KES-MASY-0035) : SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE DI KELURAHAN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal mutlak yang harus diperhatikan untuk kemajuan suatu bangsa selain pendidikan dan ekonomi. Derajat kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling mendukung satu sama lain mulai dari lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan hingga genetika yang ada di masyarakat.
Lingkungan adalah salah satu faktor yang memengaruhi derajat kesehatan tersebut. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbulnya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah sebagai reservoir bibit penyakit. Reservoir adalah tempat hidup yang paling sesuai bagi bibit penyakit. Timbul atau tidaknya penyakit pada manusia tergantung dari sifat-sifat yang dimiliki oleh bibit penyakit atau penjamu (Hiswani, XXXX).
Berkaitan dengan lingkungan, salah satu penyakit menular berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak-anak di Indonesia adalah diare. Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian. Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan Case Fatality Rate 15% sampai dengan 34% dari semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, XXXX).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX, menunjukkan angka kematian akibat diare adalah 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita adalah 75 per 100 ribu balita (Depkes RI, XXXX).
Menurut Depkes RI (XXXX), insiden diare berkisar antara 400 kasus per 100 penduduk, di mana 60-70% di antaranya anak-anak di bawah umur 5 tahun. Setiap anak mengalami diare rata-rata 1 sampai 2 kali setahun dan secara keseluruhan, rata-rata mengalami 3 kali episode diare per tahun (Bela dkk, XXXX).
Pada tahun XXXX, terjadi KLB di 16 provinsi dan 44 daerah tingkat dua di Indonesia, dan salah satunya adalah Provinsi X. Jumlah penderitanya sebesar 10.980 dan 77 penderita meninggal dunia akibat penyakit tersebut (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan survei yang dilakukan Bela dkk (XXXX), diare merupakan penyakit yang sering terjadi di wilayah Puskesmas X selama tahun XXXX dengan rincian sebagai berikut

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Dari data di atas dapat dilihat bahwa kejadian angka insidens paling tinggi terjadi di Kelurahan X pada kelompok umur 0-5 tahun sebanyak 46,75 orang per 1000 penduduk .
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000). Perilaku masyarakat erat kaitannya dengan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam meminimalisir terjadinya diare.
Beberapa ahli kesehatan kemudian menemukan bahwa ada dua faktor penting dari keadaan lingkungan yang memengaruhi timbulnya diare, yaitu keadaan air untuk rumah tangga dan fasilitas jamban (Suharyono, 1980; WHO, 1985). Risiko kejadian diare dan diare berulang lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai jamban keluarga, sedangkan penyediaan jamban umum dapat menurunkan prevalensi diare daripada yang tidak mempunyai jamban, begitu juga dengan penyediaan fasilitas air bersih sedekat mungkin dengan pemakai dapat menurunkan risiko diare (Munir, 1983).
Dari profil Kecamatan X diketahui bahwa 88,14 % KK di Kelurahan X masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya, dan 1,34 % masih menggunakan air sungai. Adapun untuk sarana jamban keluarga masih ada 3,73% KK yang belum mempunyai jamban keluarga.
Selain lingkungan, tindakan pencegahan diare juga dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Berdasarkan hasil penelitian Pratama (XXXX) di Bali, ibu balita yang mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah beresiko mengalami kejadian diare.
Menurut Handayani (XXXX) pengetahuan ibu memengaruhi tindakan ibu terhadap pencegahan penyakit diare. Pengetahuan responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan terhadap pencegahan.
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, XXXX).
Menurut Wolinsky (1998) bahwa masyarakat mengembangkan pengertian sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, maka pencegahan penyakit diare yang sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk tergantung persepsi masyarakat tentang diare. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan mengembangkan perilaku-perilaku pencegahan.
Menurut Soemarno (1995), didapatkan persepsi ibu yang salah tentang diare di Boyolali. Menurut ibu penyebab diare ada yang langsung terhadap anak yaitu masuk angin, terlalu lama mandi, makan makanan rasa asam (kecut), dan tidak langsung bila ibu menyusui masuk angin atau makan makanan yang pedas-pedas, air susu menjadi jelek dan anak menderita mencret. Tidak ada kepercayaan bahwa diare disebabkan oleh roh halus. Sehingga persepsi ibu yang salah tentang diare dan penyebabnya menghasilkan perilaku pengobatan diare pada anak sebagai berikut, mula-mula ditangani sendiri dengan ramuan tradisional, bila tidak sembuh diobati dengan pil Ciba yang dijual bebas di warung-warung yang tersebar di desa, bila tetap belum sembuh baru dibawa ke petugas kesehatan.
