Search This Blog

Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts
Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts

SKRIPSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH INKLUSI DI SD

(KODE : PENDPGSD-0018) : SKRIPSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH INKLUSI DI SD

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Selain itu, pendidikan termasuk di dalam konsepsi Hak Asasi Manusia, yaitu hak atas pendidikan yang termasuk dalam wilayah hak atas ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, maka siapapun warga Negara dari berbagai budaya, kalangan ekonomi tinggi maupun rendah, baik itu yang terlahir normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Hak untuk mendapatkan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (2) berbunyi : warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus.
Suparno (2007 : 1-1) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya.
Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) terselenggara di Sekolah Luar Biasa (SLB), namun program tersebut mengalami kendala. Istiningsih (2005 : 12-13) menyatakan bahwa pendidikan bagi anak yang berkelainan diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Lokasi SLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian anak-anak berkelainan, karena faktor ekonomi terpaksa tidak disekolahkan oleh orang tuanya karena lokasi SLB jauh dari rumahnya, sedangkan SD terdekat tidak bersedia menerima karena tidak mampu melayaninya.
Memperhatikan hal tersebut di atas, dan juga guna menghindari adanya diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus, maka muncullah sekolah inklusi yang merupakan model terkini dari model pembelajaran bagi anak luar biasa yang secara formal. Kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada konferensi dunia tentang pendidikan berkelainan pada bulan juni 1994. Misyad (dalam Saputra : 2011) mengemukakan bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Abdurrahman (2003 : 27) menyatakan bahwa tujuan pendidikan tidak selamanya terprogram, terkontrol, dan terukur. Menjadikan anak-anak saling menghargai, menjalin kerjasama, menghargai pikiran dan perasaan orang lain, tenggang rasa adalah beberapa contoh dari tujuan pendidikan yang tidak selamanya terprogram, terkontrol dan terukur. Untuk mencapai tujuan pendidikan semacam itu, sering diperlukan integrasi antara anak-anak luar biasa dengan anak-anak lain pada umumnya atau yang sering disebut 'anak normal'.
Salamanca (1994 : pasal 2) menyatakan bahwa : Sekolah regular dengan orientasi inklusi ini merupakan tempat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih jauh, sekolah tersebut memberikan pendidikan yang efektif kepada sebagian besar anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menjadi sistem pendidikan yang paling ekonomis.
UNESCO (dalam Stubs 2002 : 40 ) mengemukakan bahwa sebuah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi merupakan sekolah yang memperhatikan pengajaran dan pembelajaran, pencapaian, sikap, dan kesejahteraan setiap anak. Sekolah efektif adalah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi.
Di dalam sekolah inklusi, anak normal dan anak berkebutuhan khusus belajar di satu kelas. Menurut Smith pendidikan inklusi (2006 : 18) adalah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk di dalamnya siswa yang berlainan.
Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010-2014 menyatakan bahwa dalam rangka pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, program pendidikan untuk semua yang inklusi diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal dengan sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta berkesetaraan gender agar dapat menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil serta mereka yang mempunyai kendala ekonomi dan social. Paradigma ini menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik dan mental untuk mendapatkan pendidikan yang setara.
Menurut survey yang dilakukan penulis, sekolah yang menerapkan sekolah inklusi masih sangat sedikit, hal ini disebabkan karena guru belum mempunyai keterampilan khusus untuk menangani anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Selain itu, manajemen pembelajaran yang diterapkan juga harus memperhatikan kebutuhan siswa secara khusus.
Dari beberapa sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi ini, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang MANAJEMEN PEMBELAJARAN SEKOLAH INKLUSI.
SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK

SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK

(KODE : PG-PAUD-0072) : SKRIPSI VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ada suatu ungkapan "seorang guru yang tidak bisa bercerita ibarat orang yang hidup tanpa kepala" betapa tidak, bagi para pengasuh anak-anak (guru, tutor) keahlian bercerita merupakan salah satu kemampuan yang wajib dimiliki. Melalui metode bercerita inilah para pengasuh mampu menularkan pengetahuan dan menanamkan nilai budi luhur pekerti luhur secara efektif, dan anak-anak menerimanya dengan senang hati. Pada saat ini begitu banyak cerita yang tersebar, namun masih jarang tulisan dari para ahli cerita, yang mampu mengarahkan secara khusus untuk ditujukan kepada anak-anak usia dini, sehingga penceritaan yang disampaikan kurang mengena. Apalagi model cerita yang khusus didasarkan pada material kurikulum pengajaran di TPA/KB/RA/BA/TK yang berlaku. Padahal panduan praktis semacam ini sangat dibutuhkan oleh tenaga pendidik di nusantara. Pada umumnya mereka masih terbatas kemampuannya tentang metode bercerita.
Anak Usia Dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan yang pesat. Dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang berharga dibanding usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dengan karakteristik, baik secara fisik, psikis, sosial, dan moral. Anak pada usia dini memiliki kemampuan belajar luar biasa, khususnya pada masa awal kanak-kanak keinginan anak untuk belajar menjadikan anak aktif dan eksploratif. Anak belajar dengan seluruh panca indranya untuk memahami sesuatu dan dalam waktu singkat anak beralih ke hal lain untuk dipelajari. Lingkunganlah yang kadang menjadi penghambat dalam mengembangkan kemampuan belajar anak dan seringkali lingkungan mematikan keinginan anak untuk bereksplorasi.
Masa kanak-kanak merupakan masa paling penting karena merupakan pembentukan kondisi kepribadian yang menentukan pengalaman anak selanjutnya, karakteristik anak usia dini menjadi mutlak dipahami untuk memiliki generasi yang mampu mengembangkan diri secara optimal mengingat pentingnya usia tersebut. Mengembangkan kreatifitas anak memerlukan peran penting pendidikan hal ini secara umum sudah banyak dipahami. Anak kreatif memuaskan rasa ingin tahunya melalui berbagai cara seperti bereksplorasi, bereksperimen dan banyak mengajukan pertanyaan pada orang lain. Suratno (2005 : 19) menjelaskan anak kreatif dan cerdas tidak terbentuk dengan sendirinya. Melainkan perlu pengarahan salah satunya dengan memberi kegiatan yang dapat mengembangkan kreatifitas anak.
Fenomena yang ada selama ini kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya masih rendah. Hal ini dapat diketahui dengan masih banyaknya orang-orang yang belum mampu menghasilkan hasil karya sendiri. Mereka masih meniru karya orang lain. Keadaan tersebut disebabkan karena kurangnya pengembangan kreatifitas sejak usia dini. Anak-anak usia dini pada khususnya TK X juga masih memiliki daya kreatifitas yang rendah. Dari sejumlah 18 anak baru 16,67% yang mampu menyerap pembelajaran.
Permasalahan tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya media pembelajaran kurang menarik, pembelajaran yang hanya menitikberatkan pada membaca dan berhitung saja dan penggunaan metode yang statis sehingga membuat anak bosan dan kurang dapat memunculkan ide kreatifnya. Selain itu penggunaan metode bercerita kurang optimal ditetapkan diterapkan di TK X. Kegiatan yang biasa dilakukan untuk mengembangkan kreatifitas antara lain dengan musik, mengunjungi pameran, olah raga, bercerita dan lain-lain.
Bercerita dengan buku cerita adalah sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan di TK X untuk mengembangkan kreatifitas anak. Buku cerita sangat disenangi hampir semua anak apalagi kalau buku cerita tersebut berupa cerita ilustrasi bagus dengan sedikit permainan yang melibatkan mereka. Anak-anak akan merasa terlibat dalam petualangan dan konflik-konflik yang dialami karakter-karakter didalamnya, sehingga membaca pun akan semakin menyenangkan. Permainan adalah kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa ada paksaan, tanpa didesak olah rasa tanggungjawab. Anak-anak suka bermain karena di dalam diri mereka terdapat dorongan batin dan dorongan mengembangkan diri.
Pengalaman yang dialami anak usia dini berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya, pengalaman tersebut akan bertahan lama tidak terhapus hanya tertutupi, suatu saat jika ada rangsangan terhadap stimulan pengalaman hidup yang pernah dialami maka efek tersebut akan muncul lagi, dalam bentuk yang berbeda. Kreatifitas anak yang tinggi akan mendorong anak belajar dan berkarya lebih banyak sehingga suatu hari mereka dapat menciptakan hal-hal baru di luar dugaan kita. Bercerita menjadi stimulasi yang berdampak positif bagi perkembangan kreatifitas anak. Anak terbiasa berkonsentrasi pada suatu topik, berani mengembangkan kreasinya, merangsang anak untuk berfikir secara imajinasi serta bertambah perbendaharaan kata baru.
Kenyataan di lapangan bahwa kegiatan bercerita masih belum mampu mengembangkan kreatifitas anak di TK X. Guru masih menggunakan buku yang sama dalam bercerita sehingga anak merasa bosan dan tidak tertarik dengan materi yang disampaikan. Mengingat hal yang dipaparkan diatas maka penulis memilih penelitian dengan judul "VARIASI TEMA CERITA YANG DIGUNAKAN DALAM PEMBELAJARAN DI TK X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Kreatifitas kurang mendapat perhatian karena sistem pendidikan yang lebih mengembangkan kemampuan akademik seperti membaca dan berhitung.
2. Bercerita dengan buku cerita yang bervariasi belum dilakukan oleh pendidik padahal hal ini bisa menjadi salah satu metode bercerita yang menarik bagi anak.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Tema-tema cerita apa saja yang digunakan guru dalam pembelajaran bercerita dengan buku cerita ?
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi guru dalam mengembangkan tema bercerita ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 
1. Mengetahui tema-tema cerita apa saja yang dipergunakan guru dalam pembelajaran dengan menggunakan metode bercerita.
2. Mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi guru dalam pengembangan metode bercerita.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan bagi peneliti tentang bagaimana cerita dapat meningkatkan kreatifitas anak.
2. Manfaat Praktis
a. Mempermudah hal yang dipelajari
b. Mempermudah pelaksanaan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan.
c. Meningkatkan mutu TK melalui peningkatan prestasi anak dan kinerja guru.

SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

(KODE : PG-PAUD-0071) : SKRIPSI TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi pada anak secara fungsional. Perkembangan anak meliputi beberapa aspek perkembangan. Salah satu aspek yang penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan lainnya (Halida, 2011 : 27).
Perkembangan bahasa memerlukan beberapa kemampuan, yaitu berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan menggunakan bahasa isyarat. Keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang, termasuk anak-anak. Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan setiap hari mulai kita bangun tidur hingga akan tidur kembali sebagai sarana untuk berkomunikasi.
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Menurut Hurlock (1978 : 185) belajar berbicara mencakup tiga proses terpisah, tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengucapkan kata, membangun kosakata, dan membentuk kalimat. Kegagalan menguasai salah satunya akan membahayakan keseluruhan pola bicara. Oleh karena itu, Peraturan Menteri No. 58 (2009 : 10) menyebutkan bahwa tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-<6 bahasa="" banyak="" berhitung="" berkomunikasi="" bunyi="" cerita="" dalam="" dan="" dengan="" diperdengarkan.="" dongeng="" gambar="" ide="" kalimat-predikat-keterangan="" kalimat="" kata-kata="" kata="" kelompok="" kompleks="" lain="" lebih="" lengkap="" lingkup="" lisan="" melanjutkan="" meliputi="" membaca="" memiliki="" mengekpresikan="" mengenal="" mengungkapkan="" menjawab="" menulis="" menyebutkan="" menyusun="" orang="" p="" pada="" perbendaharaan="" perkembangan="" persiapan="" pertanyaan="" pokok="" sama="" sebagian="" secara="" sederhana="" serta="" simbol-simbol="" struktur="" tahun="" telah="" untuk="" yang="">
Kemampuan berkomunikasi pada awal masa kanak-kanak masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik (Hurlock, 1990 : 109). Hal ini dapat dilihat berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat anak yang belum mampu mengekspresikan ide pada orang lain. Sebagai contoh, pada saat guru meminta anak maju untuk menceritakan pengalaman anak, anak belum mampu menceritakan secara rinci. Permasalahan ini perlu diatasi melalui peningkatan kemampuan komunikasi pada anak yang dapat dilakukan melalui metode bermain.
Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Bermain memiliki fungsi memberikan efek positif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Montessori, sebagaimana dikutip oleh Sudono dalam buku "Manajemen PAUD" (Suyadi, 2011) bahwa ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, anak yang bermain adalah anak yang menyerap berbagai hal baru di sekitarnya seperti kosakata. Pemilihan jenis permainan yang cocok sesuai dengan perkembangan anak menjadi penting agar pesan edukatif dari permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jenis permainan yang dapat dipilih untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak adalah bermain peran. Hal ini disebabkan pada saat anak memilih peran dan memainkan perannya, kosakata baru yang dimiliki anak bertambah (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Metode bermain peran merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Menurut buku Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003 : 41) dalam Maghfiroh (2011) salah satu tujuan dari bermain peran adalah melatih anak berbicara dengan lancar. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelaksanaan bermain peran belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari intensitas bermain peran yang masih rendah. Guru memberikan bermain peran hanya pada tema-tema tertentu. Salah satu tema yang biasa digunakan untuk bermain peran adalah tema profesi.
Dilihat dari jenisnya bermain peran terdiri dari bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak, sedangkan bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri. Perbedaan konsep antara bermain peran makro dan bermain peran mikro akan memberikan perbedaan tingkat keterampilan berbicara pada anak.
Bermain peran makro dapat melatih kerja sama pada anak dalam kelompok. Dengan adanya kerja sama tersebut akan terjadi interaksi antara anak dengan teman mainnya sehingga dapat menambah kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan pada bermain peran mikro dimana bermain peran ini merupakan awal bermain kerja sama, sehingga peluang anak untuk bekerjasama lebih sedikit. Hal ini disebabkan lawan main anak pada bermain peran mikro lebih sedikit dibandingkan pada bermain peran makro yang dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tidak menutup kemungkinan penambahan kosakata melalui bermain peran mikro lebih sedikit.
Anak bertindak sebagai dalang dalam bermain peran mikro, sehingga anak merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main untuk memainkan suatu adegan, serta peran-peran dalam skenario main peran (Arriyani & Wismiarti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada bermain peran mikro anak dapat memainkan lebih dari satu peran. Sedangkan pada bermain peran makro anak hanya memainkan satu peran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika dilihat dari kerjasama yang terjadi, bermain peran makro memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Sedangkan dilihat dari segi peran yang dimainkan, bermain peran mikro yang memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smilansky (1968) dalam Arriyani & Wismiarti (2010) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapatkan kesulitan dalam merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Sejalan dengan Smilansky (1968), Levy, et.al. (1992) dalam Shim (2007) mengungkapkan adanya hubungan positif antara bermain pura-pura dengan peningkatan kemampuan bahasa pada anak usia taman kanak-kanak.
Metode bermain peran makro memiliki pengaruh yang baik terhadap kualitas bermain peran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan. Sejalan dengan Shim, hasil penelitian yang dilakukan Fitriani (2010 : 89) di TK Lab. School UPI bahwa "Terdapat perbedaan secara signifikan antara kosakata bahasa Indonesia pada anak kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diterapkannya metode bermain peran (role play) makro."
Metode bermain peran makro untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida (2011) bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Yulia Siska (2011) yang membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.
Hasil penelitian lain diungkapkan oleh Andresen (2005) bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak. Dengan adanya komunikasi yang terjadi secara verbal dalam bermain, anak dapat bertukar ide mengenai maksud dari permainan.
Sejalan dengan pendapat Andresen (2005), hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen (2002) menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak. Hal yang sama diungkapkan oleh Anderson (2010) bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya.
Berbeda dengan hasil penelitian mengenai bermain peran makro, hasil penelitian tentang pengaruh bermain peran mikro pada perkembangan bahasa sangat terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2012) menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Maryatun (2010) yang membuktikan bahwa pemanfaatan wayang damen dapat meningkatkan moral behavior pada anak melalui metode bermain peran mikro. Selain hasil penelitian dari Maryatun, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) membuktikan bahwa secara umum keterampilan sosial anak meningkat dengan baik melalui metode bermain peran mikro.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis (2012) memperoleh hasil bahwa penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kompetensi dasar komunikasi menggunakan telepon. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI AP 2 SMK N X. Hal ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya dapat diterapkan pada anak usia dini, namun dapat diterapkan juga pada anak usia sekolah menengah atas. Dengan demikian bermain peran merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk mendukung perkembangan bahasa.
Penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak X Kota Y yang merupakan TK inti sebagai TK percontohan di kota Y. Dengan demikian berdasarkan hasil survey yang dilakukan, ketersediaan media pembelajaran sudah mencukupi, sedangkan pada TK non Pembina ketersediaan media kurang mencukupi terutama pada area drama.
Model pembelajaran di Taman Kanak-kanak X Kota Y masih menggunakan model area. Model area merupakan model pembelajaran dimana dalam satu hari membuka tiga area, sehingga intensitas bermain drama lebih rendah dibandingkan dengan intensitas bermain drama dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Hal ini tidak seimbang dengan ketersediaan media pembelajaran pada area drama yang sudah mencukupi. Dengan demikian penerapan metode bermain drama dalam kegiatan pembelajaran belum maksimal. Jika ditinjau dari segi keterampilan berbicara, anak TK X memiliki keterampilan berbicara yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada laporan perkembangan anak yang menunjukkan bahwa masih terdapat indikator-indikator pada aspek bahasa terutama pada lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa yang belum tercapai dengan baik, diantaranya indikator menyebutkan nama orang tua, alamat rumah dengan lengkap; berkomunikasi dengan bahasanya sendiri (sesuai anak); serta bercerita tentang gambar yang disediakan dengan bahasa yang jelas. Oleh karena itu diperlukannya metode pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Hal ini dapat dilakukan karena TK X terbuka dengan saran dari pihak luar sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melakukan penelitian di Taman Kanak-kanak X Kota Y.
Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN". Dalam hal ini apakah ada perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka dapat dirumuskan permasalahan adakah perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penelitian yang berkaitan dengan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi guru
Dari hasil penelitian ini guru dapat : 
1) Mengetahui pentingnya metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.
2) Menciptakan proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara melalui metode yang tepat bagi anak.
3) Meningkatkan intensitas pelaksanaan bermain peran dalam kegiatan pembelajaran.
c. Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak (TK)
Hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui metode yang tepat untuk anak usia 5-6 tahun.

