Search This Blog

Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)

(KODE : PSIKOLOG-0008) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Saat ini, pada umumnya masyarakat masih memiliki standar bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang langsing. Standar tersebut dimiliki oleh wanita maupun pria. Menurut Atwater dan Duffy (1999), cover majalah, iklan-iklan televisi, dan film berperan penting dalam pembentukan standar kecantikan dalam suatu masyarakat. Wanita yang umumnya dianggap cantik adalah wanita dengan kulit putih, badan langsing, dan berambut panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya iklan-iklan yang menampilkan model dengan karakteristik fisik tersebut. Salah satu iklan produk susu pelangsing tubuh bahkan memperlihatkan seorang pria yang terlihat enggan saat dimintai saran oleh pacarnya yang sedang memilih-milih baju karena tubuh sang pacar tidak langsing. Pria tersebut malah asyik memasangkan tubuh model wanita yang lebih langsing di majalah dengan kepala pacarnya. Dalam satu iklan ini saja sudah terlihat bahwa wanita dengan tubuh yang kurus cenderung lebih diminati oleh lawan jenisnya.
Iklan-iklan produk kecantikan yang lainpun, seperti shampo atau produk pemutih kulit juga hampir selalu menggunakan model yang berbadan langsing walaupun sebenarnya produk mereka bukanlah produk pelangsing. Dari iklan-iklan dan media massa yang terbit di Indonesia dapat dilihat bahwa model iklan dengan tubuh yang langsing lebih menjual dan diminati oleh pasar karena bentuk tubuh langsing dianggap cantik dan ideal.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa media-media informasi cenderung mendefinisikan kecantikan dengan sangat sempit bahwa untuk tampil cantik, wanita paling tidak harus bertubuh langsing. Adanya anggapan semacam itu tentu dapat mendorong wanita untuk tampil langsing karena pada dasarnya wanita selalu ingin tampil cantik dan menarik. Selain untuk kepercayaan diri, tubuh langsing bagi seorang wanita dapat dianggap sebagai salah satu daya tarik untuk memikat lawan jenisnya.
Anggapan mengenai bentuk tubuh menarik yang diciptakan oleh media tersebut dapat mempengaruhi terbentuknya body ideal pada remaja. Body ideal ini bukan selalu berat badan ideal yang disarankan untuk menjaga kesehatan (Body Mass Index atau BMI). Seperti yang telah disebutkan di atas, media massa di Indonesia saat ini cukup banyak membombardir masyarakat dengan pesan bahwa salah satu syarat bagi seorang wanita untuk dianggap cantik adalah memiliki tubuh yang langsing. Dengan demikian, memiliki tubuh yang langsing dapat menjadi body ideal pada remaja, khususnya remaja putri.
Secara teoritis, wanita yang menginternalisasi bentuk tubuh ideal menurut masyarakat ke dalam dirinya akan lebih mudah untuk memiliki body dissatisfaction apabila standar ideal ini tidak terpenuhi (McCarthy, 1990; dalam Bearman, Martinez, & Stice, 2006). Body dissatisfaction sendiri merupakan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif yang dimiliki seseorang terhadap penampilan fisiknya (Littleton & Ollendick, 2003; dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). Istilah body dissatisfaction berada di bawah istilah citra tubuh. Thompson et al. (1998) mengemukakan empat komponen dalam citra tubuh yang dapat mengalami gangguan yaitu komponen afektif, kognitif, perilaku, maupun perseptual. Gangguan citra tubuh yang terjadi pada komponen perseptual akan mengakibatkan distorsi citra tubuh, sedangkan gangguan pada komponen lain akan mengakibatkan body dissatisfaction (Monteath & McCabe, 1997; Thompson et al., 1998).
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian remaja putri ternyata memiliki body dissatisfaction (Thompson, Heinberg, Altabe, & Tantleff-Dunn, 1998; dalam Stice & Whitenton, 2002). Hal tersebut dikarenakan pada saat mulai memasuki masa remaja, seorang wanita akan mengalami peningkatan jaringan lemak yang membuat tubuhnya menjadi semakin jauh dari badan kurus yang ideal (Graber, Brooks-Gunn, Paikoff, & Warren, 1994; Tobin-Richards, Boxer, Kavrell, & Petersen, 1984; dalam Stice & Whitenton, 2002). Persepsi mengenai tubuh yang negatif ini dapat mengakibatkan adanya usaha-usaha obsesif terhadap kontrol berat badan pada remaja (Davison & Birch, 2001; Schreiber et al., 1996; Vereecken & Maes, 2000; dalam Papalia, 2007).
Salah satu usaha yang sering dilakukan oleh masyarakat umum untuk menurunkan berat badan adalah diet. Dalam jurnal Eating in the Adult World : The Rise of Dieting in Childhood and Adolescence (Hill, Oliver, & Rogers, 1992), diet digambarkan sebagai suatu usaha pengurangan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh yang memungkinkan seseorang untuk merampingkan bagian-bagian yang tidak diinginkan pada tubuh mereka, membuat mereka tampak lebih langsing, lebih diinginkan, dan lebih sukses. Diet merupakan salah satu cara yang paling populer untuk menurunkan berat badan karena diet dapat dilakukan oleh hampir semua orang, tidak mahal, diterima secara sosial, dan tidak menimbulkan efek samping yang langsung terasa.
Diet mencakup pola-pola perilaku yang bervariasi, dari pemilihan makanan yang baik untuk kesehatan sampai pembatasan yang sangat ketat akan konsumsi kalori (Kim & Lennon, 2006). Perilaku tidak sehat yang dapat diasosiasikan dengan diet misalnya puasa, tidak makan dengan sengaja, penggunaan pil-pil diet, penahan nafsu makan atau laxative, muntah dengan disengaja, dan binge eating (French & Jeffery, 1994; USDHHS et al., 1989, Serdulla, Collins, et al., 1993; dalam French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995).
Saat ini perilaku diet sudah mulai tampak pada kelompok usia remaja awal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap anak- anak usia tujuh sampai 12 tahun (mean 9.7 tahun), 41% anak mengaku bahwa mereka pernah mencoba untuk menurunkan berat badan (Maloney, McGuire, Daniels, & Specker, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Penelitian lain menyebutkan bahwa dua per tiga dari remaja putri melakukan diet dan sebagian besar dari mereka memiliki berat badan normal (French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995).
Diet yang dilakukan oleh remaja bukanlah hal yang dapat disepelekan. Saat remaja adalah saat ketika tubuh seseorang sedang berkembang pesat dan sudah seharusnya mendapatkan komponen nutrisi penting yang dibutuhkan untuk berkembang (Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Kebiasaan diet pada remaja dapat membatasi masukan nutrisi yang mereka butuhkan agar tubuh dapat tumbuh. Selain itu, diet pada remaja juga dapat menjadi sebuah titik awal berkembangnya gangguan pola makan (Polivy & Herman, 1985; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Beberapa penelitian lain juga mengatakan bahwa seorang remaja yang berdiet kemudian menghentikan dietnya dapat menjadi overeater pada tahun-tahun berikutnya (Hill, Rogers, & Blundell, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Hasil-hasil penelitian di atas menjadi sebuah bukti bahwa perilaku diet dapat membawa dampak yang buruk bagi kesehatan remaja yang melakukannya.
Mengutip Mental Health Weekly Digest edisi Agustus 2006, sebuah penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang merasa tidak puas dengan tubuh mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan binge eating, kurang melakukan kegiatan fisik, kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, mengkonsumsi pil diet, dan memuntahkan dengan paksa makanan yang telah mereka makan. Penulis sendiri mencoba membuat survey kecil pada remaja putri kelas 1 di sebuah SMA di Jakarta Selatan untuk mengetahui bagaimana fenomena diet yang terjadi pada mereka. Ternyata, 7 dari 10 remaja putri yang diwawancarai mengaku pernah melakukan diet. Diet yang mereka lakukan bukanlah diet yang berada dalam pengawasan ahli gizi. Mereka mengaku mengetahui cara diet tersebut dari teman maupun dari tips-tips diet yang mereka dapatkan dari media massa. Beberapa cara menurunkan berat badan yang mereka lakukan antara lain adalah melewatkan makan malam, hanya mengonsumsi apel dan sayur dalam sehari, melewatkan sahur saat puasa dan hanya berbuka puasa dengan apel, menggunakan obat diet dari dokter kecantikan, menggunakan obat penyerap lemak, dan juga tidak mengkonsumsi karbohidrat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ahli gizi Tuti Soenardi pada tanggal 24 Mei 2007, saat ini tidak banyak remaja yang mendatangi dokter atau ahli gizi untuk berkonsultasi mengenai cara menurunkan berat badan yang sehat. Mereka cenderung mencoba-coba cara diet populer yang belum tentu baik untuk kesehatan agar berat badan mereka lebih cepat turun. Namun demikian, cara diet populer yang mereka terapkan tersebut belum tentu mengandung asupan nutrisi seimbang yang sangat penting bagi kesehatan mereka. Penelitian juga menunjukkan bahwa alasan untuk berdiet mempengaruhi perilaku diet seseorang. Sebagai contoh, orang-orang yang berdiet semata-mata bertujuan untuk memperbaiki penampilan akan cenderung untuk menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk menurunkan berat badan mereka. Sebaliknya, orang yang melakukan diet untuk alasan kesehatan akan melakukan cara yang sehat pula, misalnya mengikuti pola makan yang dianjurkan (Kim & Lennon, 2006).
Seperti yang telah disebutkan di atas, masa puber adalah masa ketika remaja putri menjadi sangat rentan dengan body dissatisfaction. Fuhrmann dan Foresman (1990) menyebutkan bahwa remaja awal pada rentang usia 9 sampai 14 tahun cenderung memiliki kekhawatiran yang akut mengenai bentuk tubuh mereka. Mereka juga cenderung sensitif terhadap kritik dari orang lain maupun dari diri mereka sendiri. Pada usia-usia ini opini subjektif mengenai diri mereka sendiri juga masih sering berubah. Sebagai contoh, apabila sekarang seorang remaja merasa dirinya normal, bisa saja beberapa waktu kemudian ia akan merasa gemuk. Pada masa pertengahan dan akhir remaja (usia 15 sampai 18 tahun), walaupun mereka masih peduli dengan tubuh mereka, opini mengenai diri mereka sendiri sudah lebih stabil dan perasaan self-conscious pada diri mereka berkurang (Fuhrman & Foresman, 1990).
Walaupun banyak penelitian yang dilakukan mendukung adanya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet, beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lennon (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar wanita memiliki kecenderungan untuk memiliki citra tubuh negatif walaupun mereka tidak memiliki penyimpangan dalam pola makan (Kim & Lennon, 2006). Sebagai tambahan, dalam Ogden (2002) dikatakan bahwa orang-orang yang mempunyai keinginan untuk mengubah bentuk tubuhnya tidak selalu melakukan diet. Beberapa orang memilih untuk mengenakan baju-baju yang membuat mereka terlihat kurus atau melakukan jalan pintas melalui operasi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata seseorang yang memiliki rasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya belum tentu melakukan diet. Walaupun pada saat ini jalan terpopuler untuk menurunkan berat badan adalah diet, orang yang tidak puas dengan tubuhnya dapat memilih cara-cara lain untuk memperbaiki penampilannya.
Adanya perbedaan hasil penelitian seperti di atas membuat penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Penelitian semacam ini juga penting untuk dilakukan karena masalah diet pada remaja bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata mengingat perilaku diet dapat menjadi sebuah awal dari terbentuknya kelainan gangguan pola makan seperti bulimia nervosa atau anorexia nervosa.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis masalah yang ingin diangkat oleh penulis adalah "apakah terdapat hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet remaja putri?". Secara khusus, peneliti ingin melihat : apakah terdapat hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet sehat dan tidak sehat pada remaja putri usia 11-18 tahun.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada-tidaknya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet remaja putri. Secara khusus, penelitian ini juga ingin melihat apakah terdapat perbedaan pada hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet sehat dan tidak sehat pada remaja putri usia 11-18 tahun.