Menurut Luthans (XXXX), persepsi berperan penting dalam perilaku seseorang, persepsi berhubungan dengan bagaimana individu menanggapi individu lain. Karakteristik penilai dan orang yang dinilai menunjukkan kompleksitas persepsi sosial.
Menurut Rosenstock dalam Muzaham (1995), kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi mereka terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
Berdasarkan data dan hasil penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX".

1.2. Permasalahan
Dari latar belakang di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa penyakit diare khusus pada anak balita merupakan masalah yang cukup penting hari ini mengingat angka kesakitannya yang tinggi, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran ibu sebagai pengasuh terdekat dengan balita untuk melakukan melakukan pencegahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah ada pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Peneltian
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat memberikan informasi tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang penelitian terkait sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian pengembangan berikutnya
3. Untuk pengembangan ilmu, penelitian ini dapat membuktikan teori yang berkaitan sekaligus dapat membuka wacana berpikir untuk pengembangan teori yang sudah ada.
SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

(KODE KES-MASY-0034) : SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya Manusia (DepkesRI, 1999).
Salah satu hal yang penting diupayakan dalam peningkatan sumber daya manusia oleh pemerintah adalah memperbaiki gizi anak balita. Pada usia 0 sampai dengan 59 bulan (Balita) atau dengan istilah lain pada usia anak prasekolah, merupakan pola dasar dalam menciptakan tumbuh kembangnya anak. Karena pada masa ini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh aspek ketahanan makanan (Food Security) dan aspek lain, adanya keamanan makanan (Food Safety) yang di konsumsi untuk anak (Soetjiningsih, 2003).
Memiliki anak yang sehat, cerdas dengan gizi yang seimbang adalah dambaan semua orangtua. Untuk mewujudkannya tentu orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan merawat anak pada umur balita. Proses alamiah dalam pertumbuhan anak tergantung pada perilaku orangtua. Apalagi pada masa usia balita merupakan periode penting dalam perkembangan yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis maupun intelegensianya (Sulistijan, 2001).
Umumnya anak pada usia balita, yang mempengaruhi proses pertumbuhan anak adalah masalah gizinya. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004. Sehingga mengelompokkan berdasarkan prevalensi gizi kurang, kedalam 4 kelompok yaitu rendah (dibawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (30%). Dengan menggunakan pengelompokkan gizi kurang berdasarkan WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (atau 28,47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada tahun 2005-2006 (Nurasiyah, 2007).
Selanjutnya, data dari Departemen Kesehatan RI menyebutkan, pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 % kabupaten dan 56 % kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak 5 juta anak balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 %) termasuk kelompok gizi kurang dan buruk. (www.Depkes.go.id, 2006). Demikian juga data dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi X tahun 2007 bahwa terdapat 18 % (7.002) balita di X masih menderita gizi kurang dan buruk, dari jumlah 38.900 balita (Dinkes X, 2007).
Munculnya kasus gizi buruk pada anak-anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai dan anak menderita penyakit infeksi. Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk terkait ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Depkes RI, 2000).
Masalah gizi buruk bila tidak ditangani secara serius akan mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami lost generation. Dampak lain yang ditimbulkan dari anak penderita gizi buruk adalah kesakitan, kematian, dan penurunan produktivitas yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI, 2006). Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa balita yakni dalam kandungan sampai usia 2 tahun (www. gizi net).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI (2004) yang disalurkan lewat seluruh kabupaten dan kota, telah berupaya menanggulangi masalah gizi buruk dengan melakukan pemanfaatan kembali Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau tumbuh kembang balita, meningkatkan kemampuan petugas kesehatan, mewujudkan keluarga sadar gizi dan memberikan makanan tambahan, MP ASI dan pemberian kapsul vitamin A, menggalang kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta mengaktifkan kembali Si stem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk.
Semua upaya-upaya pemerintah diatas, terkadang dalam melaksanakan programnya dilapangan sering terkendala oleh dana, perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang dibatasi oleh faktor ekonomi, pengetahuan, sikap tidak mendukung program kesehatan dan kurangnya sosialisasi program perbaikan gizi. Demikian juga posyandu yang ada di desa-desa banyak tidak berfungsi, partisipasi masyarakat yang kurang pada dibidang kesehatan apalagi masalah gizi anak balita, sehingga semakin sulit berjalannya program penyuluhan kesehatan dan pemberian makanan tambahan (Www. Gizi. net).