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK

(KODE : PG-PAUD-0070) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANGTUA MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah amanah dari Allah, anak juga menjadi buah hati orang tua, kehadiran seorang anak dapat membahagiakan dan menyenangkan setiap orang, apalagi bila melihat anak itu sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia. Setiap orang tua selalu mendambakan anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat jasmani maupun rohaninya.
Menjadikan anak yang sehat jasmani dan rohaninya, orang tua harus berupaya keras dan selalu memperhatikan pertumbuhannya, dengan memberikan asupan gizi yang baik, menjaga kesehatan tubuh anak dan melindungi dari penyakit, untuk sehat rohaninya orang tua dapat mendidik dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih.
Orang tua menjadi sangat khawatir apabila anak-anaknya sakit, sehingga dengan berbagai upaya dilakukan oleh orang tua agar anaknya sembuh dan menjadi sehat kembali. Diantaranya dengan pergi ke dokter praktek, rumah sakit ataupun puskesmas, selain itu orang tua juga memijatkan anak pada pemijat bayi sebagai alternatif untuk menjaga kesehatan anak.
Studi ini bermaksud mengungkap motivasi orang tua melakukan pijat bayi dan menggunakan jasa pijat bayi. Karena fenomena yang terjadi sampai sekarang, banyak para orang tua bahkan para ibu muda yang melakukan pijat bayi pada putra-putrinya atau menggunakan jasa pijat bayi yang dalam istilah jawa disebut "dadah", atau "ndadahke" (SA. Mangunsuwito dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa) yang artinya memijatkan atau meng-urut kan anak pada orang yang dianggap bisa dan biasa memijat anak bayi maupun balita yang disebut "dukun bayi". Orang tua yang bisa dan mampu memijat bayinya sendiri, melakukannya sendiri tanpa bantuan dukun pijat bayi.
Dari studi awal, peneliti mengajak dialog untuk mendapatkan informasi dari ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok orang tua anak didik pos pendidikan anak usia dini (Pos PAUD) X yang berada di Kelurahan X sebanyak lima belas orang, yang sebagian besar adalah ibu muda yang baru mempunyai anak satu atau dua anak. adapun ibu-ibu tersebut apabila putra-putrinya mengalami tidak enak badan, badannya panas, sering menangis dan gelisah dalam tidurnya maka ibu-ibu tersebut tidak ke dokter dulu namun membawa anaknya ke dukun bayi dulu untuk didadahke (diurut). Setelah anaknya diurut, ibu-ibu muda tersebut merasa tenang karena sang buah hati dapat tidur nyenyak, tidak sering menangis, mau makan dan badannya sudah tidak hangat atau panas lagi.
Hal demikian biasa dilakukan oleh ibu-ibu tersebut, namun tidak menutup kemungkinan ibu-ibu tersebut juga membawa anaknya untuk ke dokter. Apabila setelah dipijat belum ada perubahan, terutama bila suhu badan anak masih juga panas. Kebiasaan orang tua memijat bayinya atau memijatkan bayinya pada dukun pijat bayi, secara turun menurun masih banyak dilakukan oleh para orang tua ataupun keluarga yang mempunyai anak bayi maupun balita. Dengan alasan dan penyebab yang hampir sama.
Disamping itu juga memijat bayi ataupun memijatkan bayinya masih banyak dilakukan karena pijat bayi dapat mengatasi anak yang mengalami keseleo yang disebabkan karena bayi itu banyak gerak, dan kelelahan yang dialami bayi tersebut selama mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan.
Kebiasaan pijat memijat ini sendiri dalam kehidupan masyarakat kita, sebenarnya merupakan tradisi yang sudah dikenal sejak lama. Melalui sentuhan pemijatan terhadap jaringan otot, peredaran darah dapat meningkat makin lancar, ataupun posisi otot dapat dipulihkan dan diperbaiki sehingga dapat meningkatkan fungsi-fungsi organ tubuh dengan sebaik-baiknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hasri Ainun dan Utami Roesli (2008 : 3). Dengan demikian pijat bayi dapat membantu proses tumbuh kembang anak.
Sampai sekarang peneliti melihat masyarakat X yang masih meneruskan budaya dari orang tua terdahulu, yaitu menggunakan pijat bayi dan memijatkan bayinya. Pijat bayi dapat membantu menjaga kesehatan anak dan sebagai alternatif pengobatan dan penyembuhan apabila terjadi sakit ataupun ketidaknyamanan dalam tidur. Pada anak awalnya saat anak tampak gelisah, dan sering menangis, panas pada bagian tangan, kaki dan tengkuk bayi atau balita mereka.
Kota X sebagai kota besar tidak dapat lepas dari budaya atau tradisi "ndadahke" ini. Walaupun Kota X untuk bidang kesehatan sudah menjadi salah satu prioritas penanganan di Kota X yaitu penanganan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Secara umum kebijakan Pemerintah kota X di bidang kesehatan bertujuan untuk membangun, meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta untuk meningkatkan harapan hidup dan kualitas sumber daya manusia.
Fenomena di atas tidak berarti bahwa semua orang tua yang mempunyai balita selalu menggunakan jasa pijat bayi atau "ndadahke". Disebabkan karena beberapa alasan yang menurut mereka para orang tua logis dan masuk akal. Diantaranya adalah : 1) Tulang bayi masih lemah dan lunak, belum waktunya untuk dipijat, kasihan anaknya, 2) Ada pengalaman buruk yang terjadi pada anak yang sakit panas dipijat bisa menjadi lumpuh, 3) Biarkan saja tulang bayi tumbuh dan berkembang secara alami.
Namun kasus ini jarang terjadi dan kalaupun terjadi mungkin ada penyebab lain yang belum diketahui. Hal ini tidak menjadi prioritas peneliti karena alasan dan kasus yang muncul dari jasa pijat bayi ini relatif kecil dan tidak menyurutkan kebanyakan orang tua yang masih membutuhkan jasa pijat bayi.
Adapun konteks yang melatari penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut : a. Konteks budaya; b. Konteks layanan kesehatan; c. Konteks kesehatan yang koneksi atau kaitannya dengan tumbuh kembang anak.
Dengan demikian peneliti dapat menggambarkan dan menuliskan apa adanya lebih jauh tentang apa yang menjadi motivasi orang tua menggunakan pijat bayi atau jasa pijat bayi "ndadahke" dan mengapa pijat bayi masih diperlukan dan dibutuhkan serta bagaimana hubungan antara pijat bayi dengan tumbuh kembang anak.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas tentang menggunakan pijat bayi maka peneliti mengangkat judul penelitian : STUDI DESKRIPTIF TENTANG MOTIVASI ORANG TUA DALAM MENGGUNAKAN PIJAT BAYI UNTUK TUMBUH KEMBANG ANAK.