1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan pembaca tentang topik body dissatisfaction, khususnya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Selain itu, hasil dari penelitian yang ada nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran orang tua atau significant others akan body dissatisfaction yang dialami remaja putri apabila hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet, khususnya yang mengarah pada perilaku tidak sehat.

1.5. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Pendahuluan, membahas tentang latar belakang permasalahan, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
2. Tinjauan Pustaka, menguraikan konsep-konsep dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai perilaku diet, citra tubuh, body dissatisfaction, karakteristik remaja, serta dinamika hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri
3. Masalah, Hipotesis, dan Metode Penelitian, akan menguraikan permasalahan dan hipotesis penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang dipakai, prosedur penelitian, serta metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.
4. Analisis Hasil dan Interpretasi Data, akan menjabarkan pengolahan atas data yang telah terkumpul di lapangan, mengevaluasi apakah data yang ada menjawab pertanyaan penelitian, serta membuktikan apakah data yang ada mendukung atau tidak mendukung hipotesis.
5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, merupakan bagian yang memaparkan kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian secara lebih mendalam, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah penelitian dan saran-saran metodologis untuk kepentingan penelitian selanjutnya yang mengangkat topik yang sama.
SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

(KODE PSIKOLOG-0007) : SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Keindahan ataupun penampilan ragawi yang menarik, merupakan salah satu aspek penting dalam membuat kesan pertama dan juga bisa membuat orang lain tertarik pada diri kita. Sekalipun penilaian seperti ini tentulah sangat dangkal dan terkesan tidak melihat 'isi' ataupun hal-hal lain di luar penampilan, tetapi tidak bisa disangkal bahwa orang memang cenderung melihat penampilan fisik ataupun tampilan 'luar' saja.
Menurut pendapat peneliti, kita akan lebih merasa senang jika melihat orang yang memiliki penampilan 'enak dipandang' dan bersih daripada orang yang 'dekil', kotor atau tidak terawat. Salah satu aspek penampilan fisik yang penting dan merupakan hal yang paling 'terlihat' adalah tubuh. Tubuh yang langsing, ramping, kencang bagi wanita ataupun tubuh pria yang berotot, tinggi besar, 'keras' bagi pria merupakan idaman semua orang. Jika dibandingkan dengan tubuh yang 'kerempeng', kurus kering ataupun tubuh gemuk yang buruk, 'malas' dan terlihat tidak lincah, orang lebih ingin memiliki tubuh ideal yang langsing dan kencang, yang menandakan kesehatan dan juga membuat seseorang lebih terlihat percaya diri dan menarik.
Penampilan fisik juga merupakan salah satu aspek yang penting untuk menarik perhatian lawan jenis. Dari segi fisiologis, penelitian pada perilaku hewan yang dilakukan oleh ahli zoologi mengemukakan bahwa binatang jantan maupun betina mengalami perubahan fisiologis yang terjadi tanpa disadari ketika mereka berusaha menarik perhatian satu sama lain. Perilaku yang sama juga terjadi pada manusia, karena terjadi secara tidak disadari dan tidak bisa dijelaskan, perilaku-perilaku ini kemungkinan besar merupakan bawaan (Pease, XXXX).
Menurut Dr.Albert Scheilen dalam artikel 'Quasi-courtship behaviour in psychoterapy', ketika individu memasuki ruangan yang penuh dengan lawan jenis, terjadi beberapa perubahan fisik. Misalnya saja individu akan berjalan lebih tegap, wajah dan mata akan terlihat lebih terang, posisi tubuh tidak akan terlihat malas, secara otomatis perut akan ditahan dan individu akan terlihat lebih muda. Tempat ideal untuk mengobservasi hal ini ialah misalnya saja seperti di pantai dimana wanita dan pria yang berjalan mendekati satu sama lain, jika dilihat dengan cermat maka ketika mereka berdekatan akan terjadi perubahan-perubahan fisik tersebut, dan ketika mereka sudah tidak saling berpandangan perubahan ini akan menghilang dan kembali ke posisi semula. (Pease, XXXX)
Media massa turut memiliki peran dalam 'mengkomunikasikan' bentuk apa yang menarik dan apa yang tidak secara fisik kepada masyarakat. Jika kita lihat televisi, internet ataupun membaca majalah, kita akan melihat bahwa model-model ataupun bintang film yang memiliki tubuh yang dianggap 'ideal' pada masyarakat masa kini, yaitu bagi wanita adalah tubuh yang cenderung kurus dan ramping, sedangkan bagi pria yaitu tubuh yang berotot dengan perut six pack dan otot yang keras. Ketika karakter atau tokoh di televisi memiliki tubuh yang gemuk, mereka cenderung dilihat sebagai obyek humor atau digambarkan sebagai individu yang tidak menarik atau tidak menggairahkan. Individu yang gemuk pada iklan televisi dianggap sebagai imej 'sebelum' pada iklan produk diet atau target dari lelucon ataupun humor. (Thompson, Heinberg, Altabe & Tantleff-Duff, 1999)
Iklan yang memperlihatkan model yang bertubuh gemuk model yang bertubuh tidak 'ideal' tersebut, seperti misalnya iklan suatu produk vitamin yang memperlihatkan dua orang wanita yang berusaha merebut perhatian seorang pria. Wanita pertama bertubuh gemuk sedangkan yang kedua bertubuh langsing, pada akhir cerita diceritakan bahwa wanita pertama harus 'kalah' dan melihat pria tersebut lebih memilih untuk berdansa dengan wanita yang tubuhnya langsing. Menurut pengamatan peneliti, banyak iklan produk untuk wanita seperti misalnya pemutih kulit, pencuci rambut, produk diet, ataupun produk-produk lain dipromosikan dengan model yang memiliki rambut lurus, kulit putih, langsing dan hal ini secara tidak langsung memicu pendapat bahwa tubuh yang benar, baik dan harus dicapai agar seseorang merasa sukses, bahagia dan lengkap adalah wanita yang bertubuh langsing, putih dan berambut lurus. Jika bentuk tubuh yang 'ideal' ini tidak dicapai, pastinya ada sesuatu yang 'salah' pada individu tersebut, media secara tidak langsung menciptakan imej 'ideal' yang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dicapai semua orang.
Peneliti berpikir apa yang terjadi jika tidak semua orang 'lahir' dengan gen yang tidak memungkinkan ia memiliki tubuh ideal tersebut? Kita akan melihat diri sendiri dan cermin serta membandingkan diri dengan orang lain yang menurut kita 'sempurna', Efek dari tekanan budaya dan masyarakat tersebut juga bisa muncul lewat perilaku yang 'langsung' oleh lingkungan sekitar seperti ejekan dari orang lain dan teman, bisa semakin membuat individu merasa gagal dan semakin terpuruk. Citra tubuh atau Body image adalah persepsi seseorang secara subyektif mengenai penampilan fisiknya sendiri memegang peranan yang penting, karena individu cenderung tidak bisa melihat penampilan fisiknya sendiri secara obyektif. Ketidakpuasan citra tubuh ini tidak hanya terjadi pada orang yang memiliki fisik yang buruk, namun hal ini juga bisa terjadi pada orang yang sebetulnya secara obyektif memiliki tubuh yang ideal. Citra tubuh bisa menurun dan memburuk pada orang yang memandang tubuhnya terlalu kurus, gendut, atau tidak 'memuaskan' meskipun secara obyektif jika dilihat oleh orang lain tubuhnya termasuk ideal, sedangkan di sisi lain, orang yang memiliki citra tubuh yang baik dan tingkat kepuasan pada tubuhnya sendiri tinggi meskipun secara obyektif tubuhnya tidak 'ideal', cenderung lebih sehat secara psikologis dan bisa menerima dirinya apa adanya. (Thompson, 1996)
Individu yang memiliki imej tubuh ideal berbeda dari bentuk tubuh mereka yang sebenarnya, misalnya saja pria menginginkan untuk bisa lebih tinggi, memiliki bahu yang lebar ataupun bentuk tubuh yang lebih berotot, sedangkan wanita ingin bisa lebih tinggi ataupun lebih kurus. Pada saat yang bersamaan terdapat perbedaan signifikan, dimana pria dan wanita mempersepsikan bentuk tubuh ideal yang mereka pikir disukai oleh masing-masing jenis kelamin. Misalnya saja wanita berpikir bahwa pria menginginkan wanita yang kurus dan memiliki payudara yang besar, walaupun pada kenyataannya wanita yang betul-betul diinginkan oleh pria ialah bertubuh biasa-biasa saja dan memiliki payudara ukuran sedang (Atwater & Duffy, 1999). Walaupun demikian, terdapat diskrepansi yang kecil pada persepsi pria terhadap tubuh pria yang ideal yang diinginkan oleh wanita dan figur pria yang diinginkan oleh wanita. Sebagai hasilnya, pria lebih bisa menilai berat badan yang sebenarnya, yang ideal, dan ukuran yang mereka pikir diinginkan oleh wanita dibandingkan wanita. (Atwater & Duffy, 1999)
Masalah kekhawatiran pada penampilan fisik ini biasanya merupakan masalah yang dialami oleh sebagian besar wanita, dimana penulis amati bahwa sebagian dari majalah wanita tersebut misalnya saja Cosmopolitan, Harper's Bazaar, ataupun Femina biasanya memuat artikel diet dan olahraga serta menampilkan model-model wanita yang kurus dimana hal ini bisa terus meningkatkan rasa ketidakpuasan wanita terhadap tubuhnya sendiri. Tekanan dari budaya yang dipengaruhi media mengharuskan wanita untuk tampil 'menarik' dan merawat tubuhnya sendiri merupakan hal yang semula dianggap dominan merupakan masalah bagi kaum hawa. Sudah tidak aneh lagi jika kita mengetahui bahwa mayoritas wanita mengalami masalah eating disorder seperti anorexia nervosa, bulimia ataupun binge eating. Perilaku yang tentunya amat destruktif dan bisa mengganggu fungsi individu baik secara psikis maupun fisik ini merupakan salah satu bentuk perwujudan untuk mencapai apa yang ditekankan oleh budaya merupakan hal yang 'ideal' ataupun 'baik'. Terlebih bagi wanita-wanita yang harus sering muncul di muka umum, seperti misalnya seperti mendiang Lady Diana, Lindsay Lohan, Nicole Richie dan Victoria Beckham.
Penekanan pada pentingnya penampilan fisik ini tidak bisa begitu saja diabaikan dan dianggap sebagai masalah bagi wanita saja, pada kaum pria, telah ditemukan bahwa merekapun dalam derajat tertentu memiliki tingkat ketidakpuasan pada tubuhnya sendiri. Walaupun dari segi angka ataupun persen penderita eating disorder masih didominasi oleh wanita, pria ternyata juga mengalami hal ini. Salah satu aspek penting yang ternyata mempengaruhi ketidakpuasan citra tubuh adalah orientasi seks, dimana pria homoseks ataupun disebut juga gay ternyata memiliki ketidakpuasan citra tubuh yang lebih tinggi dan juga kecenderungan mengalami eating disorder dibandingkan pria heteroseks (http://www.msoe.edu/st_life/couns/news/v2_6.shtml). Hal ini tentunya menarik untuk diteliti, karena melihat dari gaya hidup pria gay ataupun heteroseks yang berbeda, tentunya ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan terjadinya perbedaan pada ketidakpuasan citra tubuh ini.
Orientasi seks homoseksual yang sejak dulu sudah menjadi hal yang kontroversial dan menimbulkan debat yang berkepanjangan tidak bisa dihindari menimbulkan stigma di masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang berdosa, memiliki kelainan jiwa, menjijikan ataupun 'menyimpang' dari norma agama ataupun masyarakat yang sudah mantap. Heteroseksualitas dianggap merupakan salah satu orientasi seks yang paling benar dan 'pasti' serta dillindungi oleh institusi resmi seperti pernikahan dan lebih disetujui daripada orientasi homoseksual. (Greene & Croom, 2000)
Penyebab mengapa seseorang bisa menjadi homoseks sampai sekarang masih diperdebatkan, belum ada studi yang dapat membuktikan secara pasti penyebab mengapa seseorang menjadi homoseks. Faktor biologis seperti misalnya genetik, gangguan prenatal, ataupun kelenjar endokrin dan juga faktor psikologis seperti misalnya pola asuh, lingkungan budaya ataupun peran gender tidak memiliki bukti yang konsisten dan kuat untuk menentukan secara pasti penyebab homoseksualitas. (Hyde, 1990)
Pria gay yang harus 'hidup' dengan stigma masyarakat yang menolak mereka tentunya bisa mengalami perasaan depresi, putus asa dan juga kepercayaan diri yang rendah. Hubungan dengan pria gay lain baik sebagai kekasih ataupun teman tentunya menimbulkan kelegaan karena mereka bisa sama-sama 'membagi' perasaan dan mereka sama-sama mengalami hal yang biasanya dialami oleh kaum minoritas dan terpinggirkan ini, seperti misalnya ejekan, hinaan dan juga perasaan ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh keluarga mereka sendiri (Paul, Weinrich, Gonsiorek & Hotvedt, 1982)
Salah satu cara bagi pria gay untuk bisa bertemu dengan gay lain, adalah melalui komunitas homoseks seperti misalnya bar khusus pria gay. Dengan bertemu 'sesama' ini, mereka bisa mengidentifikasikan diri dan juga memantapkan identitas mereka yang sebenarnya tanpa perasaan takut atau ditolak. Bagi sebagian pria gay, perasaan 'feels like home' ini melegakan Selain itu, pria gay yang memiliki jaringan pertemanan yang luas dan ikut serta dalam komunitas khusus gay ini biasanya cenderung memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik daripada pria gay yang tidak memiliki jaringan pertemanan dengan komunitas gay (Komblum & Julian, 1989)
Walaupun demikian, ketika bertemu dengan sesama pria homoseks, pria gay akan cenderung 'melihat' perilaku ataupun 'norma' yang ditetapkan dalam dunia komunitas gay. Subkultur gay cenderung menekankan pada penampilan fisik dan tubuh yang indah, berotot, terjaga dan enak dilihat terutama pada pria gay yang usianya masih muda dan berstatus lajang. Jika hal ini dikaitkan dengan perbedaan seksualitas antara pria dan wanita, dimana pria pada awalnya lebih terfokus pada hubungan seks dan baru ketika bertambah dewasa mulai terfokus pada komponen emosi pada suatu hubungan, sedangkan wanita pada awalnya lebih terfokus pada komponen emosi suatu hubungan, baru ia bisa menikmati hubungan seks (Atwater & Duffy, 1999)
Bisa diambil kesimpulan bahwa baik pria heteroseks maupun homoseks cenderung untuk terfokus pada aspek hubungan badan dan hubungan emosi baru berkembang kemudian, sedangkan wanita cenderung untuk terfokus pada hubungan emosi dan kenikmatan dalam hubungan badan baru bisa berkembang kemudian Dalam subkultur yang menekankan 'norma' bahwa penampilan fisik yang menarik tersebut akan lebih 'diterima' dan akan lebih mudah untuk bisa menarik perhatian pasangan, tidaklah heran jika tingkat ketidakpuasan citra tubuh pria gay semakin meninggi, cenderung bisa mengarah pada eating disorder. (http://www.vanderbilt.edu/AnsS/pscyhology/health_psychology/sexual_orientation.htm)
Penelitian mengenai citra tubuh pada pria masih merupakan hal yang jarang dibahas, khususnya untuk pria gay. Keberadaan mereka terutama di Indonesia masih terbatas untuk kalangan tertentu saja dan merupakan hal yang 'tabu' untuk dibahas. Selain itu, Thompson (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat ketidakpuasan pada tubuh atau masalah citra tubuh lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan orang Asia atau Afrika. Oleh karena itu, skripsi studi kualitatif ini akan melihat dan meneliti gambaran ketidakpuasan citra tubuh pada subyek pria gay dari Indonesia, dan juga pria kulit putih oleh subyek pria gay dari Spanyol. Hal ini dikarenakan budaya memegang peranan penting untuk menekankan apa yang dianggap 'ideal' oleh masyarakat dari budaya tertentu yang bisa saja berbeda dari budaya lain. Konstruk citra tubuh yang menekankan konteks budaya merupakan suatu hal yang penting, dimana konsep ini sudah ada sejak individu kecil, dan apa yang dianggap 'ideal' oleh suatu budaya tertentu akan terus dibawa oleh individu sampai ia besar.