Demikian juga data yang dilaporkan oleh Lembaga PBB Unicef tahun 2008, yang dijaring dari berbagai Kabupaten di Provinsi X. Ratusan Anak Balita ditemukan umumnya gizi kurang, bahkan lebih disayangkan lagi anak-anak tersebut ada yang taraf gizinya menderita gizi buruk. Ardi (2008) "Communication officer UNICEF" Kabupaten X, mengungkapkan bahwa hasil jaringan UNICEF dari ribuan posyandu di Provinsi X, diantaranya ada 3 kabupaten di X yang terdapat balita gizi kurang bahkan ada yang gizi buruk.
Unicef juga melakukan penanganan bagi para balita yang menderita gizi buruk di Provinsi X dengan cara anak balita yang mempunyai status gizi buruk diberikan terapi dengan pemberian Plumpy Nut, dan untuk mengetahui perkembangan selanjutnya dilakukan pengukuran perkembangan status gizi anak pada setiap bulannya di puskesmas terhadap semua balita yang terjaring.
Hasil survei awal (2009) berdasarkan laporan Unicef dan laporan tahunan Dinkes X bahwa Kabupaten X pada tahun 2007 dan 2008 merupakan Kabupaten paling banyak anak yang menderita gizi buruk dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi X. Padahal kabupaten ini mempunyai sumber daya alam laut cukup luas, panjang pantainya 60 km dan lahan pertanian seluas 14.000 hektar serta perkebunan sawit seluas 15.000 hektar, sementara jumlah penduduknya baru 120.000 orang pada tahun 2008 (Disbun X, 2008).
Pemerintah Kabupaten X melalui Dinas Kesehatan mengumpulkan data anak penderita gizi buruk dari 10 puskesmas, bahwa terdapat balita yang gizi buruk laki-laki berjumlah 130 orang, gizi kurang balita laki-laki 353 orang, sedangkan balita yang gizi buruk perempuan berjumlah 147 orang, gizi kurang balita perempuan sebanyak 343 orang. Sehingga balita yang mengalami gizi buruk di X berjumlah 277 orang yang tersebar di 8 kecamatan dalam Kabupaten X (Dinkes X, 2008).
Untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten X, upaya yang sudah pernah dilakukan pemerintah daerah, antara lain membuat tim Operasi Sadar Gizi (OSG) yang di ketuai oleh Ibu PKK, melaksanakan sistim kewaspadaan dini yang intensif dilakukan oleh Dinas Kesehatan, memberikan makanan tambahan balita selama enam bulan berturut-turut MP ASI berupa susu, kacang hijau, memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan melalui 132 posyandu. Disamping itu, Ibu PKK dan Dinkes X terus mengamati perkembangan anak-anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dari minggu ke minggu, sehingga diharapkan anak-anak balita mengalami pemulihan pertumbuhan fisik dan berat badannya (Dinkes X,2007).
Selanjutnya laporan Dinas Kesehatan X (2008), umumnya anak-anak mengalami gizi buruk di X disebabkan oleh faktor keterbatasan pengetahuan orangtua, faktor kemampuan ekonomi rumah tangga yang tidak memadai dan ada faktor penyakit infeksi serta faktor tradisi/kebiasaan orangtua di daerah pedesaan X, bahwa adanya budaya karena terdesak oleh ketidak mampuan untuk membeli ikan, membatasi anak-anak untuk mengkonsumsi ikan berlebihan diyakini dapat mengakibatkan perut buncit dan cacingan, padahal ikan mempunyai protein yang tinggi. Namun diantara 4 faktor tersebut yang dominan adalah faktor perilaku yaitu keterbatasan pengetahuan, sikap dan tindakan orangtua terhadap anak-anak balita penderita gizi buruk yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dari uraian diatas, ternyata di Kabupaten X masih banyak terdapat anak balita penderita gizi buruk, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, dan ini merupakan tantangan dalam bidang kesehatan, sehingga tertarik untuk meneliti "Gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui gambaran sikap orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di kabupaten X.