B. Rumusan Masalah
Fenomena orang tua yang melakukan pijat bayi "dadah" dan menggunakan jasa pijat bayi "ndadahke" adalah bukan hal yang baru. Sampai sekarang masih banyak orang tua yang melakukan serta membutuhkan pijat bayi dan menggunakan jasa pijat bayi pada orang yang disebut "dukun bayi". Karena dukun bayi tersebut dianggap mumpuni dan bisa memberikan pertolongan serta perlindungan baik secara fisik maupun psikis pada Balita.
Masalahnya apa yang menjadi motivasi orang tua menggunakan pijat bayi atau jasa pijat bayi "ndadahke" dan, mengapa pijat bayi masih diperlukan dan dibutuhkan serta bagaimana hubungan antara pijat bayi dengan tumbuh kembang anak. Berdasarkan dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 
1. Motivasi apakah yang mendorong orang tua menggunakan jasa pijat bayi, untuk tumbuh kembang anak ?
2. Apa manfaat pijat bayi menurut orang tua yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk : 
1. Mengetahui motivasi yang mendorong orang tua menggunakan jasa pijat bayi.
2. Mengetahui manfaat pijat bayi menurut orang tua, yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak.

D.. Manfaat Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi pada orang tua dan praktisi pendidik anak usia dini serta para pemerhati anak, untuk membuktikan kebenaran teori tentang motivasi orang tua menggunakan pijat bayi dan hubungan pijat bayi dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, melalui teori dan pendapat para pakar yang terkait dengan temuan dari penelitian ini.
b. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun peneliti mengenai motivasi orang tua menggunakan jasa pijat bayi dan hubungan pijat bayi dengan perkembangan anak, yang dikaji dari sudut pandang praktisi pendidik anak usia dini sekaligus sebagai praktisi pijat bayi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan bagi para orang tua. Praktisi pendidik anak usia dini dan para pemerhati yang peduli dengan kesehatan balita. Penelitian ini dapat bermanfaat langsung bagi balita yang sangat membutuhkan perhatian terutama di bidang kesehatan, karena dengan membentuk balita yang sehat maka akan terbentuk pula generasi muda yang sehat pula.

SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X

SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X

(KODE : PG-PAUD-0069) : SKRIPSI MODEL PENGASUHAN ANAK DI KEPALA KELUARGA WANITA PADA POSYANDU X



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak Usia Dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan dalam usia itu dikatakan sebagai "golden age" (usia emas) yaitu usia yang berharga dibanding usia selanjutnya. Usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dengan karakteristik yang khas, baik secara psikis, sosial dan moral. Maka orang tua harus benar-benar memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya, karena orang tua merupakan figure bagi anak dalam keluarga. Teori sistem keluarga lebih menekankan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem yang utuh, di dalamnya terdiri bagian-bagian struktur. Pola organisasi tiap anggota keluarga memainkan peran tertentu. Dalam keluarga, juga terjadi pola interaksi antara anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap pola interaksi sosial anak. (Hurlock, 1978 : 38-39).
Keluarga merupakan agen utama sosialisasi, sekaligus sebagai microsystem yang membangun relasi anak dengan lingkungannya. Keluarga sebagai tempat sosialisasi dapat didefinisikan menurut term klasik. Definisi klasik (struktural-fungsional) tentang keluarga menurut sosiolog George Murdock adalah kelompok sosial yang bercirikan dengan adanya kediaman, kerjasama ekonomi dan reproduksi. Keluarga terdiri dari dua orang dewasa dari jenis kelamin berbeda, setidaknya keduanya memelihara hubungan seksual yang disepakati secara sosial, dan ada satu atau lebih anak-anak yaitu anak kandung atau anak adopsi, dari hasil hubungan seksual secara dewasa.
Pada usia dini stimulasi yang diberikan kepada anak harus optimal karena berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak tersebut. Anak akan merasa bahagia bila didukung oleh kedua orang tua yang utuh dan tinggal dalam satu rumah menjadi keluarga yang bahagia. Ternyata banyak juga orang tua yang tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Pola asuh keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan sosial dan perilaku anak. Jika dalam keluarga orang tua tidak bisa memperhatikan anak kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi yang kurang baik. Sebaliknya jika orang tua memperhatikan perkembangan anak pasti anak akan berkembang sesuai dengan usianya.
Harapan orang tua single parent belum sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang dihadapi meski mereka mengaku sangat menyayangi anaknya karena mereka sendirilah yang mendidik dan mengasuh anak-anak tersebut tanpa bantuan orang lain. Kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh orang tua single parent sangat banyak sehingga belum maksimal dalam mendidik anaknya. Ikatan batin orangtua single parent sangat kuat dengan anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua pada umumnya dengan anak-anak mereka. Para orangtua single parent mendidik dan mengasuh anak dengan penuh kasih sayang lebih daripada orangtua pada umumnya. Sebagai orang tua yang hanya seorang diri mengasuh anaknya, kedekatan psikologis dengan anaknya sangat mempengaruhi pola hubungan mereka. Hal inilah yang biasanya kurang diperhatikan oleh orangtua karir yang mempekerjakan seseorang untuk menjadi pengasuh anak-anaknya ketika mereka sedang pergi bekerja. Pola pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga single parent adalah pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting). Hal-hal yang diajarkan orangtua single parent kepada anak menyangkut kehidupan sehari-hari, antara lain masalah (1) sopan santun, (2) kedisiplinan, (3) pekerjaan sehari-hari, (4) penanaman nilai-nilai keagamaan. (http://henywulandari.blogspot.com/urgensi-penddikan-anak-usia-dini).
Perbedaan pola pengasuhan antara ayah single parent dengan ibu single parent adalah dalam hal pengajaran, ayah single parent kurang sabar dan kurang telaten, sedangkan ibu single parent lebih sabar dan lebih telaten dalam hal pengajaran. Mengenai hukuman dan penghargaan juga berbeda, ayah single parent memberikan hukuman berat, tetapi ibu single parent lebih ringan hukumannya meskipun tujuannya sama yaitu agar anak menjadi disiplin dan bertanggung jawab. Penghargaan yang diberikan pun juga berbeda pula. Bagi ayah single parent, penghargaan yang diberikan sering berupa barang, sedangkan pujian jarang sekali. Berbeda dengan ibu single parent, mereka lebih sering memberikan penghargaan berupa pujian meskipun kadang juga berupa barang. Disamping itu, dalam melakukan pembujukan pun juga berbeda, ayah single parent kurang sabar dalam melakukan pembujukan, sedangkan ibu single parent lebih sabar dan telaten dalam melakukan pembujukan.
Pola pengasuhan anak memiliki varian yang sangat beragam. Berbagai alternatif pola pengasuhan anak dalam implementasinya semestinya disesuaikan dengan kultur keluarga. Dengan demikian, pilihan atas model pengasuhan menjadi bergantung pada setting keluarga. Pola pengasuhan anak pada keluarga dengan kedua orangtua bekerja akan berbeda pada keluarga dengan istri hanya bertindak sebagai ibu rumah tangga. Pola pengasuhan anak harus diambil dengan pola positive parenting. (http://karambiabusuak.blogspot.com).
Keutuhan keluarga sangatlah penting bagi anak-anak yang dibesarkan dari keluarga tersebut. Berbeda halnya dengan anak-anak yang tinggal hanya dengan salah satu orang tuanya saja dan disebut dengan orang tua tunggal (single parent). Anak yang tinggal dengan orang tua tunggal akan berdampak pada perkembangan anak tersebut. Biasanya orang tua tunggal terjadi jika orang tua mengalami perceraian atau salah satu orang tua (ayah atau ibu) meninggal dunia. Sekarang banyak juga orang tua tunggal akibat dari pergaulan bebas dan hamil kemudian tidak ada suaminya itu juga bisa menjadi sebab terjadinya orang tua tunggal. Dengan kejadian itulah anak tinggal dan dibesarkan dengan salah satu orang tua.
Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, selain harus membesarkan anaknya sendirian orang tua harus siap menerima resiko dari orang tua, keluarga dengan resiko dikucilkan untuk sementara bahkan selamanya. Belum lagi mejadi bahan pembicaraan oleh teman maupun tetangga. Untuk menjalani ini semua mereka harus memiliki kekuatan hati dan day a juang yang tinggi. Mereka harus berperan ganda selain mencari nafkah mereka juga harus mendidik dan membesarkan anak-anaknya seorang diri, dan bagaimana harus bisa mengatur waktu buat dirinya sendiri.
Di samping itu selain mendidik dan membesarkan anaknya seorang diri, mereka juga harus kehilangan masa mudanya seperti teman seumuran mereka yang belum mempunyai anak. Waktu mereka hanya dihabiskan untuk bekerja dan mengasuh anaknya. Kebanyakan dari mereka menjadi orang tua tunggal karena bercerai dengan suaminya dan mereka harus membesarkan anak seorang diri. Berpisah pun sang ayah tidak memberikan nafkah. Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, mereka harus berjuang keras untuk mendidik dan membesarkan anaknya agar menjadi anak yang bisa dibanggakan orang tua.
Pengaruh orang tua tunggal pada anak yakni anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang optimal dari orang tuanya. Pengasuhan orang tua pun tidak maksimal pada anak, padahal anak usia dini perlu perhatian yang lebih dari orang tuanya. Pengasuhan yang kurang tepat akan berdampak pada perkembangannya pula, sebaiknya orang tua memberikan pengasuhan yang benar-benar dibutuhkan seorang anak untuk kebahagiaan di masa depannya.
Orang tua tunggal biasanya hidupnya masih bergantung pada orang tuanya. Terkadang untuk mengasuhnya diberikan kepada orang tuanya. Mereka biasanya hanya memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan nafkah untuk menghidupi anaknya. Terkadang anak lebih patuh sama nenek atau kakeknya daripada sama orang tuanya. Mereka mengasuh anaknya kalau sore hari atau sesudah pulang bekerja.
Dalam pengasuhan orang tua juga harus mengetahui kesehatan dan gizi anaknya. Untuk mengetahui kesehatan dan gizinya orang tua biasanya membawa anaknya ke Posyandu terdekat di desanya khususnya Desa X. Desa X yang terdiri dari 2 Dusun mempunyai tekad yang kuat untuk memajukan masyarakat dengan cara pembangunan fisik dan nonfisik secara swadaya. Demikian juga dengan pembangunan di bidang kesehatan, untuk mewujudkan kesehatan masyarakat yang baik serta masyarakat yang peduli dan tanggap terhadap kesehatan maka telah dikembangkan program Desa Sehat Mandiri (DSM). Dengan pengembangan DSM di Desa X telah terbentuk organisasi kesehatan desa yaitu Forum Kesehatan Desa (FKD).
Posyandu Desa X bukan hanya untuk balita saja tetapi juga untuk kesehatan lansia (lanjut usia). Posyandu di X terbentuk pada tahun 1987 dengan bimbingan dan arahan dari Dinas/Instansi terkait yang tergabung dalam Pokjanal Posyandu baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten. Desa X mempunyai 5 posko posyandu yang masing-masing di setiap RT ada posyandu. Masing-masing pos ada pengurusnya yang mengurusi semua masalah posyandu. Posyandu dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Selain itu ada penyuluhan kesehatan dari Dinas Kesehatan (Puskesmas) Desa X.
Harapan orangtua single parent terhadap anaknya sangat besar, sehingga tujuan dari apa yang dilakukan oleh orangtua single parent hanya untuk kesehatan, gizi, dan kebahagiaan anak-anaknya.
Pada kenyataan yang ada masyarakat pedesaan khususnya pada masyarakat petani padi yang hanya memiliki pendapatan tidak lebih dari untuk kebutuhan pokoknya saja, sehingga untuk biaya pendidikan anaknya perlu pertimbangan yang matang. Mungkin bagi petani yang hanya memiliki areal tanah kecil atau sebagai buruh tani, hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah yang relatif murah atau bahkan petani tersebut tidak sanggup untuk menyekolahkan anaknya. Sementara bagi petani padi yang memiliki areal tanah luas, lebih mudah untuk menyekolahkan anaknya dimanapun sang anak memintanya. Bahkan petani tersebut mampu untuk melanjutkan sekolah anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Lain hal pula dengan orang tua yang bekerja sebagai buruh. Mereka mengandalkan penghasilan setiap satu bulan sekali atau satu minggu sekali. Sebagian besar yang orang tuanya bekerja sebagai buruh anaknya mereka titipkan pada kakek atau neneknya. Meski hanya sebagai buruh orang tua menginginkan anaknya mendapat pendidikan yang layak. Biasanya anaknya disekolahkan di sekolah yang dekat dengan rumahnya supaya bisa mengontrol. Dan orang tua harus bisa membagi penghasilannya untuk kebutuhan dan untuk pendidikan anaknya. Orang tua hanya bisa berharap agar bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui "Model Pengasuhan Anak Di Kepala Keluarga Wanita Pada Posyandu Desa X".