1.2 Masalah penelitian
1. Apakah terdapat ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
2. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja?
3. Mengapa terjadi ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
4. Faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
5. Bagaimana cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik?
6. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja?

1.3 Tujuan penelitian
1. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
3. Mengetahui apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja.
4. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik.
5. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja
6. Individu gay bisa memiliki citra tubuh yang realistis dan mampu untuk menerima dirinya apa adanya.

1.4 Manfaat penelitian
1. Mendapatkan gambaran deskriptif secara mendalam mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Menambahkan informasi yang aktual dan akurat serta memberikan kontribusi ilmiah secara umum kepada masyarakat dan secara khusus kepada komunitas gay mengenai topik citra tubuh.
3. Menambah khasanah ikhtisar ilmu pengetahuan terutama mengenai orientasi homoseksual dan komunitasnya, yang merupakan salah satu topik yang masih jarang dibahas dan diteliti di Indonesia.
4. Penelitian ini bisa menjadi dasar atau fondasi bagi penelitian-penelitian lain yang ingin menyingkap lebih mendalam mengenai homoseksual ataupun komunitas gay.
5. Memperoleh gambaran mengenai perbedaan ataupun persamaan dan juga perbandingan ketidakpuasan citra tubuh antar budaya atau multi kultur antara budaya Indonesia dan budaya barat oleh Spanyol.
6. Pada terapi atau intervensi psikologis, pengetahuan mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay bisa membantu psikolog atau terapis untuk bisa menangani dan memahami klien mereka dengan lebih baik.
7. Tujuan utama untuk riset multikultural mengenai citra tubuh ialah untuk menentukan insiden ketidakpuasan citra tubuh dan pola makan pada kelompok etnis yang berbeda (Pertanyaan yang timbul ialah mengenai apakah citra tubuh dan eating disorder memiliki etiologi dan juga pola simptom yang berbeda pada kelompok yang berbeda). Selain itu juga untuk memahami dan mendapatkan pengertian mengenai citra tubuh yang ideal pada budaya yang berbeda.
HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