3. Untuk mengetahui gambaran tindakan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat:
1. Sebagai masukan bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat program kebijakan kesehatan untuk mengatasi anak balita penderita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi mengenai gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
3. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

(KODE KES-MASY-0033) : SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya hams melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN lainnya (Supariasa,dkk 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmic kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmic kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, E, 2000).
Pudjiadi (1990) juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena pada umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan Iain-lain.
Anak yang mengalami gizi buruk disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut penyebab langsung yaitu tidak mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita dan penyakit infeksi dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan lingkungan (Dinkes Propsu, 2006).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak (27,5%) kurang gizi. 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari (Arifin, 2007).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X (2009), ditemukan gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), sementara balita yang gizi kurang sebanyak 6.545 balita (8,9%). Kasus gizi buruk tertinggi di kota X terdapat di Kecamatan X yang mencapai 55 balita dan gizi kurang sebanyak 174 balita. Sementara di daerah X Timur ada 7 balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 16 balita.
Anak balita gizi buruk umumnya akan di rawat di rumah sakit, karena di rumah sakit terdapat upaya untuk mengobati penyakit penderita (kuratif), disamping upaya-upaya lain seperti promotif, preventif dan rehabilitatif. Dalam melakukan perawatan anak balita gizi buruk, RS X merupakan rumah sakit rujuk tertinggi di wilayah X, baik bagi pengunjung rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan data RS X tahun 2009, ditemukan sebanyak 34 anak balita gizi buruk yang di rawat inap dan 16 balita gizi buruk rawat jalan pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2009.
Anak balita gizi buruk yang menjalani perawatan dari pelayanan kesehatan rumah sakit, status gizi anak balita gizi buruk tersebut setidaknya akan mengalami peningkatan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau bahkan bisa berubah menjadi normal. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya penumnan status gizi yang lebih parah lagi dalam kumn waktu beberapa minggu atau bulan karena pada kumn waktu tersebut adanya perubahan status gizi akan dapat dilihat kembali. Perubahan status gizi tersebut disebabkan oleh faktor tertentu seperti komplikasi penyakit dan pemberian makanan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana perubahan berat badan anak balita gizi buruk tahun 2009 yang dirawat di RS X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan berat badan anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
2. Mengetahui komplikasi penyakit anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
3. Mengetahui jumlah pemberian energi dan protein anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
4. Mengetahui terapi diet dan penyakit anak balita gizi buruk.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada pihak mmah sakit tentang perubahan berat badan anak balita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai status gizi anak balita gizi buruk pada awal dan akhir rawat inap.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi semua pihak yang terkait dalam meningkatkan pelayanan terhadap anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(KODE KES-MASY-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) dan berlangsung kurang dari 14 hari yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita dengan disertai muntah dan mencret, penyakit diare apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi (Depkes RI, 2002).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (www.esp.or.id).
Berdasarkan data profil Kota X Tahun 2007, jumlah balita yang terkena diare sebanyak 26.888 jiwa sedangkan untuk wilayah Kecamatan X ada 1.434 balita yang terkena diare. Jumlah penderita balita diare di Kecamatan X termasuk urutan ketiga tinggi dari 12 Kecamatan yang ada di Kota X. Berdasarkan data profil Puskesmas X Tahun 2006-2008 bahwa jumlah penderita balita diare meningkat, yaitu sebanyak 1.547 menjadi 2.980 kasus.
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Jika makanan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).
Pada pola hidup lalat, tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang. Selain itu, tempat yang disenangi oleh lalat adalah timbunan sampah yang sebagai tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo, 2007). Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Timbulan sampah dapat memburuk bila pengelolaan di masing-masing daerah masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat berkembangbiaknya vektor penyakit.
Kota X sebagai salah satu kota yang berkembang dengan pesat juga tak luput dari permasalahan penanganan sampah. Timbulan sampah yang terdapat di Kota X merupakan sampah domestik yaitu sampah yang berasal dari pemukiman dengan jumlah 3.408 ton/hari, sampah pasar/pertokoan 438 m3/hari, dan jumlah sampah lain-lain 719 m3.
Penanganan akhir dari sampah Kota X yaitu dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah X yang berdekatan dengan pemukiman penduduk Kelurahan Sumur Batu. TPA X mempunyai luas area 12 ha dengan kapasitas 3408 m3/hari.
Sistem penanganan sampah yang digunakan pada TPA X adalah sistem control landfill yang merupakan pengembangan dari pengeolahan open land dumping. Sistem control landfill sampah memiliki kelemahan, salah satunya menjadi tempat berkembangbiaknya lalat.