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana model-model pengasuhan anak bagi kepala keluarga wanita di Desa X ?
2. Bagaimana perbedaan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan buruh tani ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan model pengasuhan anak bagi keluarga wanita di Desa X
2. Membedakan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan sebagai petani

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan tulisan ini diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan tentang model-model pengasuhan anak bagi kepala keluarga wanita yang tanpa suami dan dapat mengetahui perbedaan model pengasuhan antara kepala keluarga sebagai buruh pabrik dan sebagai petani.
2. Manfaat Praktis
a. Orang tua, lebih memperhatikan perkembangan anaknya dan dapat memilih pola pengasuhan yang tepat buat anaknya.
b. Pengajar, dapat lebih memahami sikap dan perilaku yang timbul pada anak didiknya akibat pengasuhan orang tua tunggal, sehingga perkembangan anak didik dapat optimal tanpa gangguan.

SKRIPSI METODE REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI

SKRIPSI METODE REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0068) : SKRIPSI METODE REWARD DAN PUNISHMENT DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut tertuang dalam UU RI (Nomor 20 tahun 2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan Bab II pasal 3 yaitu tujuan membangun manusia holistik.
Pendidikan nasional harus dapat mengembangkan seluruh aspek potensi manusia secara keseluruhan. Proses pendidikan harus mampu membentuk manusia yang utuh dan cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan dinamis serta mempunyai kesadaran spiritual. Fungsi terpenting pendidikan adalah menghasilkan manusia yang terintegrasi, yang mampu menyatu dengan kehidupan sebagai satu kesatuan.
Pendidikan sangat luas cakupannya diantaranya pendidikan di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Pendidikan di rumah anak akan berpusat pada orang tua dan keluarga, pendidikan sekolah anak akan berpusat pada guru dan teman-temannya, dan pendidikan lingkungan anak akan berpusat pada masyarakat.
Pendidikan formal sudah sejak lama diselenggarakan di Indonesia. Pendidikan tersebut sudah menjalar bagaikan jamur yang merambat. Pendidikan formal meliputi PAUD dan TK. Pendidikan formal dapat membantu masyarakat untuk dapat memberikan pendidikan dan perhatian secara utuh pada anak-anaknya untuk masa depannya.
Anak adalah buah hati orang tua, anak adalah investasi bagi orang tua dan negara yang sangat berharga, karena pada kenyataannya setiap orang tua dari kalangan manapun mereka berasal sudah dapat dipastikan akan berbuat apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya. Untuk itu sangatlah bijak apabila kita sebagai orang dewasa, apakah orang itu orang tua di rumah, guru di sekolah dan orang tua dewasa lain yang berada di sekitar anak dapat berbuat dan memperlakukan anak sebagai "miniature orang dewasa", tetapi dapat memperlakukannya sebagai "makhluk kecil yang diyakini memiliki potensi untuk berkembang". Jadi bagaimana anak itu akan berhasil dan sukses tergantung bagaimana stimulus dari orang tua, negara dan lingkungan masyarakat.
Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Perkembangan merupakan proses perubahan perilaku dari matang menjadi matang, dari sederhana menjadi kompleks, suatu proses evolusi manusia dari ketergantungan menjadi makhluk dewasa yang mandiri. Perkembangan adalah suatu proses perubahan anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari aspek-aspek : gerakan, berpikir, perasaan, dan interaksi baik dengan sesama maupun dengan benda-benda dalam lingkungan hidupnya (Syaodih : 2003, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Bagian Proyek Peningkatan Pendidikan Tenaga Kependidikan).Membangun karakteristik anak ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Jika semakin tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin tinggi pula tenda-tenda itu berdiri.
Dalam kurikulum TK ditegaskan bahwa program pembelajaran meliputi bidang pengembangan pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak, sehingga menjadi pola pengembangan yang baik. Dari pembiasaan tersebut kompetensi dasar yang diharapkan dicapai oleh anak yaitu anak mampu melakukan ibadah, terbiasa mengikuti aturan, dapat hidup bersih dan mulai membedakan benar dan salah, serta terbiasa berperilaku terpuji.
Lingkungan luar yang baru diketahui oleh anak, dengan teman-teman yang bertambah banyak dan berbagai jenis ragam anak yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Tidak sedikit dari anak-anak tersebut memiliki karakter yang kurang baik yang dapat dilihat langsung oleh anak dalam bergaul. Lingkungan luar tempat anak bertambah banyak teman, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belajar anak dalam menumbuh kembangkan semua aspek perkembangan anak.
Kenyataan yang harus dihadapi guru TK X dalam kegiatan pembelajaran adakalanya mengalami permasalahan yang dihadapi dalam mengajar yaitu dalam mengkondisikan peserta didik yang memiliki beberapa karakteristik dan sifat yang berbeda-beda. Begitu pula dengan keadaan yang harus dihadapi oleh guru TK Y yang berada di dekat jalan raya dan siswanya rata-rata dari kalangan polisi. Kebanyakan anak polisi kadang susah diatur dan memiliki banyak perilaku yang tidak diinginkan, tetapi tidak semua anak berperilaku negatif. Oleh karena itu para pendidik perlu memperbaiki perilaku siswanya agar dapat memenuhi kompetensi dasar bidang pengembangan pembiasaan berupa kestabilan emosional anak dalam kegiatan pembelajaran dalam mewujudkan proses pembelajaran dan hasil yang optimal.
Dengan melihat perilaku anak dan berusaha untuk memperbaiki perilaku atau emosional anak yang berbeda-beda, para pendidik akan berusaha bagaimana cara menghadapi atau merubah metode pembelajaran agar kegiatan dapat berjalan dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut, para pendidik TK X memiliki strategi tersendiri di antaranya dengan menggunakan metode reward dan punishment berupa diagram bintang dan time out untuk memperbaiki perilaku buruk yang dilakukan anak dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan di TK Y menggunakan strategi dengan menggunakan metode reward berupa hadiah kecil seperti bentuk bintang, permen dan punishment berupa maju ke depan seperti menyanyi, berdoa, syair.
Dengan metode tersebut diharapkan dapat memperbaiki perilaku buruk anak dan dapat membiasakan anak untuk berperilaku positif dalam melakukan segala sesuatu secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dengan memperbaiki sikap buruknya saja dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi perhatian, nasehat, dan stimulus dari orang dewasa, pendidik, dan orang-orang yang ada di dekatnya. Orang tua dan orang dewasa adalah figur dari anak, bagaimana cara kita memberi contoh bagi anak-anak baik atau buruk tergantung dari orang tua dan orang dewasa itu sendiri. Anak tidak akan meniru sifat dan sikap dari luar atau orang lain, jika kita sebagai orang tua dan pendidik memberikan stimulus, pengertian, dan perhatian penuh kepada anak tentang apa sebenarnya yang diinginkan oleh anak. Semua anak dilahirkan suci dan tidak ada noda, tetapi tergantung kita sebagai orang tua dan orang dewasa dalam memberikan stimulus dan berperilaku yang baik kepada anak.

B. Rumusan Masalah
Berpijak dari paparan di atas, ada beberapa permasalahan yang muncul antara lain : 
1. Bagaimanakah penerapan metode Reward dan Punishment di TK X ?
2. Bagaimanakah penerapan metode Reward dan Punishment di TK Y ?
3. Apakah penerapan metode Reward dan Punishment dapat mengembangkan kemampuan emosional dasar anak di TK X ?
4. Apakah penerapan metode Reward dan Punishment dapat mengembangkan kemampuan emosional dasar anak di TK Y ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang terjadi maka Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Untuk mengetahui penerapan penggunaan Reward dan Punishment di TK X.
2. Untuk mengetahui penerapan penggunaan Reward dan Punishment di TK Y.
3. Untuk mengetahui penggunaan Reward dan Punishment dalam mengembangkan kemampuan emosional dasar anak di TK X.
4. Untuk mengetahui penggunaan Reward dan Punishment dalam mengembangkan kemampuan emosional dasar anak di TK Y.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat yang berarti bagi perorangan/instansi tersebut : 
1. Bagi Peneliti : memberikan masukan informasi serta menambah wawasan dalam memahami perkembangan kemampuan dasar emosional anak usia dini dalam kegiatan pembelajaran.
2. Bagi Guru : adanya metode pembelajaran dari dan oleh guru yang menerapkan dan menitikberatkan berupa penguatan reward dan punishment.
3. Bagi Sekolah : diperoleh penguatan metode pembelajaran berupa reward dan punishment.

SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0067) : SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi, sedangkan untuk X (Jawa Tengah) masih ada TV swasta yaitu Borobudur-TV dan Pro-TV. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang "berbau" asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), "Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat."
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. 
Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam X 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul : KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan pemilihan judul di atas dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok dalam penelitian ini yaitu : 
1) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
2) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
3) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
4) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
5) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
6) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kita melakukan kegiatan baik secara perorangan maupun secara kelompok, hal yang bisa dipastikan adalah pencapaian tujuan dari kegiatan itu, demikian pula dengan penelitian ini.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
(1) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variable sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(2) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(3) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(4) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.
(5) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman X.
(6) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.

D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran jelas tentang pengaruh atau intervensi tayangan televisi terhadap perkembangan perilaku anak. Serta dapat memberikan informasi dan masukan pada teori yang telah ada, terutama berkaitan dengan pengaruh tayangan televisi dengan perkembangan perilaku negatif anak.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dibagi menjadi 4, yakni untuk : 
(a) Guru
Guru sebagai seorang pendidik seyogyanya mampu memberikan arahan agar siswanya lebih banyak belajar dari pada nonton TV, dengan lebih banyak memberi berbagai tugas belajar di rumah.
(b) Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada orang tua berkaitan dengan tayangan televisi, dan bila memungkinkan agar orang tua berkenan untuk selalu mendampingi anaknya dalam menyaksikan acara atau tayangan televisi.
(c) Peneliti
Sebagai aplikasi antara teori yang diperoleh dari bangku kuliah dengan pengalaman kongkrit di lapangan, dengan demikian penelitian akan memperoleh fakta kesesuaian atau ketidaksesuaian antara teori dan praktek. 

SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK

SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK

(KODE : PG-PAUD-0066) : SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan diatas menunjukkan bahwa pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. (dalam http://www.puskur.net). Yang menjadi permasalahan adalah apakah pendidikan di masing-masing satuan pendidikan telah diselenggarakan dengan baik, dan mencapai hasil yang diharapkan. Untuk melihat mutu penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator.
Beberapa indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan cenderung bernuansa kuantitatif, mudah pengukurannya dan bersifat universal. Di samping kuantitatif, indikator mutu hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif yang meliputi : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta keterampilan/skill berwirausaha peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan keterampilan/skill berwirausaha.
Salah satu langkah yang dapat diambil guna tercapainya tujuan pendidikan nasional, terutama yang mengarah pada pembentukan karakter yang terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku wirausaha peserta didik adalah dengan memberikan pendidikan karakter bangsa termasuk karakter kewirausahaan di lembaga-lembaga pendidikan termasuk di Taman Kanak-kanak. Pendidikan karakter bangsa termasuk karakter kewirausahaan dirasa sangat pen ting diberikan kepada peserta didik untuk membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif dan wirausaha.
Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir, sehingga kewirausahaan dipandang bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan. Namun dalam perkembangannya nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan hanya bawaan sejak lahir, atau bersifat praktik lapangan saja. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha dapat dimatangkan melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya. (dalam http://blog.uny.ac.id).
Meskipun pendidikan kewirausahaan sangat penting diberikan pada anak sejak dini, namun kenyataannya pendidikan kewirausahaan belum banyak diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya pengetahuan para pendidik tentang kewirausahaan dan juga kurangnya kreatifitas dalam memberikan pembelajaran pada anak didik. Memberikan pendidikan kewirausahaan pada anak sebenarnya bukan merupakan pekerjaan yang sulit.
Menumbuhkan sifat kewirausahaan pada anak memerlukan latihan yang bertahap namun bukan merupakan sesuatu yang rumit. Menumbuhkan sifat kewirausahaan pada anak bisa dimulai dari bentuk sederhana yang merupakan bagian dari keseharian anak. Misalnya membiasakan anak untuk makan di meja makan, kemudian melatih anak untuk selalu membereskan mainan setelah selesai bermain dan meletakkan mainan pada tempatnya. Tahap selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk mengelola uang dengan baik. Setelah anak mampu mengelola uang dengan baik tahap selanjutnya kita bisa mengajarkan anak untuk melakukan bisnis kecil-kecilan.
Di lembaga pendidikan nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai mata pelajaran (dalam www.puskur.net). Adapun di Taman Kanak-kanak tidak ada istilah mata pelajaran, namun nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai bidang pengembangan yang ada di Taman Kanak-kanak, yaitu : moral dam nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, berbahasa, kognitif, fisik/motorik dan seni. Pembelajaran dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang menarik, aman, nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga dapat mengembangkan kecakapan dan keterampilan dalam diri anak.
Bertolak dari uraian di atas, peneliti memilih judul : INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK X dengan alasan : (1) Nilai-nilai kewirausahaan perlu diintegrasikan ke dalam pembelajaran di TK X; (2) Nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai bidang pengembangan yang ada di Taman Kanak-kanak, yaitu : moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni; (3) Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran diharapkan dapat membentuk karakter kewirausahaan pada anak didik sejak dini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana integrasi nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mengetahui sejauh mana integrasi nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kontribusi secara praktis dan teoritis.
1) Manfaat praktis : 
a. Bagi siswa : 
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran diharapkan dapat membentuk karakter kewirausahaan sejak dini pada siswa.
b. Bagi guru : 
Membantu para pendidik PAUD untuk menemukan pembelajaran yang sesuai untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan pada anak, serta memberikan motivasi kepada pendidik PAUD untuk dapat memberikan pembelajaran yang terintegrasi nilai-nilai kewirausahaan.
2) Manfaat teoritis : 
a. Memberikan pengetahuan bagi pendidik PAUD atau peneliti lain tentang praktik pembelajaran yang sesuai untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan.
b. Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk bahan referensi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan hal yang sama.

SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

(KODE : PG-PAUD-0065) : SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal terpenting bagi kehidupan manusia. Pendidikan adalah suatu hal yang sangat diprioritaskan, karena pendidikan merupakan kewajiban yang berlangsung sepanjang hayat, selama seseorang masih hidup dan berakal sehat. Oleh karena itu dengan adanya pendidikan dapat menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir logis, bersikap kritis, berinisiatif, unggul, dan kompetitif selain menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan bisa memberikan peluang yang besar bagi manusia untuk berkembang menjadi diri yang lebih baik lagi.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur dalam menanamkan kreativitas yang mapan dan arahan yang bersih dalam jiwa dan sepak terjang anak. Potensi anak sudah tersedia dalam diri anak yang masih lugu dan polos yang belum terkontaminasi dengan lingkungan luar. Pada masa ini orang tua dapat memaksimalkan pendidikan anak dengan sebaik-baiknya, harapan besarnya untuk keberhasilan anak di masa mendatang. Menurut Nugraha (2006 : 62) anak akan berkembang menjadi remaja dan menjadi dewasa yang tahan dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Seiring berjalannya waktu, pendidikan senantiasa mengalami dinamika yang membawa perubahan yang sangat signifikan, dengan berkembangnya pendidikan yang sangat luas maka perilaku anak juga harus diimbangi dengan sosial emosi yang baik, selain itu agama juga yang harus ditanamkan pada diri anak. Sehingga anak akan mempunyai pedoman untuk melangkah.
Dalam memudahkan pendidikan anak, maka diperlukan guru yang mempunyai kompetensi yang baik. Sosok guru yang ideal adalah guru yang mempunyai empat kompetensi dasar, kompetensi ini merupakan kompetensi yang paling utama bagi guru. Empat kompetensi yang paling dasar dan utama yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial. Kompetensi sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi profesi. "Teacher Is The Heart Of Quality Education." Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa guru merupakan salah satu indikator yang menentukan kualitas pendidikan. Bagus tidaknya kualitas pendidikan akan terlihat dari kinerja dan kompetensi guru sebagai pendidik yang melaksanakan proses pembelajaran.
Kompetensi pedagogik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari empat kompetensi utama yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik. Selain itu kemampuan pedagogik juga ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik. Kompetensi pedagogik ini sangat penting yang berkenaan dengan pembelajaran. Menurut Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 : 62 kompetensi pedagogik guru terdiri atas 37 buah kompetensi yang dirangkum dalam 10 kompetensi inti seperti disajikan berikut ini; kemampuan menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual; menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik; memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; serta melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kemampuan pedagogik menurut Suparno (2002 : 52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran atau pendidikan yang memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri dan guru akan lebih mudah membantu anak didik untuk berkembang.
Untuk itu, guru perlu menguasai beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di jaman modern ini. Oleh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan ke arah pendidikan yang demokratis, maka teori dan filsafat pendidikan yang lebih bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacam-macam teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk membantu perkembangan anak didik. Karena guru berperan untuk memberikan gambaran serta contoh yang nyata supaya para peserta didik tidak berfikir secara angan-angan yang ada di pikiran mereka saja, dan harapannya para peserta didik dapat memahami apa yang disampaikan oleh guru.
Guru dalam proses belajar mengajar merupakan faktor kesuksesan setiap usaha pendidikan, karena guru merupakan komponen yang paling terpenting. Guru mempunyai peranan dalam memberikan motivasi kepada siswa, karena motivasi berperan sangat penting dalam kegiatan utamanya dalam proses belajar. Guru merupakan sosok yang dapat digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki karisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Menurut Uno (2010 : 17) seseorang yang ingin menjadi guru yang baik maka sudah seharusnya dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktik melalui jalur berjenjang atau pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya. Peran guru sangat dominan, dimana guru merupakan pengelola ruang, waktu, serta alat dan media pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya.
Peran guru juga tidak bisa tergantikan dengan siapa pun atau apa pun, sekalipun dengan teknologi canggih. Keberhasilan ataupun kualitas faktor pendidikan tidaklah bisa terlepas dari peran guru. Menurut Hoyyima, 2010 : 58 peran guru yang berkualitas sangatlah dominan bagi terwujudnya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, faktor pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam upaya meningkatkan perwujudan kesejahteraan dalam masyarakat di suatu daerah. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Menurut Uno (2010 : 22) guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan suatu pembelajaran dengan memerhatikan berbagai kompetensi dalam sistem pembelajaran yang meliputi; membuat dan merumuskan teknologi informasi dan teknologi; menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan; merancang metode yang disesuaikan dengan siswa; menyediakan sumber belajar, media, dalam hal ini guru sebagai mediator. Jadi bisa disimpulkan bahwa guru diharapkan bisa merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.
Mutu pendidikan guru juga mempengaruhi dan menentukan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan fokus perubahan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2009 Pasal 29 menyatakan bahwa pendidik pada Pendidikan Anak Usia Dini memiliki : (a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau Sarjana S1. (b) latar belakang pendidikan tinggi pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, pendidikan Psikologi dan (c) sertifikasi pendidikan PAUD.
Menurut Hoyyima (2010 : 36) dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut guru (pendidik) dan tenaga kependidikan mempunyai peranan menentukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk itu kualitas pendidik dan tenaga kependidikan perlu terus ditingkatkan. Kompetensi guru tersebut perlu terus dikembangkan secara terprogram, berkelanjutan melalui suatu sistem pembinaan yang dapat meningkatkan kualitas profesional guru. Dalam pengertian yang lebih substantif kompetensi merupakan gambaran hakikat perilaku seseorang.
Identifikasi kebutuhan pengembangan guru saat ini sudah banyak mendapat perhatian, baik oleh para ahli pendidik maupun oleh para administrator pendidikan dalam berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab dalam sektor pendidikan. Perhatian itu wajar diberikan mengingat pentingnya peranan lembaga pendidikan guru, baik pre-service maupun in-service, dalam rangka mempersiapkan dan menyediakan calon-calon guru. Pemerintah juga memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting artinya dalam kerangka dan pengembangan bangsa. Oleh karena itu, pengembangan diri harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas diri dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin negeri.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran sehingga pada akhirnya guru berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai.
Namun, kenyataan di lapangan kompetensi pedagogik guru sering tidak dipahami dan dimengerti oleh sebagian guru, tidak sedikit guru yang hanya mengajar saja tanpa mau tahu apa itu kompetensi dasar yang harus dimiliki. Sehingga guru tidak maksimal dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metode belajar mengajar, penggunaan teori-teori pembelajaran, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, kenyataan yang ada pada saat ini banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi dan banyak para guru yang tidak mendapatkan pendidikan, pendampingan serta pelatihan tentang bagaimana teknik kompetensi pedagogik. Akibatnya, dapat menurunkan mutu dan kualitas pembelajaran atau pendidikan, untuk itu guru harus segera mendapatkan berbagai pelatihan maupun pendampingan dengan menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogik itu sendiri.
Selain itu, diperlukan analisis kebutuhan para guru tentang pengembangan kompetensi pedagogik guru yang meliputi kesadaran guru dalam dipahami kompetensi pedagogik guru tentang penguasaan terhadap materi perkembangan peserta didik, teori-teori belajar, pengembangan kurikulum, teknik evaluasi, penguasaan terhadap model-model dan metode pengajaran, adalah perlu, di samping penguasaan terhadap mata pelajaran dan iptek yang berkaitan dengan pengajaran. Untuk mendukung hal tersebut skripsi ini disusun untuk memetakan kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik para guru. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU (STUDI DESKRIPTIF GURU TK).

B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan berbagai masalah yang telah dikemukakan. Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik. Peneliti melakukan batasan masalah, agar pembahasan masalah tidak terlalu luas untuk diteliti.
Batasan masalah dalam skripsi ini yakni pada kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik yang berhubungan dengan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, setiap guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi pedagogik.

C. Penegasan Istilah
Berdasarkan pembahasan diatas, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam judul penelitian ini agar tidak terjadi kesalahan dalam pembahasan selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 
1. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal penting bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan.
2. Kompetensi pedagogik guru
Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai pengajar yang dilakukan secara bertanggung jawab dan layak.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini. 
1. Bagaimana gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?
2. Apakah yang menjadi kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mengetahui tentang gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.
2. Mengetahui kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan konsep dan teori mengenai pengembangan kompetensi pedagogik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah
Memberikan sumbangan positif dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru untuk meningkatkan pembelajaran yang ada di TK.
b. Bagi guru
Sebagai masukan bagi para guru agar dapat mengembangkan kompetensi pedagogik guru dan disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing guru.
c. Bagi penulis
Menambah pengalaman, wawasan, dan untuk bekal peneliti sebagai pendidik yang selalu mengamalkan ilmu pengetahuan. Sebagai bahan masukan berupa informasi kepada mahasiswa agar dapat menambah perbendaharaan kepustakaan tentang identifikasi kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi pedagogik guru TK supaya diterapkan ketika mengajar nantinya dan mengaplikasikannya pada kehidupannya kelak.