(Kode PSIKOLOG-0006) : SKRIPSI HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Fenomena kekerasan sangat dekat dengan manusia. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti banyaknya kasus penculikan, pemukulan, pembunuhan, perampokan, dan lain sebagainya. FBI's Crime Clock (Karmen, 2001) menyatakan bahwa kasus kekerasan (violent crime) terjadi di Dunia hampir 21 detik sekali. Bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan adalah dengan penyerangan tanpa senjata, namun ada pula beberapa kasus yang menggunakan alat seperti pistol ataupun pisau (Miller, Perlman, dan Brehm, 2007).
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada umumnya korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak (http://kajianmuslimah.wordpress.com/), dan kekerasan tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir ini, terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 100 persen (Kompas, 28 Maret 2009). Tahun 2007, Komnas Perempuan menerima sekitar 26.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu naik lebih dari 100 persen pada tahun 2008 menjadi sekitar 56.000 kasus. Namun menurut berbagai pihak, angka tersebut hanyalah peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan oleh korban.
Salah satu kasus adalah mengenai kekerasan dalam berpacaran. Menurut http://keluarga.infogue.com/, segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik atau psikologis dalam hubungan pacaran adalah kekerasan dalam berpacaran. Menurut The National Clearinghouse on Family Violence, kekerasan dalam berpacaran (dating violence) adalah:
"..any intentional sexual, physical, or psychological attack on one partner by the other in a dating relationship "
(The National Clearinghouse on Family Violence, 2005:1)
Penelitian dari LKTS dan KP2K mengenai kekerasan dalam pacaran di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Jogja menghasilkan angka lebih dari 957 kasus kekerasan dalam berpacaran di tahun 2007. Di Jakarta sendiri pada bulan Januari sampai Maret 2008, ada lebih dari 200 laporan kasus kekerasan dalam pacaran. Padahal, Dating Violence Resource Center menyatakan bahwa hanya 10% dari korban melaporkan kasusnya ke pihak otoritas. Dari angka tersebut, 57% telah mengalami kekerasan fisik, 38% kekerasan psikologis, dan 5% kekerasan seksual. Bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan sampai penyanderaan, kekerasan psikologis seperti bentakan sampai ancaman, dan kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual sampai perkosaan.
Meningkatnya kasus tersebut diperburuk dengan hukum di Indonesia yang sama sekali belum menyentuh aspek hubungan antar remaja. Perempuan yang sudah menikah lebih aman secara hukum karena dilindungi oleh UU KDRT, berbeda dengan pasangan yang masih berpacaran atau belum menikah yang tidak memiliki dasar hukum. Korban dari kekerasan tersebut mungkin masih mempertahankan hubungannya karena beberapa hal, seperti rasa takut pada sang pelaku, loyalitas terhadap cinta, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah psikologi seperti kecemasan berlebihan, depresi, dan rasa bersalah. Hal ini merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak.
Fenomena kekerasan ini terkait dengan adanya Aggression atau agresi. Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwa agresi merupakan akar dari kekerasan, dan kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi (Krahe, 2005). Bandura (1976) mendefinisikan agresi sebagai berikut:
"..behaviour that result in personal injury and in destruction of property. The injury may be psychological (in the form of devaluation or degradation) as well as physical"
(Bandura, 1976:5)
Dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan sebuah tindakan pelaku yang dapat melukai atau menyakiti korban baik secara fisik maupun secara psikologis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi agresi adalah faktor sosial seperti adanya provokasi dari orang lain, rangsangan dalam berbagai permainan kompetitif, frustasi, kekerasan dalam media seperti dalam video game, dan kekerasan dalam pornografi; faktor kultural; faktor personal seperti tipe kepribadian, narsisme, dan gender; dan faktor situasional seperti temperatur dan alkohol. Semua faktor ini dianggap memiliki pengaruh terhadap tingkat agresi seseorang.
Hasil penelitian dari Zilboorg (1938) menyatakan bahwa individu yang kesepian biasanya berperilaku agresif dan memiliki sikap hostility. Hal tersebut disebabkan karena individu yang kesepian jarang sekali dapat mengontrol kekesalannya sehingga ia akan mengeluarkan rasa bencinya. Pernyataan tersebut didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Diamanat dan Windholz (1981) yang menemukan bahwa skor UCLA Loneliness Scale (Russel et all, 1978) berkorelasi dengan Hostility Guilt Inventory (Buss-Durke, 1957). Loucks (1980) juga menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki skor yang tinggi pada pengukuran anger-hostility, yang merupakan el em en dari agresi.
Penelitian lain menyatakan bahwa pria yang kesepian cenderung akan menunjukkan hostility atau kebencian. Hal ini disebabkan karena individu yang kesepian memiliki kemampuan sosial yang rendah (Jones et al, 1981) dan juga memiliki rasa ketidakpuasan dengan kehidupan pertemanan dan percintaannya (Cutrone, 1982). Oleh karena itu pria yang kesepian akan merasakan kebencian terhadap salah satu sumber frustasi mereka yaitu wanita (Check, Perlman, dan Malamuth, 1985). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang berjalan searah antara kesepian dengan agresi. Semakin individu merasa kesepian, semakin tinggi tingkat agresinya.
Selain adanya keterkaitan langsung antara agresi dengan kesepian yang ditemukan oleh Zilboorg tersebut, terdapat pula variabel yang merupakan penghubung antara kedua variabel tersebut, yaitu frustasi. Individu yang memiliki tingkat kesepian yang tinggi cenderung akan menjadi frustasi (Anderson dan Harvey, dalam Miller, Perlman, dan Brehm, 2007), dan frustasi tersebut merupakan salah satu faktor penting penyebab timbulnya agresi (Berkowitz, 1978). Frustasi juga dapat menyebabkan agresi yang cukup tinggi pada situasi tertentu (Folger dan Baron, dalam Baron, 2004).
Menurut Perlman dan Peplau (1982), terdapat tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengenai kesepian, yaitu pendekatan: Need for Intimacy, Cognitive Processes, dan Social Reinforcement. Archibald, Bartholomew, dan Marx (dalam Baron dan Byrne, 2004) mendefinisikan kesepian dengan pendekatan Cognitive Processes, yaitu sebagai berikut:
"..an individual emotional and cognitive reason to having fewer and less satisfying relationships than he or she desires. "
(Archibald, Bartholomew, dan Marx, dalam Baron dan Byrne, 2004: 304)
Pada penelitian ini, peneliti mengambil pendekatan Cognitive Processes dalam mendefinisikan kesepian, yang menyatakan adanya perbedaan atau kesenjangan antara hubungan sosial dan emosional yang individu inginkan dengan dicapai individu. Dapat dikatakan bahwa kesepian adalah suatu perasaan (emosi) atau pikiran (kognitif) dari seseorang bahwa hubungan sosial dan emosionalnya kurang memuaskan.
Matondang (1991) mengatakan bahwa masalah kesepian biasanya banyak dihadapi oleh wanita dan pria yang lajang. Penelitian yang dilakukan oleh Wheeler, Reis, dan Nezlek (1983) menemukan bahwa tingkat kesepian individu yang memiliki romantic partner lebih sedikit daripada individu yang lajang, bahkan perbedaannya mencapai hingga 85%. Miller, Perlman, dan Brehm (2007) pun memiliki pendapat yang sama, yaitu:
"..a person can have an extensive social network and a very active social life but still feel lonely if he or she does not have a romantic partner. "
(Miller, Perlman, dan Brehm, 2007: 433)
Pernyataan tersebut didukung pula oleh Cutrona (1982) yang menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki rasa ketidakpuasan pada kehidupan pertemanan dan juga hubungan romantis.
Hubungan yang berbanding terbalik antara adanya hubungan romantis dengan kesepian ini disebabkan karena tidak adanya orang lain yang dekat untuk membagi suka dan dukanya setiap saat, sehingga menimbulkan rasa kesendirian dalam menanggapi hidup. Cargen dan Melko (1982) menyatakan bahwa individu lajang biasanya merasa tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan berdiskusi mengenai berbagai hal, dan menganggap bahwa kebanyakan orang merasa kesepian.
Jika kita melihat keterkaitan antara hubungan lurus antara agresivitas dan kesepian dengan kasus kekerasan dalam berpacaran, hal ini perlu dipertanyakan. Di satu sisi, individu yang memiliki pacar atau sedang mengalami hubungan romantis, dianggap memiliki tingkat kesepian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang lajang. Namun di sisi lain, adanya kekerasan dalam berpacaran menunjukkan bahwa terdapat pula kecenderungan perilaku agresi pada individu yang sedang berpacaran. Padahal dengan adanya hubungan lurus antara antara kesepian dengan agresi menurut temuan Zilboorg, dan frustasi sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap agresi, seharusnya kekerasan dalam berpacaran tidak terjadi terutama dalam jumlah kasus yang cukup banyak. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi terutama pada remaja yang sedang berpacaran? Selanjutnya, peneliti berencana melakukan penelitian terhadap individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Masa remaja yaitu sekitar 11-24 tahun (Sarwono, 1992), merupakan masa dimana individu memiliki banyak masalah sehingga menimbulkan kecenderungan untuk berperilaku agresi (Hurlock, 1980). Di lain pihak, menurut Matondang (1991), usia 18-25 tahun adalah usia puncak dimana individu paling menderita kesepian, karena terjadinya kesenjangan yang besar antara keinginan individu untuk membentuk hubungan akrab (intimacy) dan kegagalan dalam menemukan hubungan. Dalam kaitan hubungan antara agresi dengan kesepian, peneliti mengambil perpotongan usia dari kedua penelitian tersebut, yaitu individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir yaitu berusia 18-24 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan kesepian terhadap kecenderungan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Selain itu, peneliti juga akan mencari perbedaan tingkat kesepian dan agresivitas yang dikaitkan dengan identitas pribadi dari subjek.

1.2 Permasalahan
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yaitu: apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesepian dan agresi memiliki hubungan, namun pada penelitian ini subjek akan lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran.
Selain tujuan tersebut, adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu melihat apakah kesepian merupakan faktor yang cukup penting dalam perilaku agresi, dalam kaitannya pada banyaknya kasus kekerasan dalam berpacaran.

1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan memperbanyak penelitian mengenai kesepian dan agresi, dengan kaitannya dengan hubungan romantis, sebagai salah satu topik yang dibahas dalam lingkup ruang Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah temuan dari penelitian sebelumnya (Zilboorg, 1938) mengenai adanya hubungan langsung antara kesepian dengan agresi. Penelitian ini berfokus pada hubungan kesepian dan agresi, dengan subjek yang lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran. Ditambah, penelitian sebelumnya mengenai kesepian dan agresi diteliti pada tahun 1938, sehingga penelitian ini mencoba mengkonfirmasi apakah hasil penelitian tersebut tetap berlaku sampai tahun ini.
Selain itu, adanya peneilitian ini membantu korban kekerasan untuk mengatahui bahwa apakah kesepian merupakan salah satu faktor penting dalam agresi. Jika ya, maka korban tersebut dapat membantu menghilangkan faktor tersebut pada dirinya atau pasangannya agar tidak terjadi perilaku agresi.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memancing penelitian lain mengenai kesepian atau agresi di Indonesia yang masih sangat terbatas jumlahnya.