Menurut hasil pencatatan pengukuran tingkat kepadatan lalat yang dilakukan oleh Sie Penyehatan Lingkungan Dinkes X tahun 2004 di lingkungan TPA X dan sekitarnya adalah sangat padat.
Pengukuran rata-rata yang dilakukan seperti pada jarak 100 meter dari kantor masuk TPA berjumlah 22,6 ekor/grill, pemukiman RT 04/04 kelurahan Sumur Batu berjumlah 18,6 ekor/grill, dan pemukiman pemulung berjumlah 31,4 ekor/grill.
Jarak lokasi penanganan sampah akhir dengan pemukiman rumah penduduk ± 200 meter sedangkan jarak terbang lalat efektif adalah 450-900 meter sehingga mempermudahkan lalat untuk hinggap dimana saja, terutama di pemukiman penduduk.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota X terletak berdekatan dengan rumah penduduk di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X. Dari observasi pendahuluan di rumah penduduk di sekitar lokasi TPA terlihat masih banyak lalat dan beradasarkan data Dinkes Kota X kepadatan lalat pada sekitar lokasi TPA termasuk kategori padat. Disisi lain, Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota X dimana kasus diare menjadi masalah karena jumlah kasusnya yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 2.890 kasus

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya angka gambaran kepadatan lalat di rumah penduduk balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
2. Diketahuinya gambaran kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
3. Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
4. Diketahuinya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA, meliputi: karakteristik balita (status gizi, imunisasi campak, dan pemberian ASI eksklusif), perilaku ibu balita (mencuci tangan dan menutup makanan), dan sumber air (air bersih dan air minum)

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan penyusunan program lintas sektoral dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan TPA X.
2. Berguna dalam perencanaan dan penyusunan program pemberantasan penyakit diare dan antisipasi terhadap kejadian penyakit diare pada balita sekitar TPA X.
3. Sebagai wahana dalam pengembangan intelektual serta menambah pengalaman penulis

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TPA X, Kecamatan X Kota X. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni tahun XXXX dengan populasi penelitian adalah balita yang tinggal di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X Kota X. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran tingkat kepadatan lalat dan penyakit diare diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan wawancara kepada responden dan pengukuran tingkat kepadatan lalat.
SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam GBHN 1993 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya. Pada Repelita VI tercantum bahwa tujuan pokok dari pembangunan kesehatan antara lain pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan kematian serta peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima masyarakat. Salah satu target yang ingin dicapai dengan pembangunan kesehatan adalah penurunan angka kesakitan dan kematian pada kelompok rentan, salah satunya pada kelompok anak-anak di bawah lima tahun. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur adalah 280/1000 penduduk dan pada golongan balita adalah 1,5 kali pertahun (Depkes RI. 2000).
Dengan adanya rumusan tersebut, maka lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang konduksif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa dan agama (Depkes RI, 1999).
Lingkungan yang tidak sehat akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Lingkungan juga sangat berperan terhadap tersedianya air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat harus memenuhi kualitas air yang diatur dalam Permenkes No. 416 Tahun1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar 35%. Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000 penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2004).
Secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita yaitu 55%. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur pada tahun 2000 adalah 301/1000 atau 3,01%, cenderung meningkat dibanding angka kesakitan diare pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2002) yang meunjukan bahwa cakupan air bersih dan insiden diare mempunyai hubungan yang sedang r = 0,365 dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pValue < α (0,048) dan berdasarkan hasil penelitian Sutomo (1986) yang mengemukakan bahwa penggunaan air tidak tercemar dan penggunaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mengurangi angka kejadian diare dan kematian diare.
Berdasarakan data Kecamatan X pada tahun XXXX-XXXX mengenai cakupan program kesehatan lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas X sebagai berikut :

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas X kasus diare tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 2.629 kasus dengan jumlah prevalensi 5,12% dan pada tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 3.265 kasus dengan jumlah prevalensi sebesar 5,36%.