1.5 Sistematika Penulisan
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan dan masalah penelitian, dan sistematika penulisan laporan ini. Latar belakang penelitian adalah alasan dan dasar mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Permasalahan adalah pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Tujuan dan manfaat adalah hal-hal yang akan dicapai peneliti jika penelitian ini berhasil dilakukan. Sedangkan sistematika adalah penjelasan mengenai bagian-bagian atau bab-bab dalam laporan ini.
Bab II merupakan tinjauan pustaka yang berisi penjelasan mengenai variabel yang akan diukur, seperti kesepian, agresi, remaja, dan hubungan romantis. Penjelasan tersebut berisi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi, dimensi, dan lain sebagainya. Selain penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut, terdapat pula kaitan antar variabel.
Sedangkan Bab III akan menjelaskan permasalahan, hipotesis, dan metode penelitian, seperti karakteristik subjek yang akan diteliti, populasi penelitian, dan validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan. Peneliti berencana akan menggunakan teknik kuantitatif dengan jumlah subjek lebih dari 30 orang, agar dapat dilakukan penghitungan statistik (Guildford dan Frutcher, 1981). Sampel yang akan diteliti adalah remaja berusia 18-24 tahun yang berdomisili di X.
Bab IV akan menjelaskan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, dari gambaran data kontrol subjek sampai penghitungan hubungan antara kedua variabel, dan pengaruh antara variabel Kesepian terhadap Agresi serta seberapa banyak pengaruhnya. Selain itu, peneliti juga melihat perbedaan data kontrol dengan hubungannya terhadap variabel. Penyusunan Bab IV ini berguna untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.
Terakhir adalah Bab V yang akan berisi simpulan dimana berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, diskusi yang berisi kekurangan dan berbagai evaluasi lainnya, dan saran yang berisi bagaimana sebaiknya tindak lanjut yang akan dilakukan mengenai penelitian ini.
HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

(Kode PSIKOLOG-0005) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered, yaitu fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Kemudian, secara bertahap, remaja mulai tertarik dengan lawan jenis dan mulai melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual dengan lawan jenisnya tersebut (Rice, 1993). Perilaku seksual merupakan segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk dari perilaku seksual ini bermacam-macam, dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2007).
Perilaku seksual yang terjadi pada remaja ini merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena di Indonesia sendiri telah diketahui bahwa resiko dari perilaku seksual pada remaja telah semakin mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dari hasil survei BKKBN (2008) yang menyebutkan bahwa setiap harinya 100 remaja Indonesia telah melakukan aborsi. Ini berarti setiap tahun ada 36 ribu janin dibunuh. Selain itu, sebuah penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 80% anak usia 9 -12 tahun telah mengakses pornografi (Ali, 2007). Oleh karena itu, banyak ahli yang telah meneliti mengenai perilaku seksual pada remaja.
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan perilaku seksual remaja tampak pada penelitian Sarwono (2001) kepada siswa-siswi kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa di atas 93% remaja pernah berpegangan tangan dengan pacarnya. Jumlah yang pernah berciuman adalah 61.8% untuk remaja laki-laki dan 39.4% untuk remaja perempuan. Remaja yang pernah meraba payudara pasangannya tercatat 2.32% untuk remaja laki-laki dan 6.7% untuk remaja perempuan. Selain itu, terdapat 7.1% remaja laki-laki dan 1.0% remaja perempuan yang pernah memegang alat kelamin pasangannya. Terakhir, diketahui bahwa 2.0% dari remaja laki-laki tersebut sudah berhubungan seksual.
Hasil penelitian serupa mengenai perilaku seksual remaja, juga dikemukakan oleh Damayanti (2007), dalam disertasinya yang berjudul Peran Biopsikososial Terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di Jakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil mengenai sebelas jenis perilaku seksual dalam berpacaran yang dilakukan oleh remaja. Perilaku seksual ini diukur secara bertingkat mulai dari mengobrol atau saling mencurahkan isi hati hingga melakukan hubungan seksual. Tabel di bawah ini menggambarkan macam-macam perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Penelitian Sarwono dan Damayanti menunjukkan bahwa perilaku seksual dilakukan remaja bersama pacarnya. Rice (1993) mendefmisikan pacaran atau dating sebagai hubungan antara dua individu lawan jenis disertai adanya kedekatan, kelanggengan, serta melibatkan cinta dan komitmen. Menurut Santrock (2003), melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual merupakan salah satu fungsi dari berpacaran, yaitu sebagai sarana eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
Kedua hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa remaja di kota besar, terutama Jakarta, telah melakukan jenis-jenis perilaku seksual yang cukup luas, mencakup dari mengobrol hingga hubungan seksual. Hal ini mereka lakukan karena adanya peningkatan sikap permisif terhadap perilaku seksual pada remaja (Dusek, 1996; Steinberg, 2002). Adapun yang dimaksud dengan sikap permisif adalah sikap positif terhadap perilaku seksual yang ditunjukkan dalam gaya berpacaran yang "serba boleh", mulai dari berciuman hingga akhirnya hubungan seksual, dan sikap tersebut disepakati oleh kedua belah pihak atau "mau sama mau" (Damayanti, 2007). Dalam Baron dan Byrne (2003) sikap terhadap perilaku seksual ini dibedakan mulai dari sikap sangat positif dan permisif (erotophilic) hingga sikap sangat negatif dan membatasi (erotophobic).
Pada tahun 1998, penelitian LDFEUI dan NFPCB (dalam Darwisyah, 2005) mengenai sikap remaja terhadap perilaku seksual, terutama hubungan seksual sebelum menikah, dilakukan di empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung). Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seksual. Sebanyak 2.2% responden setuju bila laki-laki berhubungan seksual sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seksual sebelum menikah. Jika hubungan seksual dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8.6%. Kemudian, jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12.5%. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa remaja yang menganggap perilaku seksual sebagai hal yang positif. Menurut Sarwono (2007), semakin tinggi sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pada remaja mengakibatkan semakin besar kecendemngan remaja untuk melakukan hubungan fisik yang lebih jauh dengan lawan jenis. Penelitian Dariyo dan Setiawati (dalam Amiruddin, 2007) juga memperoleh hasil bahwa memang terdapat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan intensi untuk melakukan hubungan seksual. Ini berarti semakin positif sikap remaja terhadap perilaku seksual maka semakin besar intensinya untuk melakukan perilaku seksual, sedangkan remaja yang memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku seksual akan semakin kecil intensinya untuk melakukan perilaku seksual.
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai sikap terhadap perilaku seksual, terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai sikap. Sikap merupakan reaksi evaluatif dalam kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukkan di dalam kepercayaan, perasaan, dan kecendemngan tingkah laku seseorang (Myers, 1999). Individu dikatakan memiliki sikap ketika ia berespon evaluatif dengan melibatkan aspek kognitif, afektif, atau konatif (Myers, 1999). Oleh karena itu, Winkel (dalam Aswati, 1994) mengatakan bahwa sikap memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dalam menghadapi pemilihan, seseorang mengutamakan sesuatu hal karena dipengaruhi sikapnya.
Kembali pada sikap terhadap perilaku seksual, Dusek (1996) mengatakan bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual, termasuk apa yang pantas dan kapan hal tersebut diharapkan terjadi, dibentuk dari pengaruh sosial. Pengaruh sosial adalah usaha yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau tingkah laku orang lain (Baron & Byrne, 2003). Pada remaja, pengaruh sosial yang paling dominan adalah teman karena teman mampu mempengaruhi remaja dalam bersosialisasi dan pencarian identitas diri. Keberadaan teman membantu remaja untuk mengekplorasi minat dan ketidaktentuan dalam hidupnya, sehingga remaja memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok (Erikson; Hartup; Steinberg & Silverberg dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000).
Selain itu, menurut Loetan (dalam Miol, 2005), teman merupakan orang yang paling sering dan mudah untuk ditemui. Biasanya, sesama teman saling melindungi satu sama lain sehingga wajar bila mereka juga saling bercerita mengenai masalah-masalah seksual. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Sarwono (2007) yang menunjukkan bahwa persentase remaja untuk bercerita mengenai hal-hal seputar seksual kepada teman cenderung lebih besar dibandingkan kepada guru, orangtua, teman, ahli, rohaniawan, dan media massa. Hasil penelitian Sarwono tersebut didukung pula oleh Synovate Research (dalam Kartika, 2005), yang menemukan bahwa remaja tidak mempunyai pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai masalah seksual. Informasi utama mereka terima dari teman. Sebanyak 81% remaja tersebut mengaku lebih nyaman berbicara mengenai masalah seksual dengan kawan-kawannya. Informasi lain, perihal masalah-masalah seksual, mereka peroleh dari film porno sebanyak 35%, untuk sekolah dan orangtua masing-masing sebanyak 19% dan 5%. Salah satu contoh nyata dari perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja karena adanya keterlibatan teman terlihat pada kasus Killa.
"Nyaris semua anggota geng Killa kebetulan sudah pernah merasakan hubungan seksual. Cuma Killa yang belum. Saat masih kelas II SKIP, teman-teman Killa memaksa ia untuk berhubungan seksual dengan pacamya. Kemudian, pacar Killa mengajak ia ke kamar. Dihinggapi perasaan penasaran dan tidak enak dengan teman-temannya, Killa pun menerima tawaran pacamya tersebut. "
(Majalah Hai, XXVI dalam Sarwono, 2007)
Adanya kebutuhan terhadap sumber dari afeksi, simpati, pengertian, dan pengarahan moral; tempat untuk melakukan berbagai eksperimen; dan setting untuk memperoleh otonomi serta kebebasan dari orangtua pada remaja, maka muncullah suatu kelompok peers (kelompok teman sebaya) tertentu (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Peers atau teman sebaya merupakan anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Bourne; Coleman dan Hendry; Erikson (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) mengatakan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan remaja. Berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual, Billy dan Udry (dalam Rice, 1993) mengatakan bahwa kecenderungan remaja untuk terlibat dengan perilaku seksual akan semakin besar saat teman sebayanya mempunyai sikap yang positif terhadap perilaku seksual. Sikap positif terhadap perilaku seksual dari teman sebaya ini akan ditiru oleh remaja sebagai bentuk dari loyalitas mereka terhadap kelompok teman sebayanya.
Fenomena ketika remaja meniru sikap dan tingkah laku orang lain, dalam hal ini teman sebaya, karena adanya tekanan yang nyata ataupun yang dibayangkan mereka disebut sebagai konformitas (Santrock, 2003). Konformitas merupakan cara bertingkah laku seseorang sesuai dengan hal yang dianggap dapat diterima atau pantas (norma) dalam kelompok mereka atau lingkungan sosial (Baron & Byrne, 2003). Secara umum, Baron dan Byrne (2003) menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu saat ia memiliki keinginan untuk diterima {normative influence) atau karena kelompok menyediakan informasi yang penting untuknya {informational influence). Namun, terkadang individu juga tidak melakukan konformitas karena adanya kebutuhan untuk berbeda dari orang lain {individuation) dan keinginan untuk mempertahankan kontrol terhadap kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya konformitas remaja terhadap teman sebaya dapat dilihat dari seberapa banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan yang ditiru remaja dari kelompok teman sebayanya. Semakin tinggi tingkat konformitas seseorang maka akan semakin banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang diikuti. Sebaliknya, semakin rendah tingkat konformitas seseorang maka semakin sedikit tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang ditiru olehnya. Atas dasar tersebut, Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menyatakan bahwa konformitas terhadap teman sebaya dapat memprediksi secara efektif kesulitan remaja dalam masalah psikososial dan tingkah laku yang membahayakan, dalam hal ini adalah sikap terhadap perilaku seksual dalam berpacaran.
Melihat penjelasan-penjelasan di atas, peneliti memperoleh beberapa hal penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarwono (2007) dan Damayanti (2007), diketahui bahwa saat ini perilaku seksual remaja dalam berpacaran telah semakin meluas. Hal ini disebabkan oleh sikap remaja yang semakin positif terhadap perilaku seksual, yang kemudian berpengaruh terhadap meningkatnya intensi untuk melakukan perilaku seksual (Sawono, 2007). Pengaruh sosial, terutama kelompok teman sebaya, turut berperan dalam pembentukan sikap remaja terhadap perilaku seksual tersebut. Dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya, maka akan timbul konformitas pada remaja. Selanjutnya, peneliti berpendapat bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual ini mungkin memiliki hubungan dengan konformitas terhadap teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya. Pentingnya penelitian ini disebabkan secara internal, remaja memang berada dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu hal yang baru, maka tak heran mereka tertarik untuk melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007). Namun, secara eksternal, budaya di Indonesia adalah budaya kolektivis, dimana lingkungan sosial memiliki pengaruh yang kuat (Baron & Byrne, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah sikap terhadap perilaku seksual juga berhubungan dengan pengaruh sosial, dalam hal ini konformitas terhadap teman sebaya.
Penelitian ini akan mengambil partisipan remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Pemilihan partisipan ini berdasarkan penelitian Sarwono (2007), bahwa pada rentang usia ini remaja sangat membutuhkan teman-temannya. Mereka senang jika banyak teman yang menyukai dirinya. Selain itu, disebutkan pula oleh Sarwono (2007) bahwa ketertarikan remaja di Indonesia terhadap seksualitas mulai muncul pada usia 13 hingga 18 tahun. Dengan pertimbangan tersebut, maka peneliti menggunakan sampel remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Menurut Steinberg (2002), rentang usia 15 - 18 tahun merupakan rentang usia pada periode remaja madya. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengetahui data statistik dari hubungan antara kedua variabel tersebut sehingga dapat menggeneralisasikan hasil dari sampel ke dalam populasi (Poerwandari, 2001).