1.2 Perumusan Masalah
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja (jamban), apabila kedua faktor tersebut tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Puskesmas X sebagai institusi yang berperan penting dalam deteksi dini kejadian penyakit dan pencegahan kejadian penyakit diwilayah kerjanya, telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare sesuai peraturan atau sesuai dengan syarat kesehatan, namun kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur sebesar 5,12% pada tahun XXXX dan 5,36% di Puskesmas X tahun XXXX. Karena itu diperlukan suatu identifikasi mengenai hubungan jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan jamban dengan kejadian diare agar upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dapat berlangsung dengan baik.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
2. Diketahuinya jenis sumber air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
3. Diketahuinya kondisi fisik air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
4. Diketahuinya karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
5. Diketahuinya perilaku responden tentang kebiasaan mencuci tangan (sebelum dan sesudah makan, setelah BAB) menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
6. Diketahuinya perilaku responden tentang mencuci peralatan makan menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
7. Diketahuinya jenis jamban di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
8. Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
9. Diketahuinya hubungan antara kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
10. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
11. Diketahuinya hubungan antara perilaku responden tentang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan setelah BAB dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
12. Diketahuinya hubungan antara jenis jamban dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, terutama untuk :
1. Didapatnya informasi tentang jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan kejadian diare sebagai bahan evaluasi bagi Puskesmas dan sebagai bahan intervensi dalam pencegahan diare dan sebagai dasar pengambilan kebijakan pada tahun yang akan datang.
2. Sumber literatur bagi mahasiswa yang membutuhkan dan dapat menambah wacana penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat dan tentang jenis dan kondisi air bersih dan kejadian diare.
3. Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat selama pendidikan, menambah pengalaman dalam bidang penelitian dan mengetahui kondisi sanitasi dasar yang merupakan salah satu faktor untuk mencapai derajat kesehatan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisa data primer dan analisa data sekunder pada jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih serta kejadian diare. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari data yang ada pada laporan Program Kesehatan Lingkungan dan Laporan Tahunan Diare Puskesmas X dan kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember XXXX dengan desain penelitian Cross Sectional dan analisa yang digunakan adalah analisa Univariat dan analisa Bivariat.
SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE KES-MASY-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sebelas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan (IPCC, 2007).
Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan. Hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah, kini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia, sehingga sifat kejadiannya pun menjadi lebih cepat dan drastis. Hal itu kemudian mendorong timbulnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan pada proses alam (Depkes, XXXX).
Masalah yang kini dihadapi manusia adalah sejak dimulainya revolusi industri 250 tahun yang lalu, emisi gas rumah kaca (GRK) semakin meningkat dan menebalkan selubung GRK di atmosfer dengan laju peningkatan yang signifikan. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya perubahan paling besar pada komposisi atmosfer selama 650.000 tahun. Iklim global akan terus mengalami pemanasan dengan laju yang cepat dalam dekade-dekade yang akan datang kecuali jika ada usaha untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfer (IPCC, 2007).
Efek rumah kaca merupakan fenomena dimana atmosfir bumi berfungsi seperti atap kaca pada sebuah rumah kaca. Sinar matahari dapat tembus masuk, namun panasnya tidak dapat keluar dari rumah kaca tersebut. Akibatnya, lama-kelamaan temperatur bumi terus meningkat dan terjadilah pemanasan global. Seperti es yang meleleh karena panas, salju di kutub pun mencair akibat memanasnya suhu bumi dan menimbulkan perubahan-perubahan di alam. Perubahan inilah yang kemudian memberikan dampak yang nyata pada kehidupan kita (Depkes, XXXX).
Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan, tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi daripada yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (IPCC dalam UNDP, 2007).
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi dan akan meningkatkan risiko baik bagi yang muda maupun para lansia karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya (Sintorini, 2007). Perubahan iklim memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru. Hal itu sudah terjadi di tahun El Niño 1997 ketika nyamuk berpindah ke dataran tinggi di Papua. Suhu lebih tinggi juga menyebabkan beberapa virus bermutasi, yang tampaknya sudah terjadi pada virus penyebab demam berdarah dengue, yang membuat penyakit ini makin sulit diatasi. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. Kasus demam berdarah dengue di Indonesia juga sudah ditemukan meningkat secara tajam di tahun-tahun La Niña (UNDP, 2007).
Menurut ramalan cuaca dari Pusat Ramalan Iklim (CPC), Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), curah hujan di Indonesia akan berada di atas rata-rata selama Januari-Maret 2009, sebagai dampak dari fenomena La Nina, yang kini sedang berkembang di Belahan Bumi Utara Khatulistiwa. La Nina merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan Timur ekuator di Lautan Pasifik. Berdasarkan observasi dan kecenderungan-kecenderungan akhir-akhir ini, kondisi La Nina tampaknya akan terus berkembang di musim Semi 2009 di Belahan Bumi Utara. Salah satu dampak dari La Nina adalah curah hujan di Indonesia dia atas rata-rata.