1.2. Masalah Penelitian
Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah "Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada para orangtua, staff pendidik, pemerhati remaja, dan konselor mengenai kecenderungan sikap remaja terhadap perilaku seksual. Agar ke depannya dapat melakukan intervensi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sehubungan dengan perilaku seksual remaja. Melalui penelitian ini juga diharapkan remaja, terutama remaja madya, yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi dapat memilih kelompok teman sebaya yang baik dan lebih mengembangkan diri ke arah yang positif tanpa harus selalu mengikuti aturan yang berlaku di kelompok teman sebayanya.

1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Pada bab I ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bab II ini dijelaskan mengenai teori sikap terhadap perilaku seksual, konformitas terhadap teman sebaya, dan remaja madya yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab III ini dijelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian. Bab ini berisi tentang masalah penelitian, hipotesis, partisipan penelitian, alat pengumpulan data, dan diakhiri prosedur penelitian.
Bab IV Analisis dan Interpretasi Data
Pada bab IV ini dijelaskan mengenai data penelitian dan analisisnya serta interpretasi data yang telah dianalisis.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab V ini dijelaskan mengenai kesimpulan, diskusi, dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.
HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

(Kode PSIKOLOG-0004) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran internet bisa dibilang terlambat di Indonesia, namun dapat dibilang sangat cepat perkembangannya. Berdasarkan data dari situs Internet World Stats, pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 25 juta orang pada akhir tahun 2008. Tingkat pertumbuhan penggunaan internet yang terjadi selama 8 tahun mencapai 1.150%. Jauh melebihi data yang diambil pada tahun 2000, dimana jumlahnya hanya 2 juta orang. Besar pertumbuhan penggunaan internet ini jauh lebih besar dari jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia yang tidak lebih dari 3% per tahun. Hal tersebut makin meyakinkan bahwa internet dapat menjadi media baru yang akan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia seperti halnya media televisi saat ini (Syaifudin, 2008).
Internet jelas membantu banyak pihak dari berbagai kalangan dan kepentingan. Tidak hanya para praktisi, pelajar, dan masyarakat luas, pemerintahan pun dapat menggunakan fasilitas internet bagi kemudahan pelayanan, dapat menghemat banyak biaya, dan juga dapat meningkatkan kecepatan serta kualitas layanan publik. Selain pemerintah, korporasi swasta, industri perbankan juga memanfaatkan internet dalam segala bisnisnya. Hal ini dapat menjadikan internet sebagai tumpuan bagi masyarakat Indonesia ke depan.
Syaifudin kemudian menambahkan, berkat kemajuan teknologi informasi dan semakin meningkatnya bandwidth internet juga memicu tumbuhnya industri hiburan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga di Amerika menunjukkan bahwa masyarakat Amerika lebih menyukai internet daripada televisi. Secara garis besar, internet telah memungkinkan konvergensi berbagai media konvensional. Di Indonesia sendiri, model bisnis seperti ini baru berkembang dengan hadirnya TV kabel atau TV langganan, dan cabang industri hiburan lain yang cukup besar nilainya adalah Game. Meningkatnya penggunaan komputer dan internet menjadi kebutuhan sehari-hari, mengakibatkan potensi penggunaan secara berlebihan dan bahkan dapat berubah menjadi ketergantungan (Funk, et al., 2004).
Salah satu bentuk kecanduan yang ditimbulkan oleh penggunaan internet adalah internet game online/internet game atau biasa dikenal juga dengan online game, yaitu permainan yang dimainkan secara online melalui internet. Menurut analisa pasar global, industri internet games telah mencapai US$ 28.5 miliar di tahun 2005 saja, dan diperkirakan akan melampaui industri musik global pada tahun 2010 (BusinessWire, 2005). Internet juga telah membawa genre permainan baru seperti MMORPG. Menurut Syaifudin, di Indonesia sendiri industri game online sangat berkembang pesat di seluruh pelosok tanah air. Media teknologi terbaru ini dirancang untuk interactivity dan untuk komunikasi interpersonal.
Layaknya dunia nyata, orang-orang yang bermain di dalamnya dapat membuat kehidupan virtual dan berlaku seperti masyarakat yang nyata pada umumnya. Mereka dapat hidup, bergerak, bertransaksi, melakukan aktivitas sehari-hari, mendapatkan pekerjaan, mencari pasangan, bahkan membesarkan binatang peliharaan (The Sims 2: Pets, 2006) di 'dunia' virtual atau maya.
Masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang tinggi akan hal seni dan budaya Indonesia yang beragam. Hal ini masih berlaku di sebagian besar wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Salah satu hasil budaya yang masih banyak dipertahankan sampai saat ini adalah permainan tradisional yang dapat meningkatkan kreatifitas dan juga kerjasama/interaksi antar pemain. Lolly Amalia, Direktur Sistem Informasi, Perangkat Lunak dan Konten, Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengatakan, setidaknya ada 30 juta orang Indonesia yang memainkan game online (www.beritanya.com), atau dengan kata lain, 1 dari 8 orang Indonesia adalah pemain game online. Dengan kondisi pasar seperti itu, Indonesia menjadi pasar yang cukup potensial untuk industri permainan interaktif. Berdasarkan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia, industri permainan interaktif adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan pada media komputer, video, konsol, telepon genggam, dan jaringan internet, yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Sedangkan kriteria untuk menentukan sebuah permainan disebut permainan interaktif adalah permainan yang menggunakan aplikasi piranti lunak pada komputer (online maupun stand alone), konsol (Playstation, XBOX, Nitendo dll), telepon genggam, maupun alat ketangkasan lainnya. Menurut detikinet.com, dengan adanya internet sebagai salah satu kebutuhan atau sarana yang memudahkan aktivitas, pola budaya dalam masyarakat Indonesia juga dapat mengalami banyak perubahan. Sangat memungkinkan anak remaja lebih kenal dengan budaya Warcraft dibanding tarian Aceh. Mereka lebih kenal interface dan fitur Friendster dibanding rapat bulanan warga kelurahan.
Saat ini telah banyak warnet yang melengkapi fasilitas online game dalam tiap komputer yang mereka sediakan. Menurut hasil wawancara peneliti dengan pemilik atau penjaga beberapa warnet yang berada di daerah sekitar Jakarta Timur, fasilitas online game lebih banyak menarik pelanggan dibandingkan fasilitas lainnya yang disediakan oleh pihak warnet. Jumlah pelanggan yang memanfaatkan fasilitas untuk browsing, membuka e-mail, atau bahkan memperbarui status dalam situs jaringan sosial atau social network service seperti Facebook, tidak sebanyak pelanggan yang datang dengan tujuan untuk bermain online game. Sebuah studi mengemukakan sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh pelajar perempuan saat memakai internet adalah mengerjakan tugas sekolah (75%), instant messaging (68%), bermain game (68%), dan musik (65%). Sedangkan bagi pelajar laki-laki, sebagian besar aktivitas yang dilakukan adalah bermain game (85%), mengerjakan tugas sekolah (68%), musik (66%), dan instant messaging (63%) (Media Awareness Network, dalam Blais, Craig, Pepler, Connolly, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yee (dalam Loton, 2007) ditemukan bahwa laki-laki mendapatkan skor tertinggi dalam seluruh faktor achievement, menyempurnakan karakter di dalam permainan, menguasai mekanisme permainan dan berkompetisi dengan pemain lain. Sedangkan perempuan memiliki skor tertinggi pada komponen relationship, membina komunikasi dan kerjasama dengan pemain lain, bahkan di sebagian sub-komponen meningkatkan self-disclosure dan membentuk supportive relationships. Young (1998, dalam Wan & Chiou, 2007) menemukan bahwa online game adalah salah satu aktivitas paling candu dari para pengguna internet.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, internet game banyak diminati oleh remaja dan dewasa. Saat ini, 67% remaja di Amerika Serikat bermain internet game secara online (Rideout, et. al., 2005 dalam Williams, Yee & Caplan, 2008). Karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan antusiasme terhadap sesuatu yang dapat membangunkan minat mereka, seperti internet dan computer games, remaja dinilai lebih rentan melakukan penyimpangan dalam penggunaan internet. Melarikan diri dari kehidupan nyata ke dunia maya seringkali diasosiasikan dengan masalah serius dalam keseharian remaja. Kegemaran bermain internet game di kalangan remaja menimbulkan berbagai tanggapan mengenai pengaruh internet game terhadap perkembangan remaja (Subrahmanyam, Kraut, Greenfield, & Gross, 2000).
Meskipun saat ini perhatian media dan popularitas internet game yang dihubungkan dengan dampak-dampak buruk yang dapat disebabkan telah banyak dibicarakan, tetap saja penelitian mengenai topik tersebut masih sangat minim (Loton, 2007). Penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini telah menemukan banyak hubungan antara game online dengan ketergantungan dan perilaku penurunan interaksi sosial (Internet Paradox Study), bermain yang berlebih (Fisher; Griffiths, Hunt, dalam Loton, 2007), penurunan tajam pada social involvement, dan peningkatan kesendirian dan depresi (Subrahmanyam, 2000; Kraut, et al., 1998), serta mengalami high levels of emotional loneliness dan atau kesulitan berinteraksi secara sosial dalam kehidupan nyata (AMA, 2008), dan juga berhubungan dengan kerusakan pada faktor sosial, psikologi, dan kehidupan (Brenner; Egger; Griffiths; Morahn-Martin; Thompson; Scherer; Young, dalam Young, 1997). Saat ini di Amerika Serikat telah dibuka klinik untuk menanggulangi kerusakan serius yang disebabkan oleh penggunaan internet yang berlebihan (Young, 1997).
Berbeda dari penelitian kebanyakan, beberapa peneliti justru mengkhususkan diri meneliti tentang dampak positif internet game. Mereka menemukan bahwa internet games dapat menjadi alat pedagogi yang efektif Selain itu, para pemain mendapatkan keuntungan kognitif, atensi, ingatan, koordinasi tangan dan mata, ketajaman penglihatan, keterampilan spasial, dan bahkan inteligensi (Gibb, Bailey, Lambirth, & Wilson; Green & Bavelier; Reisenhuber; Satyen, dalam Loton, 2007). Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja menggunakan internet untuk role-play dan dalam suatu proses pembentukkan identitas. Interaksi secara online (termasuk email, chat, gaming, dan multi user domain (MUD)) merupakan 'laboratorium untuk pembentukan identitas' (Turkle, 1995).
Saat melakukan observasi di lapangan, peneliti sendiri telah menyaksikan bagaimana seseorang remaja (memakai seragam SMP) dengan asyiknya bermain internet game online dalam jangka waktu yang lama (sekitar 4 jam). Bahkan salah satu penjaga warnet yang peneliti temui mengatakan bahwa keuntungan yang mereka dapatkan setiap bulannya sebagian besar berasal dari anak-anak dan remaja yang bermain internet game secara online.
Ketergantungan internet game online yang dialami pada masa remaja, dapat mempengaruhi aspek sosial remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Orleans & Laney, 1997). Karena banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya mengakibatkan remaja kurang berinteraksi orang lain dalam dunia nyata. Hal ini tentunya mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki oleh seorang remaja. Menurut Putallaz & Gottman (1983 dalam Waters & Sroufe, dalam Dodge, Pettit, McClaskey, Brown, & Gottman, 1986) keterampilan sosial merupakan aspek tingkah laku sosial yang penting untuk diperhatikan guna mencegah penyakit fisik atau patologis pada anak dan dewasa. Pada remaja keterampilan sosial dibutuhkan dalam komunikasi sosial (Eisenberg & Harris, 1984). Keterampilan sosial juga memiliki pengaruh terhadap masa selanjutnya selama berlangsungnya kehidupan seseorang.
Merrel & Gimpel (1997) mengatakan bahwa individu dengan keterampilan sosial yang baik mengalami berbagai keberhasilan dan kegagalan selama hidup mereka tetapi mereka dapat mengatasi situasi sosial dan masalah yang mereka hadapi dengan baik, sedangkan bagi mereka yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung tidak ramah, harga diri rendah, mudah marah dan mengganggap percakapan biasa sebagai suatu tugas yang sulit.
Fenomena kecanduan internet game online ini diperkirakan sangat mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki oleh remaja. Penelitian ini merupakan penelitian awal mengenai fenomena meningkatnya penggunaan internet dan juga makin bertambahnya pemain internet games di Indonesia (Internet World Stats, 2008; Kompas.com). Penelitian mengenai intenet game yang dihubungkan dengan perkembangan psikososial di Indonesia pun sepertinya masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, hal tersebut dinilai penting oleh peneliti guna memberikan informasi mengenai perkembangan kecanduan terhadap internet game dengan perkembangan keterampilan sosial masyarakat di Indonesia, khususnya remaja. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna melihat hubungan keterampilan sosial dan kecanduan internet game pada remaja.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dimana data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada partisipan. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang keterampilan sosial remaja yang kecanduan internet game. Di dalam kuesioner yang disebarkan saat penelitian, peneliti menyertakan alat ukur yang merupakan modifikasi dari alat ukur Internet Addiction Disorder (IAD) untuk membedakan subyek yang mengalami kecanduan dan yang tidak, dan alat ukur Social Skills Inventory (SSI) untuk mengetahui skor keterampilan sosial yang dimiliki oleh tiap partisipan. Peneliti kemudian mengklasifikasikan tingkat kecanduan partisipan menjadi: rendah, sedang, dan tinggi.

1.2. Permasalahan
Peneliti berusaha untuk menemukan jawaban dari masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu:
"Apakah terdapat hubungan antara kecanduan internet game online dan keterampilan sosial pada remaja?"

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara kecanduan internet game online dan keterampilan sosial pada remaja.
2. Mengetahui keterampilan sosial pada remaja yang kecanduan internet game online.
3. Mengenali pengaruh kecanduan internet game online terhadap domain keterampilan sosial pada remaja.

1.4. Manfaat Penelitian
1. 4.1. Manfaat teoritis
1. Manfaat penelitian ini secara teoritis yaitu memberikan sumbangan pada ilmu psikologi dalam memahami fenomena yang terjadi dihubungkan dengan permainan komputer dengan menggunakan internet dari pandangan ilmu-ilmu psikologi.
1. 4. 2. Manfaat Praktis
1. Data dari hasil penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi orang tua dan pemerhati pendidikan dalam mendampingi para remaja dalam melewati masa-masa krisis pada perkembangan mereka.
2. Mengembangkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai dampak yang dapat ditimbulkan, sehingga dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai kecanduan internet game online.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB 1 berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sitematika penulisan.
BAB 2 berisi tinjauan pustaka mengenai definisi kecanduan, jenis kecanduan, faktor penyebab kecanduan, penelitian mengenai kecanduan, kriteria kecanduan, definisi internet game online, jenis internet game online, definisi remaja, ciri-ciri remaja dan hubungan remaja dengan keterampilan sosial.
BAB 3 berisi metode penelitian yang memuat permasalahan, sampel penelitian, desain penelitian, metode pengumpulan data, alat penelitian, teknik statistik yang digunakan, dan tahap uji coba alat ukur.
BAB 4 berisi hasil dan pembahasan, yaitu hasil data penelitian kuantitatif secara umum, data hasil pengolahan partisipan pemain internet game online serta pembahasannya.
BAB 5 merupakan bab penutup yang berisi diskusi, kesimpulan, dan saran dari hasil penelitian ini.
GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

(Kode PSIKOLOG-0003) : SKRIPSI GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pada umumnya setiap individu menginginkan dan memerlukan hubungan yang kuat dan baik dengan keluarganya. Hanya di dalam keluargalah seseorang mendapatkan penerimaan yang tulus untuk eksistensi dirinya. Setiap anggota keluarga memiliki keistimewaan yang dapat melonggarkan kesabaran sampai pada batasnya. Bahkan sampai pada masa tersulit, keluarga merupakan tempat di mana kita dapat dimaafkan, diterima, dan diberikan awal yang menyenangkan. Keluarga adalah tempat di mana problem-problem harus dicurahkan untuk ditafsirkan, dipecahkan, didiskusikan, dipelajari mengapa problem tersebut muncul dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Pearsall, 1996). Keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan yang pertama bertanggung jawab di tengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kondisi kesehatan manusia, karena di tengah keluargalah manusia dilahirkan serta dididik sampai menjadi dewasa (Kartono, 1992).
Sebagai orangtua, ibu memikul tanggungjawab terhadap kehidupan anaknya. Menurut Martin dan Colbert (1997), kehidupan orangtua dan anak terkait selama periode kehidupan. Menjadi seorang ibu merupakan suatu hal yang didambakan oleh para wanita yang telah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki anak sebagai pelengkap bagi terbentuknya suatu keluarga yang utuh, masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat berarti. Anak dapat memberikan kebahagiaan, membuat orangtua terhindar dari rasa kesepian, dan memberikan berbagai manfaat emosional lainnya. Anak juga dirasakan penting sebagai generasi penerus, pengikat hubungan dengan pasangan, serta jaminan hidup di hari tua (Heriningrum, 1995). Setiap pasangan suami istri tentunya mengharapkan memiliki anak yang sehat dan normal, namun apa yang akan dilakukan keluarga, dalam hal ini khususnya ibu, apabila anak lelakinya mengatakan "Ibu...saya adalah seorang gay" , apa yang akan ibu katakan dan lakukan?
Pengakuan yang dilakukan oleh anak lelaki tersebut di atas dikenal dengan istilah coming out. Coming out merupakan suatu proses bagi gay ketika ia mengakui bahwa ia adalah seorang gay, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain (Miracle, 2003). Coming out ini merupakan tindakan yang sangat sulit bagi kaum gay, karena masih adanya tekanan yang sangat besar dalam masyarakat untuk menjadi 100% heteroseksual dan untuk menghindari semua fantasi seksual dan perasaan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama (Rimmel & Weiner, 1995). Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih terikat nilai-nilai agama dan budaya. Seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan sebab masyarakat menganggap seks sebagai sesuatu yang alamiah. Seks adalah kodrat dan tidak perlu dikomunikasikan, apalagi diajarkan kepada anak-anak. Seksualitas itu sendiri menyangkut hak-hak manusia untuk menentukan pilihan-pilihan atas isu-isu yang intim dan menantang, otonomi, pilihan, dan pengambilan keputusan, termasuk orientasi seksual (Hidayana, 2004).
Dalam masyarakat yang memiliki sikap negatif terhadap gay, maka banyak gay yang segan untuk mengakui kepada teman atau keluarga bahwa ia adalah gay (Wells & Kline, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, mengakui bahwa dirinya gay dapat membawa resiko yang besar untuk kehilangan pekerjaan, pertemanan dan kehidupan sosial (Padesky, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Seringkali kaum homoseksual mendapatkan ejekan yang ditujukan pada dirinya melalui humor, verbal abuse, ataupun kekerasan fisik (Greene & Herek, 1994). Oleh karena itu, coming out bisa sangat beresiko.
Pada masa remaja atau dewasa muda, hubungan gay dengan keluarganya seringkali mendapat cobaan ketika terjadi proses coming out. Bagi banyak gay, memberitahukan kepada keluarga adalah proses coming out yang paling sulit, karena ditolak oleh orangtua dan saudara kandung merupakan hal yang lebih menyakitkan dibandingkan ejekan-ejekan dari orang yang tidak dikenal atau ucapan yang sangat kasar dari orang yang baru dikenal (Miracle, 2003). Mereka merasa cemas dan sering merasa bersalah bahwa keputusan mereka untuk memberitahu keluarga apabila dirinya adalah seorang gay dapat membuat kecewa dan menimbulkan rasa marah (Greene, 1994).
Dalam banyak keluarga, tindakan ini dapat menyebabkan konflik, ketidaksetujuan dan penolakan sehingga menyebabkan buruknya hubungan kekeluargaan dalam jangka waktu yang lama untuk memunculkan pengertian dari pihak keluarga (Papalia, 2001). Banyak orangtua yang mengusir anak gay dan lesbian mereka dari rumah dan menghentikan dukungan finansial (Warren, dalam Miracle, 2003). Woog (dalam Miracle, 2003) mengatakan bahwa, orangtua juga dapat memberikan reaksi marah atau perasaan bersalah terhadap tindakan apa yang "salah" dalam membesarkan anak mereka tersebut. Biasanya proses membuka diri terhadap keluarga ini terbatas pada ibu dan saudara perempuan (Mays, Chatters, Cochran, & Mackness, dalam Papalia, 2001).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa orangtua dari anak gay yang melakukan coming out juga merasakan perasaan negatif (dalam hal ini stres) seperti yang dirasakan oleh anak gaynya. Ayah juga mengalami stres, tapi ibu dari anak gay yang melakukan coming out pada keluarganya dapat merupakan orang yang lebih rentan dan paling berpotensi untuk mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan peran ibu, dimana ibu biasanya dianggap sebagai figur yang paling penting dalam lingkungan anak (Phoenix dkk., 1991). Dohrenwend (dalam Carter & Goldrick, 1989) juga menyatakan bahwa, wanita, dalam hal ini ibu, cenderung mengalami tingkat perubahan dan ketidak stabilan emosi yang lebih tinggi dalam hidup mereka dibandingkan dengan pria, serta lebih rentan terhadap stres di dalam kehidupannya. Hal ini didukung dengan pendapat Carter & Goldrick (1989), bahwa wanita dalam keluarga lebih responsif terhadap sekelompok orang, dimana ia merasa lebih bertanggung jawab terhadap suami, anak, orangtua, dan mertua. Adanya perasaan yang berlebih ini mengakibatkan wanita merasakan beban yang berlebih pula ketika stres yang tidak diduga terjadi, misalnya adanya penyakit, perceraian atau permasalahan pada anak, sehingga dapat dikatakan bahwa ibu mengalami stres ganda (doubly stressed). Ibu dihadapkan pada stres yang terjadi dan lebih responsif secara emosional terhadap stres tersebut (Gore, dalam Carter & Goldrick, 1989).
Setelah coming out pada anak dan konflik terjadi, terdapat perubahan dalam kehidupan berkeluarga yang dievaluasi sebagai situasi yang penuh tekanan dan tuntutan. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta mampu melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres.
Stres melibatkan banyak variabel dan proses yang merupakan penilaian individu terhadap hubungan dengan lingkungannya yang dianggap relevan dengan kesejahteraan psikologisnya, atau yang melampaui sumber daya dalam dirinya. Penilaian tersebut mengarahkan individu pada proses coping yang sesuai dengan dirinya (Lazarus & Folkman; dalam Appley & Trumbull, 1986).
Coping merupakan suatu cara yang berorientasi intrapsikis untuk mengelola atau menguasai, menerima, mengurangi dan memperkecil tuntutan lingkungan, tuntutan internal dan konflik-konflik diantaranya (Lazarus & Launier; dalam Taylor, 1999). Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres, antara lain dengan mengontrol respon emosi yang timbul akibat stres tersebut, atau mengubah situasi yang dinilai stressful. Individu berusaha mengatasi stres yang dialaminya melalui proses kognitif dan transaksi tingkah laku dengan lingkungan yang melibatkan penilaian secara terus-menerus (Lazarus & Folkman; dalam Sarafino, 1998). Dari penjelasan sebelumnya, dalam menghadapi berbagai perubahan setelah anak coming out, terjadi stres pada diri ibu. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengambil ibu sebagai fokus utama penelitian untuk mengetahui gambaran mengenai stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dan pedoman wawancara yang digunakan adalah pedoman umum dengan bentuk pertanyaan yang fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan masing-masing subjek. Pedoman umum wawancara merupakan alat pengumpul data yang dibuat peneliti berdasarkan literatur ilmiah mengenai stres dan coping. Melalui wawancara mendalam peneliti akan mendapatkan gambaran stres dan sumber stres pada diri subjek serta seberapa jauh subjek menampilkan strategi coping dalam mengatasi stres tersebut.