Sejak berjangkit di Indonesia pada tahun 1968 penyakit DBD cenderung menyebar luas dan meningkat jumlah penderitanya. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan kepadatan penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi dan tersebar luasnya virus dengue serta nyamuk penularnya di berbagai wilayah (Ditjen P2M&PL, XXXX).
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor primer), Aedes albopictus (vektor sekunder) dan Aedes scutellaris (Indonesia Timur). Data WHO (2000) menunjukkan diperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue.
Di Asia Tenggara, penyakit DBD telah dikenal selama 40 tahun. Kasus terbanyak dilaporkan dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Ketiga negara tersebut telah memiliki sistem surveilans yang komprehensif. Setiap dekade, jumlah kasus DBD di Asia Tenggara meningkat dari 50.000 kasus per tahun (1970), 165.000 kasus per tahun (1980), dan 200.000 kasus per tahun (1990) (CDC).
Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Kunci pengendalian demam berdarah adalah pengendalian DBD berbasis wilayah, yakni pengendalian kasus dan berbagai faktor risiko secara simultan (Achmadi, 2007).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam timbul dan penyebaran penyakit DBD, baik lingkungan biologis maupun fisik. Pengaruh iklim misalnya berupa pengaruh hujan, yang dapat menyebabkan kelembaban naik dan menambah jumlah tempat perindukan (Kusumawati, 2007). Menurut Soegijanto S. (2003), faktor lingkungan fisik yang berperan terhadap timbulnya penyakit DBD meliputi kelembaban nisbi, cuaca, kepadatan larva dan nyamuk dewasa, lingkungan di dalam rumah, lingkungan di luar rumah dan ketinggian tempat tinggal. Unsur-unsur tersebut saling berperan dan terkait pada kejadian infeksi virus dengue.
Variabel iklim antara lain fenomena El Niño, kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim berpengaruh pada berkembangbiaknya populasi nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus.. Kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim sangat berpengaruh pada penyerapan dan kelembaban tanah. Kenaikan permukaan air laut di daerah Pasifik sangat terkait dengan perkembangbiakan nyamuk penyebab Demam Berdarah. Perubahan iklim menjadi penyebab penting terjadinya penyakit. (Fuller, 2009).
Lebih jauh lagi, iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang berbeda. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria dan demam kuning berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat (Sintorini, 2007). Banyak yang menduga bahwa KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi (Burke dalam Sintorini, 2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menempati peringkat pertama sebagai daerah yang rentan perubahan iklim se-Asia Tenggara berdasarkan survei Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA). Wilayah Jakarta sangat rentan terhadap bencana yang terkait perubahan iklim, salah satunya akibat dari tingginya angka kepadatan penduduk. Hampir semua wilayah DKI masuk wilayah paling rentan dengan perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji seperti Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos PDR, Vienam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Dari 10 besar tersebut, tiga wilayah kota administrasi di DKI Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat menempati urutan pertama, posisi kedua Jakarta Utara, posisi ketiga Jakarta Barat. Sedangkan X masuk dalam urutan kelima, dan Jakarta Selatan masuk dalam urutan kedelapan. Sementara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah rentan perubahan iklim (www.metro.vivanews.com).
Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural), curah hujan akibat aliran konvektif sering terjadi di kota Jakarta sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural) yaitu sebesar 1-3 hari, serta arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan laju angin rata-rata 4 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya gedung-gedung tinggi yang menghambat laju kecepatan angin (BMG).
Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue (UNDP, 2007).
Peningkatan hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan membuat tempat pemberantasan nyamuk baru. Di tempat dengan iklim tropis basah, musim kemarau dapat menyebabkan arus sungai melambat dan menjadikannya kolam stagnan yang menjadi habitat ideal bagi vektor untuk tempat pemberantasan nyamuk. Sedangkan kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vektor serangga. Nyamuk akan lebih mudah mengalami dehidrasi dan pertahanan hidup menurun pada kondisi kering (WHO, 2003).