1.2. Rumusan Permasalahan
Adapun permasalahan utama yang ingin dijawab dalam penelitian adalah "Bagaimanakah gambaran stres dan coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?"
Formulasi permasalahan utama tersebut diuraikan dalam beberapa sub permasalahan sebagai berikut:
1. Masalah-masalah apa sajakah yang muncul pada kehidupan ibu ketika anaknya mengakui tentang preferensi seksualnya?
2. Bagaimanakah gambaran stres yang terjadi pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?
3. Bagaimanakah gambaran coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran stres, serta proses coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out pada keluarganya.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini pada umumnya dapat menjadi masukan yang berharga bagi masyarakat dan mahasiswa psikologi, khususnya dalam melihat gambaran stres dan coping ibu yang memiliki anak homoseksual yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual dalam menjalani kehidupannya. Menjalani stres dan proses coping bagi ibu yang memiliki anak gay dapat merupakan masalah tersendiri karena hal-hal yang harus dihadapi oleh mereka pun dapat berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual.

1.5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing meliputi beberapa sub bab tersendiri. Berikut adalah gambaran mengenai isi masing-masing bab.
Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, yang dibagi ke manfaat teoritis dan praktis, dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisi tinjauan kepustakaan yang terdiri dari teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai homoseksual, coming out, teori stres dan coping.
Bab 3 berisi metode penelitian yang digunakan yang terdiri dari pendekatan penelitian, partisipan penelitian, pengumpulan data, prosedur penelitian, serta proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab 4 berisi analisis hasil dan interpretasi yang terdiri dari analisis per kasus pada ketiga subjek ibu dengan anak gay yang sudah coming out dan dilanjutkan dengan analisis antar kasus.
Bab 5 berisi kesimpulan mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ketiga subjek.
GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

(KODE PSIKOLOG-0002) : SKRIPSI GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
I.A. Latar Belakang Masalah
Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia, 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin wanita yang menyukai sesama jenisnya akan disebut lesbian, dan kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan menyukai sesama jenisnya akan disebut gay. Di Indonesia, homoseksualitas telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa-Timur, dimana banyak remaja-remaja yang berparas tampan, menjadi pasangan seksual para 'Warok' dan mereka disebut 'Gemblakan' (Sarwono, 2002).
Saat ini, di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas homoseksual, yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama homoseksual, diantaranya seperti Yayasan Pelangi Kasih (YKPN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor, GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo, Viesta-Jogjakarta, GAYa NUSANTARA-Surabaya, GAYA DEWATA-Bali dll. Banyak homoseksual telah menyadari orientasi seksualnya pada saat remaja yang secara tipikal dimulai dengan ketertarikan pada sesama jenis (Nevid, Fichner-Rathus, & Rathus, 1995). Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah masyarakat dan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan serta stereotip yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan, dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat. Gambaran diatas adalah resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming-out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survei dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah homo di Indonesia. Tapi, pada tahun 2003 saja, klaim hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) LSM yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks menyebut adanya 4000 hingga 5000 orang homo di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Bahkan Dede Oetomo memperkirakan secara nasional jumlahnya telah mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Selain penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya adalah seorang homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah, atau mengucilkan anaknya (Walker, 1996; Nevid et. all, 1995). Penjelasan tersebut merupakan gambaran beberapa hambatan dan resiko yang dihadapi kaum homoseksual untuk menyatakan kepada orang lain atau publik tentang orientasi seksual yang dimilikinya. Kesadaran diri dan pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki disebut dengan coming out.
Coming out merupakan hal yang sangat penting bagi seorang homoseksual, karena dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Bagi seorang homoseksual, melakukan coming out merupakan proses panjang dan beresiko menyakitkan (Nevid, 1995).
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum homoseksual dewasa muda adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum homoseksual dewasa muda tentunya menunjukkan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas, berdasarkan banyaknya jumlah gay di Indonesia, peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai kesejahteraan psikologis kaum gay di Indonesia pada umumnya, dengan rentang usia yang berada dalam tahap dewasa muda yang telah coming-out. Telah disampaikan diatas, bahwa kaum gay mendapat resiko yang begitu komplek. Peneliti akan menkhususkan penelitian untuk mengetahui kesejahteraan psikologis gay dewasa muda yang telah coming-out. Mengapa hal itu menjadi penting, karena setelah mengambil keputusan untuk coming-out, gay tersebut akan mulai mendapatkan berbagai penilaian dari masyarakat, termasuk didalamnya penilaian dari orangtua, keluarga dan kerabat. Seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kaum gay sangat beragam, sehingga kaum gay akan beresiko mendapatkan penolakan dari masyarakat. Tentu penolakan dari masyarakat mengenai orientasi seksualnya menjadi tekanan yang cukup berat, apalagi jika penolakan tersebut datang dari orangtua dan keluarga. Penolakan dan tekanan yang dihadapi oleh kaum gay, akan semakin terlihat ketika kaum gay tersebut berada dalam tahap dewasa muda, dimana pada tahap tersebut, setiap individu mempunyai tugas perkembangan sebagai individu dewasa muda. Hal yang paling penting pada usia dewasa muda adalah pemenuhan kebutuhan akan intimacy. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berdampak terhadap individu tersebut yaitu terisolasi dalam lingkungan atau mengalami kesepian. Kebutuhan akan intimacy pada dewasa muda juga berhubungan dengan tugas perkembangan dewasa muda. Individu dewasa muda sudah seharusnya memilih pasangan, menikah dan membangun kehidupan rumah tangga. Untuk memenuhi tugas perkembangan biasanya individu akan menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika individu dewasa muda kebutuhan intimacy-nya tidak terpenuhi, maka individu tersebut akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis individu (psychological well-being). Maka pada kaum gay yang memasuki usia dewasa muda yang telah coming-out (dengan berbagai resiko dan hambatan yang telah diungkapkan sebelumnya) menimbulkan pertanyaan mengenai keadaan kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Untuk mendapatkan gambaran kesejateraan psikologis pria gay, dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dibuat oleh Ryff. Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out

I.B. Perumusan Masalah Penelitian
Beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out ? Beberapa pertanyaan turunan spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran enam dimensi psychological well-being pria gay yang telah coming-out?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out?
3. Bagaimana gambaran coming-out yang dilalui pria gay?

I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui gambaran dimensi-dimensi, faktor-faktor yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda setelah melalui coming out.

I.D. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara praktis maupun teoritis.
Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pria dewasa muda yang telah coming-out
2. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum homoseksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai orientasi seksual yang dimilikinya. Mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa.
4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological well-being pada pria homoseksual.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif
2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat.

I.E. Sistematika Penulisan
Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan teori atau studi literatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini yang mencakup tentang teori-teori yang digunakan.
Metode Penelitian
Pada Bab ini penulis menjelaskan metode penelitian yang digunakan beserta alasan memilihnya, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian, pemilihan sampel penelitian yang meliputi karakteristik sampel, serta urutan pelaksanaan prosedur penelitian.
Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menganalisis hasil data yang diperoleh dari penelitian.
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan hasil analisis penelitian serta menjelaskan diskusi yang berisi hal-hal menarik, yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.