Selain itu, DBD merupakan penyakit musiman yang biasanya berhubungan dengan cuaca lebih hangat dan lebih lembab. Suhu ekstrim mengancam ketahanan hidup virus penyebab penyakit, tetapi perubahan pada suhu memungkinkan efek bervariasi. Suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus hidup organisme vektor dan virus yang kemudian mampu meningkatkan transmisi potensial pada kejadian penyakit demam berdarah dengue. Jika suhu rendah dengan adanya sedikit peningkatan suhu akan meningkatkan perkembangan, inkubasi dan replikasi virus. Selain itu, suhu dapat memodifikasi pertumbuhan vektor pembawa penyakit dengan mengubah tingkat gigitan mereka. Sama seperti mempengaruhi dinamika populasi vektor dan mengubah tingkat kontak dengan manusia. Pergantian suhu dapat mengubah musim transmisi. Vektor pembawa penyakit bisa beradaptasi pada perubahan suhu dengan mengubah distribusi geografis (WHO, 2003).
Pada musim pancaroba, kasus DBD sangat meningkat, hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dalam menggigit. Suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan virus dengue. Di seluruh dunia diasumsikan setiap tahunnya terdapat 50 sampai 100 juta penderita demam dengue (DD) dan 250 hingga 500.000 penderita DBD. Di samping itu, DBD merupakan penyebab utama perawatan dan kematian anak di Asia (www.menkokesra.go.id).
Demam berdarah dengue sudah empat puluh tahun ada di Indonesia, sejak tahun 1968 dan sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia karena terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Letak geografis dan iklim tropis di Indonesia sangat mendukung semakin berkembangnya penyakit ini. Penyakit DBD telah menjadi penyakit endemik di kota-kota besar di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Hingga saat ini jumlah kasus DBD dan daerah terjangkit terus meningkat. Setiap tahun terjadi KLB DBD dibeberapa provinsi.
Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat DKI Jakarta. X masih tercatat sebagai wilayah yang masih berada di "zona merah", dengan jumlah pasien tertinggi. Pada tahun XXXX, di X tercatat 6.869 kasus, merupakan yang tertinggi di antara lima wilayah DKI yang lain. Demikian pula pada tahun 2005, kasus DBD di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun XXXX lebih tinggi dari 2005, tetapi jumlah kasus tertinggi tetap terjadi di X, yaitu 6.732 kasus. Begitu juga pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Pada bulan Februari 2009, X menempati urutan kedua dengan 14 kelurahan zona merah, yaitu, Jatinegara, Penggilingan, Pulo Gebang, Ciracas, Duren Sawit, Klender, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Bidara Cina, Rawa Bunga, Cawang, Makasar, Pekayon, dan Kayu Putih (Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X, 2009).

1.2 Rumusan Masalah
Dalam 25 tahun terakhir suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C, suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural) dan curah hujan juga sering terjadi di kota Jakarta, sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural). Begitu juga dengan rata-rata suhu udara di Kota Administrasi X mengalami peningkatan, 27,4°C (XXXX) menjadi 27,5°C (XXXX), sedangkan rta-rata kelembaban mengalami penurunan 78% (XXXX) menjadi 74,2% (XXXX) dan rata-rata curah hujan terus mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya (BMKG, 2005). Angka kejadian kasus DBD di X, juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 per 100.000 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan perubahan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) dapat meningkatkan risiko kejadian DBD di X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah "Apakah ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara)".

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
2. Diperolehnya distribusi kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
3. Diperolehnya hubungan antara kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan faktor iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara), serta dapat menyajikan suatu studi di bidang kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan lingkungan dengan menggunakan kaidah ilmiah sebagai latihan untuk menerapkan disiplin ilmu yang sudah dipelajari dalam bentuk tulisan ilmiah.
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini menjadi bahan tambahan ilmu untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan dan dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
1.5.3 Bagi Pemerintah Kota Administrasi X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kejadian penyakit demam berdarah dengue dan faktor-faktor iklim yang mempengaruhinya, sehingga dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembuatan program-program pencegahan dan pemberantasan DBD yang sesuai dengan keadaan lingkungan pada tahun-tahun yang akan datang.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan curah hujan, kelembaban dan suhu udara dengan kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X pada tahun XXXX-XXXX. Desain penelitian ini merupakan studi ekologi menurut waktu. Unit analisis penelitian ini adalah semua penderita demam berdarah dengue dan parameter kualitas udara ambien (curah hujan, kelembaban dan suhu udara). Data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada data sekunder yaitu data angka tersangka kasus demam berdarah dengue tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X dan data iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi X.